Chapter 07: Hi tampan

“Kamu baik-baik saja?”

Suara itu terdengar dingin dan dalam. Reya sedikit meremang dibuatnya. Karena perbedaan tinggi badan, gadis itu mendongak untuk menatap si pemilik suara.

Mama mia!

Di hadapannya berdiri seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tiga tahunan. Berperawakan tinggi dengan rambut lurus yang sedikit menjuntai tertiup angin karena ia menunduk untuk menatap sang gadis.

Dilihat dari segi manapun, Reya sadar kalau lelaki di hadapannya ini adalah hasil fertilisasi dari sperma dan sel telur pilihan, menghasilkan zigot berkualitas tinggi sehingga menjadi manusia yang walau tidak sempurna tetapi cukup mempesona. Ingat, kesempurnaan hanya milik Tuhan semata.

Kedua alis lelaki itu bertautan, mengiringi ekspresi bingung di wajahnya. Untuk sesaat, Reya merasa dirinya tenggelam dalam netra hitam pekat tersebut.

“Hey, are you okay?” ulang lelaki itu kemudian.

“Ah, ya. Saya baik-baik saja.”

Gadis itu menggigit pipi bagian dalamnya saat sadar suaranya bergetar karena emosi.

“Maaf, saya tidak sengaja menabrak anda.”

"Bukan masalah besar." balas pria itu datar.

Reya merasa tidak nyaman di tatap sedemikian rupa. Lelaki di hadapannya seolah sedang menilai kelayakannya sebagai manusia dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tatapan dari netra yang telihat kosong itu, Reya tidak suka.

"Tidak sopan." Erangnya dalam hati.

Namun, itu bukan sepenuhnya kesalahan sang pria. Tentu saja ia akan menatap penuh selidik pada seorang gadis berwajah kacau yang tidak sengaja menabraknya hingga hampir tersungkur.

"Permisi."

Kata itu mengakhiri kontak mata diantara keduanya. Reya melangkah cepat menuju motor buntut merah menyala. Gadis itu bahkan tidak memasang pengait helm pororonya dengan benar.

Pikirannya kacau.

Ia hanya berharap semoga saja motornya tidak berbelok ke arah selokan, atau berakhir tersesat di kebun karet persimpangan jati. Ya, kenapa juga harus menanam pohon karet di kawasan bernama jati. Memikirkannya saja, membuat gadis itu merasa kesal!

Motor buntut dengan spion tunggal itu melaju melewati gerbang rumah setinggi tiga meter tersebut. Meninggalkan asap hitam hasil busi aus yang sudah lama tidak diganti.

Sang lelaki menatap kepergian gadis berwajah kacau. Dalam hati menerka-nerka siapa dan mengapa ia berakhir seperti itu. Otaknya terus mengulang memori saat wajah kecil itu menatapnya sangar sebelum kemudian meminta maaf dengan suara penuh rasa bersalah.

Seseorang menepuk bahunya. Menarik pria dewasa itu kembali dari lamunannya.

"Kamu sudah sampai." Ujar Arman pada cucu semata wayangnya, sebelum ikut menatap pada jalanan kosong di depan mereka.

"Iya."

...----****----...

Reya sampai di rumah dengan selamat.

Tanpa kurang suatu apapun. Kecuali harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh seorang wanita paruh baya yang sialnya berbagi darah yang sama dengan sang gadis.

Gadis itu melempar pororo si pinguin ke atas sofa. Membuat kerutan muncul di dahi sang adik lelaki yang sedang sibuk mengunyah kuaci.

"Persetan!"

Maki sang gadis entah pada siapa.

Dian tidak ingin repot-repot untuk sekedar bertanya kenapa. Remaja itu memilih fokus pada kulit kuaci yang entah mengapa menjadi sangat sulit dibuka. Memangnya kapan kakak perempuannya itu tetap baik-baik saja setelah pulang dari rumah sang nenek?

Bahkan kali ini tergolong reaksi paling normal yang gadis itu berikan.

"Cepat tanya gue kenapa!"

Dian melirik malas. "Kenapa?"

"Gue.... Gue kesal setengah mampus."

"Oh ok..."

Balasan itu disambut erangan oleh sang lawan bicara. Gadis itu memilih membawa langkahnya pada anak tangga. Menit berikutnya bisa Dian dengar teriakan tertahan dari lantai atas. Ia mengangkat bahunya acuh.

Hari terus berganti. Reya mulai melupakan soal perjodohan dan rasa patah hatinya pada sang mantan kekasih. Tetapi nyatanya gadis itu tidak bisa berhenti gelisah saat mengingat tenggang waktu pembayaran biaya masuk kuliahnya tersisa kurang dari lima hari lagi. Secara harfiah, gadis itu hampir menyerah pada cita-citanya.

"Apa gue jual diri aja?"

Pertanyaan itu disambut makian oleh sang lawan bicara. "Lo gila? Gedean juga tt gue daripada lo. Sok-sokan mau jual diri, kaya ada yang mau aja sama lo."

Itu Naura. Lebih tepatnya "Naura Cute Sejagat Raya". Tentu saja ia sendiri yang menamai kontaknya demikian. Gadis dengan tinggi yang tidak beda jauh dari pohon palma kerdil di halaman rumah Reya.

Kulit putih bersih dengan badan sedikit berisi. Kepribadiannya ceria, bukan hal aneh jika gadis itu punya teman disudut manapun. Naura itu adalah perwujudan dari doa-doa para pria perjaka yang mendambakan gadis pendek lucu dengan kepribadian periang.

Reya merasa tersinggung. Melirik sinis pada kedua adik kembar milik Naura. Sedikit enggan mengakui soal perbedaan ukuran tersebut. Hey, Reya itu memiliki ukuran manusia normal. Salahkan saja Naura dan hormon sialannya itu.

"Hey, sayang. Reya... Ayolah itu bukan solusi yang bagus." Bujuk Naura seolah Reya benar-benar akan menjual dirinya saat ini juga.

"Trus apa? Lo aja yang gue jual?" balas gadis itu frustasi.

Naura menggebrak meja, membuat vas keramik seharga empat puluh lima dolar yang Reya beli online itu bergeser dari tempatnya.

"Temen macam apa lo!"

Reya mendengus lesu. Gadis itu bangkit dari duduknya saat lonceng di pintu masuk berbunyi. Saat ini mereka berdua sedang berada di toko bunga sang Ibu yang berada tepat di halaman rumah. Toko bunga sederhana yang sang ayah bangun saat masih punya penghasilan yang lumayan.

Seorang pelanggan lelaki paruh baya. Pria tua itu tersenyum ramah. Sedikit mengingatkan Reya pada mendiang sang kakek saat bagaimana kerutan muncul di matanya yang menyipit karena tersenyum.

Reya, tanpa sadar tersenyum cukup lebar. Berbicara singkat lalu mulai menyiapkan sebuah buket besar bunga anyelir putih.

"Reyaaa, gue bosen." Celutuk Naura mengintrupsi.

"Cabut aja sana sama pacar lo." Balas gadis itu tanpa melirik sedikitpun.

"Gue udah putus tiga hari yang lalu."

Reya sama sekali tidak terkejut. Oh, apakah ia lupa memberitahu bahwa sahabatnya ini gemar bergonta-ganti pasangan? Mulai dari adik kelas, kakak kelas, teman seangkatan, cowo futsal, cowo basket, cowo voli, sampai mas-mas fotocopy sudah pernah menjalin kasih dengannya.

"Ajak aja gebetan baru lo."

"Gebetan yang mana? Ariel, Yuda, Kak Gio, atau Farel?"

"Enyah aja sana, lo ganggu kerjaan gue." Ujar gadis itu mulai kesal.

Naura sebenarnya hanyalah gadis lugu yang masih berharap pada cinta sejati. Ia selalu berangan untuk memiliki pasangan bak pangeran di serial kartun favoritnya saat kecil. Namun entah kutukan dari mana, gadis itu justru selalu berakhir menjalin hubungan dengan lelaki kurang ajar yang hanya mengincar tubuhnya.

Tetapi, masalah utamanya bukan disitu. Sialnya lagi, Naura itu gampang jatuh cinta. Bahkan dengan orang yang baru ia temui. Reya, sebagai sahabat sehidup semati, selalu ikut terlibat dalam masalah yang timbul karena hati murahan temannya itu.

Baru saja hendak balas mencaci sahabatnya, ponsel sang gadis berdering. Wajah dengan pipi berisi itu terlihat berseri. Saat panggilan berakhir, Reya melihat Naura tersenyum lebar lalu bangkit dari duduknya.

"Gue pergi dulu, Kak Rehan ngajak main. Bye Reya!" Lonceng pintu toko itu berbunyi setelahnya. Reya melambaikan tangannya malas.

"Terimakasih sudah menunggu." Gadis itu menyerahkan buket bunga tersebut pada sang pria tua.

"Apa menurut kamu cucu saya akan bahagia setelah menerima bunga ini?" tanya pria itu tiba-tiba. "Dia cucu kesayangan saya, dan akan segera menikah. Siapa sangka melepaskan gadis nakal itu akan seberat ini."

Reya mendengarkan. Menangkap sedikit ekspresi sedih di mata tua itu. Terdapat jeda yang cukup lama sebelum gadis itu tersenyum kecil dan membalas pertanyaan si pria paruh baya.

"Tentu saja. Cucu anda akan menjadi gadis paling bahagia di hari pernikahannya."

Pria tua itu kembali tersenyum. Membayar bunga tersebut sebelum akhirnya meninggalkan Reya yang kini mulai hanyut dalam renungannya.

Andai sang kakek masih hidup, apakah Reya akan mendapatkan bunga yang sama saat pernikahannya kelak? Gadis itu kemudian mendengus.

"Bodoh. Kakek jelas bakal ngasih bunga sekebun-kebunnya." Ucapnya kemudian terkikik geli.

Bunyi pintu yang dibuka secara kasar terdengar. Naura berdiri di sana, membuat Reya menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Tas gue, ketinggalan."

Setelah berkata seperti itu, gadis itu buru-buru mengambil tasnya dan kembali meninggalkan tempat tersebut.

Terserah. Reya kini memilih untuk memeriksa pesanan bunga untuk minggu depan. Rasanya semua orang sedang gencar-gencarnya menikah. Hampir setengah dari pesanan itu untuk resepsi pernikahan.

Diam-diam di sudut hatinya yang paling gelap, Reya memikirkan bagaimana nasibnya kelak jika ia tidak bisa berkuliah? Apa orang tuanya nanti akan jengah dan ikut memaksanya untuk menikah saja. Memikirkannya membuat bulu kuduk remaja itu berdiri.

Saat sedang sibuk di deretan pot bunga freesia, lonceng di pintu masuk kembali berbunyi.

"Apalagi? harga diri lo ikut ketinggalan?" Reya bertanya sambil membelakangi pintu masuk. Merasa cukup hafal dengan kebiasan sang sahabat.

"Maaf?"

Suara berat yang terdengar tidak asing itu membuat tubuh sang gadis mematung. Saat ia berbalik, netranya menangkap seorang lelaki muda yang untuk kedua kalinya menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Mama mia..." Ucap gadis itu tanpa sadar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!