Chapter 04: Bun to the dir

Setelah puas menantang matahari, Reya memutuskan untuk kembali pulang. Gadis itu sampai di teras rumah dengan keringat bercucuran.

“Kamu abis di kejar anjing pak Jamal ?”

Reya menyalim tangan ibunya. Menggeleng kesal sambil menyeka keringat di dahi.

“Engga ma...”

Lelah, Reya lelah jiwa raga. Kamar, hanya itu tujuan utamanya saat ini. Ia berlalu lesu, membuat sang ibu mengernyit keheranan. Gadis itu bahkan mengabaikan Dian, saat berpapasan di pintu.

“Kenapa ma?” tanya Dian keheranan melihat sikap tidak biasa dari kakak kesayangannya. Bukannya Dian pilih kasih, remaja lelaki yang baru puber beberapa tahun silam itu menyayangi semua saudaranya. Namun, karena umur dia dan Reya yang tidak terpaut jauh. Kakak beradik itu sangat dekat sejak kecil, dengan kata lain mereka itu soulmate sehidup semati.

“Anjing pak Jamal?” Sang ibu mengangkat bahu. Membalas pertanyaan dengan ragu.

“Lagi?” Dian menggeleng tidak habis pikir.

Reya yang masih bisa mendengarkan percakapan itu memilih acuh. Tenaganya terkuras habis hari ini.

Gadis itu memasuki kamar, lalu mengunci pintu. Membiarkan nuansa gelap di ruangan itu menelan dirinya. Ia membanting tubuh lesu itu pada kasur sembari terus menatap langit-langit kamar. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat.

Tidak seperti biasanya, kepalanya berkabut. Reya tidak bisa memikirkan secuil solusi pun dari masalahnya kali ini. Gadis itu gelisah, ia meremas selimut di tangannya hingga kusut. Saat nafasnya mulai tersenggal, Reya bangkit keluar dari kamar. Berlari ke arah kamar mandi di ujung lorong. Ia merasa mual, kepalanya ikut berdenyut. Tubuhnya merespon semua kegelisahan yang sudah gadis itu tahan sejak semalam. Setelah memuntahkan isi perutnya, gadis itu merintih dalam diam. Mengcengkram pinggiran kloset dengan kencang.

“Tidak lagi...” ujarnya.

Tanpa gadis itu sadari, ada seseorang yang melihat semua yang dia alami. Dian berdiri di ujung tangga, remaja itu diam seribu bahasa. Tanpa berniat menghampiri kakak perempuannya itu. Ia berdecih, lalu meninggalkan tempat itu.

----***----

Sudah hari ketujuh sejak Reya berduel dengan matahari. Seluruh anggota keluarga menyadari ada yang salah dengan gadis tersebut. Tila satu-satunya orang yang tau betul permasalahan Reya memilih diam. Ia tidak berani ikut campur, mengingat Reya sendiri masih memilih bungkam soal itu. Ia tahu betul kebiasaan tidak ingin merepotkan orang lain kakaknya itu.

Tapi, ada satu masalah besar. Ya cukup besar untuk mengancam ketentraman keluarga Pak Darma.

“DASAR BUTO IJOOOOO!!! MAMAAAAA!”

Itu Rasya, berteriak sekencang yang ia bisa. Memohon pertolongan pada sang ibunda setelah Reya yang sudah jengah berbuat sedikit kezaliman padanya. Gadis itu biasanya sangat penyabar. Mengajari Rasya adalah keinginannya sendiri. Namun, entah kenapa hari itu sang adik terlihat sangat menyebalkan di matanya.

“Oh jadi kamu lebih milih diajarin sama Kak Friska? Ok.”

Tangis bocah itu berhenti. Ia membayangkan sosok Friska, lalu kembali menatap Reya. Menimang-nimang mana yang lebih baik antara iblis satu dan iblis dua. Maka pilihannya jatuh pada iblis dua, buto ijo terdengar lebih baik sekarang.

Tidak hanya penampilannya yang menjadi tak terurus. Reya berubah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Gadis itu sangat gampang emosi bahkan terhadap hal kecil. Seolah Bu Julid-anti telah mengutuknya, kali ini Reya benar-benar berubah menjadi gadis yang sembrono.

Ia pernah lupa memungut cucian yang sudah kering, membiarkan hasil kerja keras mesin cuci itu diguyur hujan semalaman. Friska sudah pernah mengutuknya karena mematahkan hanger baju saat gadis itu kesal. Baju yang tiba-tiba tersangkut pada gagang pintu adalah hal wajib yang semesta lakukan untuk membuatnya tersulut emosi. Yang terparah adalah, ia lupa kalau dirinya memiliki alergi terhadap kacang. Reya asal membuka mulut saat Rasya menawarinya permen. Hal itu membuat Reya berakhir di klinik terdekat. Tenang saja, kali ini bukan klinik WKL milik Bidan Chatterin. Reya sedang tidak mengandung atau hendak melahirkan. Tidak dalam waktu yang dekat, ingat? Gadis itu masih patah hati terhadap yang namanya laki-laki.

Reya menatap layar ponselnya dalam. Ia dinyatakan lulus di Universitas pilihan. Namun, gadis itu justru murung. Ia belum berani untuk membicarakan masalah beasiswanya pada kedua orang tuanya. Melempar ponselnya asal, gadis itu memilih untuk turun makan malam.

“Bagaimana sekolah yang kamu pilih Dian?” Reya baru tiba di meja makan, saat pertanyaan itu terlontar dari mulut sang ayah.

“Dian lulus pa.”

Oh kakek di surga, bagaimana Reya bisa membicarakan soal beasiswanya. Ia tidak ingin kecerobohannya berimbas pada sang adik. Sekolah menegah atas yang Dian pilih itu adalah sekolah negeri dengan fasilitas yang mumpuni. Tentu biaya bulanannya tidaklah sedikit. Isi tabungan keluarganya tentu cukup untuk biaya ketiga adiknya itu.

Sebelumnya sang Ayah adalah karyawan di sebuah perusahaan besar yang sayangnya sudah lama gulung tikar. Kini beliau hanyalah seorang karyawan biasa di kantor kecamatan setempat dengan tunjangan seadanya. Sang ibu membantu keuangan keluarga dengan membuka toko bunga di rumah.

Meminta tolong pada Sang Kakak Friska adalah hal mustahil, wanita itu baru saja kehilangan pekerjaan. Kakak laki-lakinya Rizki justru lebih parah. Workaholic satu itu masih tetap bekerja di perusahaan yang sering telat membayar gaji karyawannya. Kakaknya Agus adalah manusia gila, atas dasar jiwa yang menuntut kebebasan. Lelaki itu memilih resign dari pekerjaan kantorannya. Mendaki gunung ini dan itu selama hampir dua bulan lamanya. Lalu kembali dengan ide besar untuk menjadi seorang pengusaha. Setelah sedikit- ralat banyak memaksa teman masa kecil untuk jadi rekan bisnisnya, maka berdirilah sebuah cafe yang selama ini ia idamkan. Namun, pemasukan cafe yang baru saja berdiri tentu belum seberapa.

“Reya ada apa?”

Sang ibu yang menyadari perubahan ekspresi dari putrinya itu bertanya. Reya menggeleng pelan.

“Engga ma, aku cuma mikir Dian yang dulu males banget belajar itu ternyata bisa lolos juga di sekolah bagus.” Gadis itu menyikut sang adik yang duduk di sampingnya. Membuat Dian mengaduh kesal.

----****----

Waktu menunjukan pukul dua belas malam saat Reya menyudahi tangisnya. Gadis itu menatap seutas tali di tangannya dengan pandangan kosong.

“Daripada harus ngerasain semua ini, mending gue mati aja.” Gumamnya pada diri sendiri. Gadis itu membentangkan tali tersebut, lalu menggenggam kedua ujungnya kuat-kuat.

“Setidaknya dengan begini, beban gue berkurang.” Ucapnya sambil tersenyum kecil.

Detik berikutnya terdengar suara dobrakan pada pintu kamarnya. Dian dan Tila berdiri di sana dengan nafas yang naik turun. “Oh Dian, Tila, ada ap—“

Dian mengambil langkah lebar, berusaha menghentikan tindakan sang kakak dengan memegang erat kedua tangannya.

“Tila, cepat ambil tali itu!” teriak remaja itu pada sang adik.

“Kak, lepasin. Aku ga ingin ada kekerasan disini.”

Reya yang mendapat perlakuan secara tiba-tiba melawan, berusaha mempertahankan tali yang ada di tangannya. “Kalian kenapa si?! Jangan ganggu gue, lepasin!”

Tila menggeleng. “Sayang sekali.” Ucapnya sebelum menampar Reya hingga gadis itu tersungkur.

Dian hanya melongo, melihat tindak kdrt yang baru saja adiknya itu lakukan. “Woi! Lu mukulnya kekencangan bego!” teriaknya histeris.

Reya yang baru saja tersungkur bangkit perlahan. Sambil memegangi pipinya yang memerah. Ia yakin ini akan membekas lama. Belum sempat membuka mulut, Tila sang adik berkata berang.

“Kak! Ga harus kaya gini solusinya! Aku tahu kakak putus asa, tapi setidaknya coba cerita dulu. Kita bisa nyari solusinya sama-sama!”

Reya dan Dian hanya melongo, tidak pernah melihat sang adik yang keras kepala itu menangis di umurnya yang sekarang. Oh sekarang Reya paham situasinya.

“Kalian mikir gue bakal bunuh diri?”

“Pake nanya! Trus untuk apa juga ada tali segede ini!” berang Tila kesal. Reya yang dasarnya emosian ikut berkata kesal.

“Kalian ga liat tumpukan buku yang berserakan itu hah?! Gue lagi ngikat buku lama buat di jual ege!”

Dian dan Tila diam seribu bahasa. Terlebih Tila, gadis itu mematung dengan keringat dingin. Ingat betul sudah memberi tamparan cinta pada sang kakak. Saat Reya bangkit, ia menutup mata erat. Siap menerima balasan apapun yang Reya berikan.

Alih-alih jurus balasan, Reya memeluk kedua adiknya sambil tertawa jenaka. “Makasih udah peduli. Kakak janji besok bakal ngomongin ini sama papa dan mama.”

Dian mengangguk, membalas pelukan itu tak kalah erat. Tila tersenyum kecil di pundak Reya, sebelum kembali pada sifat sehari-harinya.

“Kenapa juga kita mesti pelukan.” Cemoohnya pada Reya dan Dian.

“Karena kita adalah teletubbies?” celutuk Reya asal.

Dian mengangguk. “berpelukan.” Ujarnya kemudian.

Tbc...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!