Gemerlap lampu menerangi gaunnya. Mereka hampir sampai. Reya bisa melihat beberapa tamu berlalu lalang di halaman depan. Sial, sampai kapan pesta ini akan berlangsung. Ia kembali gagal paham dengan kebiasaan orang kaya seperti mereka.
“Kalau begitu sudah saatnya kita berpisah.” Elang berjalan mendekati sang gadis. Tanpa permisi ia menarik tangan Reya lalu membungkuk. “Jika takdir mempertemukan kita suatu hari nanti, berjanjilah untuk memberitahuku nama belakangmu. Selamat malam nona Shreya, nikmati malam mu.” Ucapnya lalu memberi kecupan singkat pada tangan jenjang tersebut.
Reya terkejut tentu saja. Gadis itu buru-buru menarik tangannya sambil celinguk kiri kanan.
“Apa yang pria gila ini lakukan! Bagaimana jika ada yang melihat lalu menyebarkan rumor bahwa istri kesayangan Anak tunggal Aryasatya terlihat bermesraan dengan pria lain.” Teriak sang gadis dalam hati.
“Kau! Apa yang kau lakukan—“ Reya hendak memaki pria itu saat netranya menangkap bagaimana Elang berlari sambil tertawa kecil. Melambai ceria ke arahnya, lalu hilang di belokan kiri taman. Seingat Reya di sana tempat pelayan memarkirkan mobil para tamu.
“Dasar orang aneh!” Teriaknya tertahan.
Lupakan, Reya harus segera menemui Gibran dan angkat kaki dari tempat yang dipenuhi oleh orang-orang aneh ini. Saat ini ia berada di samping bangunan besar itu. Reya berusaha merapikan penampilannya sebelum kembali memasuki aula utama.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
Sang gadis terlonjak kaget, mendapati suaminya dengan segelas minuman sedang bertengger di jendela lantai dasar yang hanya berjarak satu meter di atasnya. Sejak kapan dia ada di sana?!
“Mencari udara segar. Dunia kalian orang kaya terlalu pengap untukku.” Balas Reya seadanya.
“Dengan meninggalkan suamimu di antara kerumunan para gadis?” sindir Gibran.
“Ayolah, kau bukan anak kecil baru pubertas yang akan gugup lalu birahi karena dikelilingi banyak gadis.” Reya berdecih kesal, berusaha membela diri.
“Cobalah untuk terbiasa, kau masih istriku sampai satu tahun ke depan.” Gibran menunduk, menatap istrinya yang ikut mendongak menatapnya karena perbedaan tinggi tempat mereka berada. Wajah gadis itu terlihat lebih kesal dari biasanya. Mungkin minuman ditangannya membuat pria itu sedikit gila. Tapi entah mengapa ia merasa ekspresi kesal istrinya itu sedikit lucu.
Ia jelas sudah gila.
“Kau tersesat ke mana baru kembali selama ini?” Gibran melirik arloji di tangannya.
“Rumah kaca.”
“Apa penjual bunga memang selalu tertarik pada bunga?”
Reya tidak merasa jika suaminya itu mabuk. Tapi omongan lelaki itu jelas melantur. Apa Reya perlu melempar kepalanya dengan sepatu kaca yang ia kenakan?
“Aku bertemu anak anjing.” Gadis itu ikut membalas asal pertanyaan aneh suaminya.
“Aku tidak ingat jika Kakek punya anjing.” Alisnya menukik tajam dibarengi dengan kerutan di dahi. Gibran menerka jangan-jangan yang istrinya temui adalah sejenis siluman.
“Aku melihatnya. Seekor Golden retriever.” Ucap Reya sambil mengangkat bahu lalu hendak melangkah pergi dari tempat itu.
“Oh, apa maksudmu anjing yang gemar menjilati tangan gadis yang baru saja ia temui?” Ujar Gibran santai.
Reya buru-buru berbalik. Kembali mendongak ke atas menatap suaminya yang berekspresi datar dengan pandangan kaget. “Kau... sejak kapan...”
“Peliharalah anjing sebanyak yang kau mau Shreya. Tapi jangan pernah lupa untuk selalu menjaga nama baik ku.” Gibran menunduk, tersenyum kecil pada istrinya di bawah sana. Lalu dengan pelan menuangkan minuman yang tinggal setengah di gelasnya ke arah bawah. Mengucur tepat ke wajah sang gadis, membasahi rambut hingga dadanya.
“Aku benci namaku dijadikan bahan gosip, Shreya Oktaviana Aryasatya.” Ujar lelaki itu lagi lalu pergi dari sana. Membiarkan gorden putih di jendela tersebut berayun tertiup angin malam. Meninggalkan istrinya yang basah kuyup dengan bau alkohol yang menyengat.
“B*j*ng*n sialan....” erang Reya menahan emosi yang terasa mencekik di kerongkongannya.
...-----****-----...
“Ya ampun Shreya kamu kenapa sayang?!” Nyonya Madeline bertanya heboh saat melihat gadis yang menjadi menantu keluarga sahabatnya itu memasuki aula dansa dengan kondisi basah. Hal tersebut tentu sempat menarik perhatian banyak orang.
“Aku tidak sengaja menabrak seseorang dan membuat minumannya tumpah ke arahku.” Balas Reya canggung berusaha menghilangkan kekhawatiran dari mereka yang ada di sana. Untunglah tua bangka Puspita tidak berada lagi di sana. Atau Reya akan menjadi bahan olok-olokan iblis tua itu.
Arman menggeleng tak habis pikir dengan tindakan ceroboh sang gadis. Kakek tua itu mengeluarkan sapu tangan dari sakunya. Menyeka minuman yang masih mengalir dari sela rambut ke arah pipi sang gadis.
“Terima kasih Kakek.” Ujar Reya tersenyum tulus. Andai Gibran sedikit punya rasa manusiawi seperti Ayah dan Kakeknya. Reya akan sujud syukur untuk yang satu itu.
“Shreya, ayo masuk ke dalam.” Hendri dengan wajah khawatir menuntun menantu satu-satunya pergi dari sana. Reya di bawa lebih dalam memasuki mansion. Demi Tuhan tempat itu luas sekali.
“Tolong siapkan handuk dan baju ganti.” Pinta Hendri pada salah satu pelayan yang ada di sana. “Gantilah pakaianmu, Ayah tidak ingin kamu demam.”
Reya mengangguk patuh. Sedikit canggung karena ini menjadi kali pertama ia berbicara hanya berdua dengan mertuanya. “Malam ini menginaplah di sini Shreya. Ayah akan panggilkan Gibran.” Hendri mengelus pelan kepala sang gadis sebelum meninggalkannya pada salah satu kamar yang ada di sana.
Reya menunduk. Gadis itu menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Entah kenapa elusan tersebut mengingatkannya pada sang papa.
“Baik Ayah.” Gumamnya pelan.
Kamar ini dua kali lebih luas dari kamar yang ia tempati di rumah Gibran. Gadis itu melepas sepatunya, menarik resleting gaunnya dengan susah payah lalu melempar pakaian basah itu asal. Persetan dengan harganya yang mahal. Reya sudah berusaha menjaga, Gibran sendiri yang malah mengucurkan minuman beralkohol ke arahnya.
Mengingat ekspresi tidak bersalah pria itu saat menyiramnya membuat Reya naik pitam. Dengan kesal ia melepas pakaian terakhir yang ada di tubuhnya. Melempar dalaman itu di atas sofa yang berada di ujung kasur. Reya memutuskan untuk membasuh tubuhnya yang lengket.
Mulutnya terasa sedikit pahit, sepertinya Reya tidak sengaja menelan minuman tersebut.
“Aku benar-benar akan membalasnya.” Sudut bibir yang naik itu berkedut kesal. Reya menyalakan kran air panas. “Dia pikir dia siapa?! Mentang-mentang kaya raya bisa memperlakukanku seenaknya. Ha ha ha, tunggu saja!” Tawa terputus-putus yang terdengar mengerikan teredam suara percikan air yang mengalir deras.
Reya butuh waktu untuk mendinginkan kepalanya.
Sementara itu, Hendri akhirnya menemukan putra semata wayangnya. Gibran duduk melamun di perpustakaan pribadi milik keluarganya. Di hadapannya terlihat papan catur serta bidak yang berceceran tidak pada tempatnya. Lelaki itu memutar-mutar bidak raja di tangannya dengan pikiran melayang entah ke mana. Dia seratus persen mabuk sekarang.
“Gibran.” Baru saja mengalihkan pandangannya, sebuah tamparan mendarat di pipi sang pria. Gibran terbelalak kaget. Apa ayahnya yang bahkan tidak pernah memarahinya saat ia menenggelamkan mobil mereka di sungai itu baru saja menamparnya? Kenapa, apa alasannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments