“Sepertinya menantu keluarga Aryasatya memiliki mulut yang cukup licin.” Puspita, dengan perhiasan berkilau yang cukup membuat sakit mata. Sengau melengking nan pengar. Reya tidak tahan lagi mendengar intonasi suara penjual bakso b*r*x tersebut.
“Tidak perlu memuji Nyonya. Saya memang senantiasa diajarkan untuk bertindak sesuai situasi.” Ujar Reya berbangga diri. “Untuk menghadapi hujan, kita butuh payung. Untuk menghadapi ikan lele—“
“Butuh pisau. Ya lanjutkan saja omong kosongmu.” Puspita menyela dengan kesal.
“Salah Nyonya. Untuk menghadapi lele, jadilah lebih licin dari lele.” Reya tersenyum. Lalu meminta izin untuk menginjak lantai dansa dengan sang suami. Meninggalkan Puspita tua yang kini mukanya ikut berwarna merah senada dengan dress yang ia kenakan malam itu.
“Arman. Tidak biasanya kamu diam saja saat keluargamu direndahkan.” Sir Thomas bertanya bingung.
“Yang satu itu berbeda Thomas. Aku sudah melihat sendiri kemampuannya hahaha!” Arman mengingat jelas bagaimana gadis itu menghadapi omongan busuk neneknya.
Reya masih menarik tangan Gibran. Menuju lantai dansa yang mulai ramai diisi oleh pasangan kasmaran yang menari lambat diikuti iringan musik klasik.
“Sembilan menit lima puluh detik. Pencapaian yang hebat.” Ini rekor baru, pasalnya Gibran sendiri tidak pernah tahan lebih dari tiga menit berhadapan dengan wanita tua itu. Ia dan keluarganya membuat Gibran muak.
“Terima kasih. Sekarang aku cukup lapar dan ingin pergi ke meja berisi dessert manis itu. Nikmati malam mu tuan.” Reya membungkuk, lalu mengambil langkah lebar untuk pergi dari sana. Sebelum lengannya ditarik dan membuat gadis itu terhuyung ke belakang. “Apa lagi?!” Erangnya kesal.
“Kita sudah berada di tengah lantai dansa.”
“Lantas?”
“Sudah sepatutnya kita berdansa karena orang-orang mulai menjauh untuk memberi kita ruang.” Terbawa emosi hasil perang mulut sebelumnya, Reya baru sadar jika para tamu mulai membentuk lingkaran di pinggir lantai dansa. Menaruh seratus persen atensi mereka pada pasangan utama si tuan rumah.
“Mati aku.” Reya ingin membenturkan kepalanya ke lantai marmer di bawah.
“Jangan berlebihan, ini hanya sampai satu lagu berakhir.” Ujar Gibran mencemooh sikap istrinya.
“Aku tidak sudi berdansa denganmu!”
Gibran mengangkat bahu tanda ia tidak peduli. “Begitu pula denganku.”
Lelaki itu menarik tangannya. Dalam sepersekian detik mereka sudah dalam posisi siap berdansa.
“Kau tau, aku rasa ini ide yang buruk.” Reya bergerak gelisah berusaha menyingkirkan tangan Gibran dari pinggangnya. “Aku—aku tidak bisa berdansa.”
Lagu baru dimainkan. Alunan the second waltz mengalir lembut memasuki indra pendengaran para tamu yang hadir. Gibran menghela nafas di sela iringan musik yang mengaum. “Sudah terlambat.”
Gibran memulai langkah pertama. Membuat tubuh mereka berdua berputar pelan. Kaku dari ujung rambut sampai kaki. Reya mati kutu dan hanya bisa pasrah mengikuti ke mana pun langkah Gibran membawanya.
“Santai lah, ikuti saja langkah ku.”
Mudah memang mengatakannya jika kau sudah dilatih sedari kecil untuk menari bagaikan angsa. Bagaimana dengan Reya?! Jika dibandingkan dengan angsa, ia jelas seekor soang yang buruk rupa. Malam itu, dengan menulikan hati serta telinganya. Reya merasa telah mempermalukan dirinya sendiri dengan menari bagaikan boneka kayu tua. Dan anehnya dibanding cemooh, gadis itu justru dihadiahi tepukan tangan para tamu di sana.
“Kau harus lebih percaya pada suami mu.” Ujar Gibran masih dengan tangan di pinggang istrinya.
“Lihat! Itulah cucuku dan istri kesayangannya.” Arman berteriak dengan Hendri sang anak merangkul lelaki tua itu. “Ayah jangan berteriak dan berhentilah minum langsung dari botolnya.” Kakek tua itu jelas menghiraukannya.
Gibran memanfaatkan istrinya dengan sangat baik. Dessert manis nan cantik itu sepertinya harus menunggu sedikit lebih lama, karena kini Gibran menyeret Reya untuk sekedar menyapa rekan bisnisnya.
Baterai sosialnya rasanya terkuras habis. Gadis itu tersenyum dengan pandangan kosong pada tamu ke dua puluh delapan yang menyapa mereka malam itu.
“Ada apa. Bukannya kamu sendiri yang menyetujui perjanjian kita.” Sindir Gibran.
“Diamlah. Kalau bukan karena uangmu aku mana sudi.” Gadis itu membalas tanpa minat. Reya lelah, ia hanya ingin mengunyah sesuatu sekarang. Lelaki di sampingnya tertawa culas.
“Gibran!”
Dari kejauhan Reya melihat sekumpulan gadis berjalan mendekat ke arah mereka. Tidak, lebih tepatnya ke arah suaminya. Memanfaatkan kesempatan tersebut, sang gadis berlalu cepat. Membaur dan berusaha menghilang di antara tamu yang mulai memadati area meja penuh makanan.
Voila!
Matanya berbinar saat melihat tumpukan creme brulee. Meja berisi bermacam makanan penutup yang ia sendiri tidak tahu namanya itu sudah menarik perhatiannya sejak awal acara.
Manis dan meleleh. Tidak ada yang lebih hebat dari dessert yang bisa kau makan sepuasnya. Dan gratis tentu saja. Sesekali dengan was-was ia mengintip diantara tamu undangan. Sekedar memastikan posisi suaminya yang saat ini berwajah muram layaknya pria tua yang kalah lotre. Reya melenguh, lelaki itu pasti sangat benci dikelilingi sekelompok wanita yang seolah ingin menerkamnya.
“Pffftt, apa peduliku.” Mengangkat bahu gadis itu menyeret langkahnya menjauh dari kerumunan. Dengan kedua tangan membawa piring berisi beberapa makanan penutup.
Taman samping itu terlihat sepi. Reya memutar otaknya, berusaha menghitung seberapa luas area taman mansion utama keluarga Aryasatya. “Sekalian saja buka kebun binatang.” Celutuknya asal saat melihat sebuah rumah kaca. Taman itu dipenuhi tanaman rambat hias sebagai penunjuk jalan. Dengan penasaran gadis itu membawa langkahnya memasuki rumah kaca tersebut. Pintu tinggi itu terbuka setengah, seolah dibiarkan terbuka demikian atau memang ada orang yang membukanya secara paksa. Hanya ada beberapa lampu taman kecil. Reya bersyukur rembulan bersinar cukup terang malam itu. Atau mungkin saja ia bisa salah menginjakkan kakinya dan tersungkur ke sekumpulan bunga euphorbia. Bayangkan saja, penjual bunga yang mati tertusuk ribuan duri bunga. Ironis sekali.
Tempat itu diisi oleh banyak sekali jenis tanaman hias. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah pohon wisteria pada pot bonsai yang berhasil tumbuh setinggi pinggang. Reya bisa tau dari rimbunan daunnya. Mungkin bunga pertamanya akan mekar akhir tahun nanti. Reya asik sendiri melihat-lihat tanaman unik yang ada di sana sambil menyuapi dirinya sendiri. Sampai ia berhenti mematung pada belokan di ujung pintu belakang tempat itu. Suara apa itu?!
“Nghh...”
Hewan liar? Terdengar mustahil jika ada seekor babi yang bisa masuk ke tempat seperti ini. Reya menerka-nerka semua suara yang mungkin saja pernah ia dengar selama sembilan belas tahun hidupnya. Tapi yang satu ini sangat asing ditelinganya. Dengan rasa penasaran gadis itu berusaha mendekati sumber suara.
Dan setelahnya itu mungkin menjadi tiga besar keputusan yang paling ia sesali dalam hidupnya. Percaya pada lelaki, pertama kali mencoba rasa taro karena penasaran, dan tidak sengaja memergoki sepasang kekasih yang sedang bercumbu mesra. Reya kesal bukan main, wajahnya memerah sampai ke telinga.
Dasar tidak tahu diri!
Berani sekali mereka melakukan hal seperti itu di tempat publik. Di mana pikiran mereka. Sebagai gadis perawan yang pernah diselingkuhi dan terpaksa menikahi seorang pria karena hartanya. Reya geli, uget-ugetan, jijik, dan apapun frasa lainnya yang tepat untuk menggambarkan perasaannya yang baru pertama kali melihat seseorang bercumbu secara langsung.
Reya mundur perlahan, menjauhi dua sejoli itu tanpa membuat suara.
“Kamu sedang apa?”
Selanjutnya terdengar suara pecahan keramik yang menggema di dalam rumah kaca tersebut. Membuat kedua pasangan itu melepas tautan bibir mereka karena kaget.
“Siapa di sana!” teriak sang pria sambil memeluk wanitanya. Namun ucapan tersebut hanya disambut semilir angin yang ikut menyeret gumpalan awan. Menyelimuti bulan sehingga cahaya di tempat itu seketika meredup.
Sementara itu, sang pelaku utama saat ini terduduk di antara pot besar bugenvil dengan mulut terbungkam. Itu jelas bukan tangannya. Reya terlalu kaget untuk sekedar bergerak. Jantungnya berpacu kencang. Siapa itu?! Siapa lelaki yang saat ini sedang menutup mulutnya dengan tangan besarnya itu. Reya tidak bisa melihat jelas dengan rambut berkeringat menutupi matanya dan cahaya rembulan yang saat itu meredup.
Gibran?
Tidak. Baunya berbeda, Reya bisa mengingat jelas bau suaminya itu. Aroma pinus menusuk penciumannya.
Saat tubuhnya kembali merespon untuk bereaksi. Angin kembali bertiup, melengserkan awan dari hadapan sang rembulan. Di hadapannya, seorang lelaki asing yang tidak pernah ia lihat sebelumnya ikut menatap sang gadis dengan pandangan cemas.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments