Hal terakhir yang Reya ingat selain wajah babak belur Zaif sang mantan kekasih adalah bahwa sekarang dirinya harus menjalani skors selama tiga hari karena telah memulai perkelahian di saat jam pelajaran sedang berlangsung. Sebenarnya tanpa di suruh pun, gadis itu akan memilih bolos di minggu tenang setelah ujian akhirnya.
Layaknya orang patah hati pada umumnya. Harinya ia habiskan dengan mengurung diri di kamar. Tidak ada yang berani mengganggu, bahkan orang tua dan kakak tertuanya, Friska tidak menanyakan satu pertanyaan pun saat menerima surat skors dari sekolah. Sedikit bersyukur saat hal tersebut tidak memperngaruhi nafsu makan sang gadis.
Reya mengabaikan semua panggilan dari Naura sang sahabat. Saat notifikasi grup sekolah berbunyi, gadis itu melempar ponselnya ke dalam keranjang baju kotor. Langit-langit kamar menjadi lebih menarik di matanya. Ia baru tau kalau patah hati bisa semenyakitkan ini. Hey, dia tidak mendramatisir. Zaif adalah kekasih pertamanya setelah ia lelah bercinta dengan buku dan kertas essay usang milik Pak Baha.
“lo jahat banget sumpah.” Ujarnya gemetar menahan tangis.
Demi apapun, Reya sebenarnya sangat benci menangis. Lihat tumpukan tisu bekas ingus yang memenuhi tong sampah di sudut kamar itu. Sepertinya ia harus menggantinya dengan tong sampah sekolah jika tidak ingin ada tisu bekas yang berserakan di lantai. Mata bengkak, hidung yang memerah. Reya tidak berani menatap penampilan dirinya saat ini di cermin. Lagu tembang kenangan terus mengalun merdu di kamar dengan cat dasar putih yang mulai mengelupas di beberapa sisinya itu.
“Pulangkan saja... Aku pada Ibuku atau Ayahku...”
Lagu yang biasa menemani gadis itu saat belajar, kini ikut menemani dalam tangisnya. Seolah sekarang ia bisa ikut merasakan sakit dalam setiap lirik yang dikumandangkan oleh penyanyi lawas ternama Betharia Sonata itu. Reya sudah berhenti menghitung di angka kedua puluh mengenai Naura yang berkomentar tentang selera musiknya yang menurut gadis itu terlalu kuno. Reya menarik ingusnya kencang sebelum bersiap dengan gelombang air mata berikutnya. Tidak ada yang bisa menghentikan kesedihannya saat ini.
“Aku gadis tapi bukan perawan. Keperawananku sudah hilang—“ Tidak sampai lagu berikutnya bersenandung. Ia memaki, kesal karena air di mata kirinya berhenti turun saat radio tua peninggalan sang kakek memainkan lagu yang salah. Rasanya seolah sang kakek di alam sana sedang tertawa di atas penderitaan cucu perempuannya. Oh gusti Allah, tolong sembuhkan patah hati yang di derita gadis malang itu.
Setelah lebih dari dua belas lagu terputar, Reya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Makan malam adalah hal wajib dalam peraturan keluarga tersebut. Tidak ada yang boleh melewatkan makan malam bersama bagaimanapun kondisi mu. Entah itu sedang mengerjakan tugas, menyaksikan serial tv favorit, serangan alien, kerbau masuk parit, sapi terlepas, ular dalam rumah, apalagi hanya sekedar kegalauan remaja yang sedang patah hati. Sang Ayah memberi kebebasan waktu dan privasi kepada mereka semua kecuali saat makan malam yang ia yakini sebagai momen untuk menjaga hubungan dalam keluarga kecil, yang sebenarnya besar itu.
Alat make up milik sang kakak adalah penyelamat untuk mata bengkak yang memerah itu. Reya memilih aman, sangat tidak ingin berurusan dengan berbagai pertanyaan yang akan terlontar dari mulut Rasya, si bungsu. Tila adik perempuannya melirik Reya sekilas sebelum kembali fokus pada makanan di hadapannya. Terdapat dua kursi yang masih terlihat kosong. Sang Ayah dan kakak perempuan tertua, Friska belum memunculkan batang hidungnya. Reya memilih kursi kosong di samping Tila, adiknya.
“Rizki, tidak ada dokumen pekerjaan di atas meja makan.” Citra datang dari arah dapur dan menegur putra keduanya.
“Iya Ma.” Workaholic, hanya itu satu kata yang menurut Reya tepat untuk menggambarkan kakak laki-lakinya yang bernama Rizki tersebut. Laki-laki berusia 24 tahun itu menutup laporan tersebut kemudian melepas kacamatanya asal. Tidak biasanya ia yang berjiwa perfeksionis berpenampilan acak-acakan. Reya bahkan bisa merasakan kakak laki-lakinya menghela nafas seperti orang tua. Lupakan, pikirnya. Reya harus kembali fokus pada patah hatinya sendiri. Tidak punya waktu untuk memikirkan patah hati orang lain. Sang Ayah ikut bergabung bersama mereka tidak berapa lama kemudian.
Suasana makan malam hari itu terbilang sunyi. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka semua larut dalam pikiran masing-masing. “Di mana Friska?” Ujar Pak Darma kemudian.
“Engga tau pa, kakak ga jawab panggilan telpon aku.” Keluh Tila dengan muka masam.
Detik berikutnya terdengar suara pintu yang terbanting hebat. Gumaman kecil yang Reya yakini sebagai sumpah serapah ikut mengiringi setelahnya. Friska muncul dengan wajah yang mereka semua setujui cukup menyeramkan. Perempuan itu membawa sebuah dus yang lumayan besar bersamanya. Masih dengan wajah masam, ia meletakkan barang bawaan tersebut asal di lantai.
“Gus, nanti bantu kakak bawa masuk itu ke ruang kerja.” Friska ikut bergabung setelah menyalami Ibu dan Ayahnya.
“Kok gue sih kak, yang lain aja. Gue lagi patah hati, ga mood.” Teguh mengeluh, sambil sesekali fokus memisahkan duri ikan di atas piringnya.
“Lo kalau gue suruh jangan banyak ngebantah!”
Oh apa sekarang, Reya hampir mati tersedak dengan bonggol jagung di sayur asem saking kagetnya. Agus yang dibentak seketika lupa kalau usianya kini sudah berkepala dua, rasanya ia kembali berusia 13 tahun saat Friska masih sering memukulnya karena membuat gadis itu naik pitam.
“Friska. Jangan melampiaskan kekesalan kamu pada adik-adikmu.” Darma menegur putri sulungnya.
Friska mengusap wajahnya kasar, menerima gelas yang di sodorkan sang ibu lalu meminumnya. Gadis itu terlihat sama kacaunya dengan Rizki.
Agus yang tidak ingin memperkeruh suasana menyudahi makan malamnya. Lelaki itu beranjak dengan membawa serta dus yang sebelumnya friska taruh di lantai. Rasya mengikuti di belakangannya, jelas penasaran dengan isi dus tersebut.
“gus”, panggil Friska kemudian saat punggung sang adik hampir hilang di ujung tangga. Agus berhenti dan menoleh kecil, membuat Rasya menabrak punggungnya.
“Makasih”
Lelaki itu membalas dengan gumaman sebelum akhirnya hilang di ujung koridor lantai atas.
Suasana kembali hening. Reya, masih dengan muka masam. Secara mengejutkan menghabiskan seluruh lauk di piringnya.
“Friska, sebenarnya ada masalah apa?” Pak Darma membuka suara. Sang istri yang ikut duduk, menunggu putri sulung mereka angkat bicara. Tila yang terlihat cuek, sebenarnya ikut memasang telinga dengan seksama.
Friska, yang sejak awal terlahir dengan wajah tegas. Kini menampilkan ekspresi seperti hendak melenyapkan nyawa seseorang. Perempuan itu bahkan menggenggam garpu di tangannya kelewat erat. Jika bukan terhalang oleh akal sehat, Reya yakin kakak perempuannya itu akan membolongi piring di hadapannya hanya dengan satu tusukan. Tusukan garpu perak dengan gagang bermotif teratai yang tentu juga cukup untuk melubangi kepala orang yang membuat amarah perempuan itu meledak-ledak.
“Friska nampar atasan di kantor pa."
Suara benda logam yang jatuh menghantam piring keramik menjadi satu-satunya hal yang menjawab pernyataan perempuan itu. Rizki, sang workaholic yang menjunjung tinggi hubungan serta kenyamanan dalam bekerja hanya bisa terdiam dengan mulut menganga.
“Kamu udah gila kak!?” teriaknya kemudian.
“Atasan gue yang gila! Kalau bisa gue tikam, udah gue mampusin itu tua bangka c*b*l!”
“Ok, dia yang gila!” Serunya lagi dengan perasaan ikut kesal. Rizki harus mempertimbangkan untuk mengikuti keinginan sang kakak. Menikam atasan yang telah berbuat tidak senonoh tersebut.
Friska memulai kisahnya. Dari bagaimana ia menikmati menyusun laporan keuangan perusahaan di pagi yang cerah, hingga momen sang atasan yang mengajak wanita itu berbuat hal tidak senonoh di ruang pribadinya. Emosinya terasa cukup pekat saat wanita itu kemudian memperagakan bagaimana ia menampar sang atasan dan memutuskan untuk angkat kaki dari perusahaan tersebut.
“Untunglah kamu memilih segera keluar dari tempat itu. Tapi papa sedikit kecewa, kenapa hanya tamparan? Bukannya papa udah ajarin kamu jurus tendangan rahasia.” Darma cemburut, seharusnya lelaki yang mencoba menyentuh putri sulungnya itu sekarang berakhir di rumah sakit.
“Ga bisa pa, aku pake rok sempit. Tapi Friska nampar itu orang sampai mimisan kok.” Friska mengernyit saat merasakan sayur asem yang hari itu terasa lebih masam dari biasanya. Sang ibu yang menyadari itu tertawa kecil.
“Bagus. Kalian juga harus lebih hati-hati dan menjaga diri.” Darma melirik kedua putrinya yang lain. “Terutama kamu Tila.”
Gadis itu hendak beranjak dari kursinya. “Hah, kenapa aku pa. Secara usia, bukannya Kak Reya yang rentan di godain sama cowo. Lagian aku ga tertarik berhubungan sama cowo manapun” Kernyitnya tidak terima karena merasa sang Ayah menganggap dirinya lebih lemah.
“Kamu lesbi?” tanya lelaki paruh baya itu santai. Kue kering buatan istrinya memang yang terenak segajat raya.
“BUKAN BEGITU!”
Tila buru-buru menyanggah. Lalu melirik sang ibu dengan pandangan meminta bantuan. Ingin percakapan ini segera berakhir. Citra hanya tersenyum, kemudian menepuk kecil pundak sang suami. Sebelum akhirnya meninggalkan ruang makan dengan piring kotor di tangannya.
“Biar aku bantu ma.” Rizki berlari kecil mengikuti sang ibu.
“Hah.... lagian, kamu lihat sendiri wajah kakak mu itu. Kamu pikir bakal ada orang yang berani gangguin dia?” Darma menunjuk putri tengahnya dengan lidah kucing yang baru saja ia ambil dari toples kue kering.
Tila melirik Reya, kakak perempuannya itu terlihat cukup berantakan. Sambil mengaduk-aduk sisa makanan di piring dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mengabaikan hampir separuh percakapan yang sudah berlangsung sejak bermenit-menit yang lalu.
Menghela nafas, Tila memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Baru beranjak sebentar, langkahnya harus terhenti lagi saat ponselnya bergetar tanda sebuah pesan masuk. Detik berikutnya ia melebarkan kedua matanya.
“Kak, sebaiknya kakak periksa ponsel kakak.” Ujarnya pada Reya.
“hmmm” Reya enggan melirik, makanan sisa di piringnya terlihat lebih menarik.
Kesal karena diabaikan, Tila memukul punggung gadis berpenampilan putus asa itu. Membuat sang kakak sedikit terlonjak, kemudian mengaduh kesakitan. “Kak, kamu ngapain aja seharian ga ngecekin hp hah?! Kak Naura ngirimin aku pesan, katanya ada kesalahan pengisian data di program beasiswa kakak dan batas perubahannya sampai malam ini!”
Reya yang sebelumnya merasa kesal setengah mati karena di pukul secara tiba-tiba. Kini berpikir kalau ada baiknya ia lenyap saja dari muka bumi.
Oh, kakek di surga. Sepertinya cucu perempuanmu itu ingin segera menyusul ke tempat mu.
TBC.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Kaworu Nagisa
Wah bahasanya keren banget, bikin suasana terasa hidup.
2023-10-05
1