Chapter 18: Malam pertama

“Ayah kenapa—“

“Diam kamu bocah bodoh!” Hendri berkata lantang. Ikut mendudukkan diri pada kursi yang berhadapan dengan Gibran. Pria tua itu menghembuskan nafas kasar, raut matanya terlihat lelah.

“Apa maksudmu mempermalukan istrimu sendiri dengan membuatnya basah kuyup dan berbau alkohol di depan para tamu.” Hendri menatap tajam putra semata wayangnya. “Kamu bisa menipu Kakek dan semua orang, tapi Ayah jelas tahu kalau minuman itu tidak disajikan untuk tamu hanya kamu yang tahu gudang penyimpanannya.” Hendri melirik botol kosong yang tergeletak di lantai.

Gibran masih menutup rapat mulutnya. Lelaki itu menunduk, menampung kepalanya yang terasa berat. Omongan sang Ayah terasa berputar di kepalanya.

“Ada apa denganmu?! Ayah pikir kamu menerima perjodohan ini dengan tulus. Bukankah kalian saling mencintai.” Hendri menjeda kalimatnya. “Atau jangan katakan pada Ayah jika kamu melakukan ini semua karena nenek.”

“Memangnya untuk siapa lagi.” Wajah itu terangkat. Menatap sang lawan bicara dengan mata sayu yang memicing tajam.

Hendri mengusap wajahnya kasar. Tidak pernah melihat sang putra berpenampilan sekacau ini sebelumnya. “Kamu pikir nenek akan bahagia dengan semua ini?”

“Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan Ayah? Membiarkan wanita yang sudah merawatku sejak kecil mati dalam keadaan kecewa karena bocah yang sudah susah payah ia rawat bahkan tidak bisa memenuhi satu keinginan terbesarnya?” Ucap Gibran.

“Gibran, apa yang kamu lakukan sekarang. Bukan hanya nenek, ibumu pasti akan kecewa.” Sejak awal Hendri tidak pernah memaksakan perjodohan tersebut. Ia merasa tidak pantas memaksakan pernikahan pada putranya itu. Hanya saja Ayahnya Arman yang terlalu berambisi menepati janjinya pada orang yang bahkan sudah mati.

“Ibu sudah tiada!” Gibran menatap berang ayahnya. “Ibu... sudah lama mati. Jika bukan karena potret dirinya yang tersebar di penjuru rumah ini. Aku bahkan tidak bisa mengenali wajahnya lagi. Suaranya, baunya, aku hampir melupakan itu semua Ayah!"

Hendri memalingkan wajahnya. Tidak sanggup menatap ekspresi terluka putranya itu. Seharusnya ia tahu, di antara mereka semua. Gibran lah yang paling kehilangan sosok wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Ia telah gagal, sebagai seorang suami dan sebagai orang Ayah.

“Aku tidak peduli soal Kakek dan perjanjian konyolnya itu. Hanya saja, aku tidak sanggup melihat nenek kecewa.” Ujar lelaki itu sambil mengusap wajahnya kasar. “Semua akan berjalan baik-baik saja Ayah. Duduk dan lihatlah.”

“Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk menyakiti perempuan.” Peringat Hendri.

“Oh sudahlah Ayah! Gadis itu bahkan tidak layak disebut perempuan!” erang Gibran kesal.

Hendri bangkit dari duduknya. Mengabaikan ocehan kesal sang putra. “Temui dia, menginaplah di sini malam ini. Ayah tidak ingin melihat koran pagi berisi berita pengemudi mabuk yang mengalami kecelakaan.”

“Aku tidak mabuk.” Balas Gibran asal. Berbanding terbalik dengan kondisinya yang terlihat kacau.

“Dan, minta maaf lah padanya nanti.” Ujar sang ayah memperingatkan. Hendri meninggalkan tempat itu dengan pikiran berkecamuk. “Maria, seharusnya hari itu aku saja yang mereka bawa pergi.” Ujarnya pada udara kosong yang mulai mendingin.

Gibran merasa mual. Dengan susah payah lelaki itu bangkit dari duduknya. Ia berjalan sempoyongan menyusuri koridor kosong. Tujuannya saat ini adalah kasur, ia harus merebahkan tubuh berat ini. Lelaki itu berjalan begitu saja, melewati tangga lantai atas yang melewati lantai dansa. Ini sudah tengah malam. Hanya tersisa Kakek dan beberapa teman gilanya serta para pelayan yang mulai membersihkan tempat itu. Gibran mengernyit aneh, tidak biasanya tua bangka itu mengakhiri pestanya secepat ini. Ah apa pedulinya. Gibran butuh kasur sekarang juga.

Kenapa kamarnya harus berada begitu jauh di ujung sayap timur bangunan. Langkahnya makin berat saja. Dengan pandangan nanar Gibran tanpa terduga berhasil sampai di depan pintu kamarnya. Lelaki itu mendorong pintu yang tidak terkunci untuk menemukan pakaian dalam wanita tergelatak asal di sofa kamarnya.

“Siapa?” batinnya.

Kamar itu gelap, dengan hanya cahaya rembulan sebagai penerangan. Matanya menangkap buntalan besar yang menggeliat di bawah selimut yang ada di kasur. Gibran berjalan pelan, berusaha mendekati benda asing itu lalu menarik selimut tersebut dengan hati-hati.

Oh, hanya seorang gadis.

Tunggu, siapa gadis asing ini?!

Gibran berusaha memicingkan matanya, merekam wajah itu di antara kegelapan. Menerka-nerka siapa gadis kurang ajar yang telah berani menaiki ranjang hangatnya. Hingga deru angin menerbangkan gorden kamar lantai dua itu. Ikut menyeret awan di atas sana sehingga cahaya rembulan jatuh dengan lembut pada wajah lugu seorang gadis yang sedang tertidur pulas.

“Lihatlah gadis ini bisa tertidur pulas setelah menyebabkan masalah untukku. Kau bahkan tidak secantik ibuku!” Oceh lelaki itu mabuk. Dia hampir lupa kalau sudah punya istri.

Gibran berdiri diam di sana tanpa melakukan apa pun. Ia hanya menatap wajah istrinya dengan mata yang mulai sayu. Gadis itu terlihat cukup manusiawi saat tertidur. Lantaran selama ini Gibran hanya bisa melihat ekspresi kesal dengan alis yang menukik tajam terlukis di wajah kecilnya. Bibirnya sedikit terbuka, siapa sangka kata-kata pedas bisa keluar dari sana. Entah dorongan dari mana, lelaki itu mengulurkan tangannya. Mengelus pipi itu lembut seolah takut jika ia berbuat kesalahan, gadis itu akan hancur seperti hiasan porselen di ruang kerja sang Kakek.

“Maaf.”

Reya menggeliat tidak nyaman dalam tidurnya. Mungkin tangan dingin lelaki itu menembus mimpi indahnya.

Selanjutnya Gibran tidak begitu ingat apa yang terjadi. Lelaki itu, dengan sisa energi dan refleks bagus tubuhnya. Mulai melucuti pakaian yang ada di tubuh tegapnya itu. Meninggalkan pakaian bermerek terkenal itu begitu saja di lantai yang dingin. Hingga hanya tersisa sehelai celana pendek di sana.

Ia menaiki kasur, ikut merebahkan diri. Reya yang ada di sana sama sekali tidak terganggu dengan eksistensi makhluk asing yang ikut berbaring di sebelahnya. Gibran menggeliat, berusaha mencari posisi tidur yang nyaman. Hingga wajahnya berhadapan dengan Reya. Hidung mereka hampir bertemu, Gibran tanpa sadar menahan nafasnya kaget. Gadis di hadapannya terlihat tidur dengan damai. Irama nafas yang naik turun itu ikut membuat kelopak mata Gibran terasa berat.

Malam itu, untuk pertama kalinya. Gibran tertidur pulas setelah puas menatap wajah gadis asing yang secara tiba-tiba berstatus sebagai istrinya. Dan untuk pertama kali juga, ranjang kamar itu diisi oleh sepasang perawan dan perjaka yang terlalu larut dalam mimpi indah mereka sampai tidak punya niat melakukan hal lebih yang biasanya dilakukan oleh manusia normal saat lelaki dan wanita berada di ranjang yang sama. Rasanya seperti dewi artemis di atas sana ikut memeluk mereka berdua melalui cahaya rembulan, lalu berbisik.

“Bocah b*ngs*d, cuma orang tolol macam kalian yang tidur saat malam pertama.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!