Chapter 13: Istri sah

Reya mulai melupakan omong kosong kotor yang keluar dari mulut sahabatnya, Naura.

Ia telah mendapatkan bukti valid di mana Gibran, entah secara normal atau mungkin memiliki kelainan seksual. Benar-benar tidak tertarik padanya. Dan itu merupakan hal bagus karena Reya merasa lebih aman.

Siang itu, tidak biasanya Gibran pulang lebih awal. Air muka lelaki itu terlihat lelah. Reya tidak pernah menyambut kepulangan suaminya. Maksudku, untuk apa? Buang-buang waktu saja.

Gadis itu sedang berada di ruang tamu saat Gibran tiba. Ia sibuk bermain ponsel sambil mengunyah semangkuk besar semangka yang telah dipotong oleh bi Surti.

Ia sempat melirik ke arah Gibran yang terlihat sibuk dengan ponselnya sambil menaiki anak tangga menuju lantai atas. Tidak berapa lama kemudian lelaki itu turun dengan penampilan yang lebih santai dan terlihat segar.

Makan siang tertata rapi di atas meja. Dengan si penata yang telah hilang jejaknya seperti di telan bumi. Sepertinya bi Surti punya bakat menjadi ninja atau mata-mata.

Reya sudah lebih dulu berada di sana, menyeruput sup labu dengan pikiran melayang pada hal-hal acak yang muncul di kepalanya.

“Kakek mengadakan pesta penyambutan untuk kita, nanti malam kita harus ke sana.” Ujar Gibran tanpa basa-basi.

Mendengar itu, Reya berhenti menyuapi bubur ke dalam mulutnya. Pesta? Gadis kampungan sepertinya mana tahu cara berdansa ala orang kaya. Gibran pasti bercanda, dia hanya bisa menari goyang bang jali. Bagaimana ini, ia akan mempermalukan nama baik keluarga Aryasatya dan dirinya sendiri.

“Apa kita wajib datang?” Reya bertanya tanpa maksud yang lain. Gadis itu hanya tidak ingin membuat pengakuan kalau ia buruk dalam hal mengendalikan tubuh kakunya itu. Lelaki kaya berstatus suaminya itu pasti akan mengolok-olok dirinya.

Pertanyaan bodoh itu disambut lirikan tajam oleh Gibran. Ia urung mengunyah potongan roti di supnya. “Apa maksudmu, tentu saja kita tokoh utama yang harus hadir di sana.” Balasnya dengan nada dingin.

Hebat sekali Reya, hubungan kalian akhirnya memiliki progres. Kini Gibran tidak lagi mengabaikan omong kosongmu.

Alis sang gadis ikut berkerut, ia ingin mengutarakan isi hatinya dengan berkata “selow dong!” keras-keras. Namun ia urungkan, siapa tahu Gibran adalah tipe suami yang akan mengguyur kepalanya dengan sup labu panas karena kesal dengan pertanyaan konyol seperti itu. Reya tidak ingin ada adegan KDRT di sini.

“Aku tidak punya gaun.” Gadis itu memutar otak mencari alasan.

“Memangnya kamu pikir selain dua industri utama itu, bisnisku bergerak di bidang apa.” Ujar Gibran santai.

Ah, fashion dan mode. Kenapa Reya bisa lupa dengan yang satu itu.

“Sialan...” cicitnya kesal.

“Apa?”

“Bukan apa-apa.” Sanggahnya sambil tersenyum kecil.

Lagi-lagi ruangan itu menjadi hening dengan mereka yang larut dalam pikirannya masing-masing. Reya buru-buru menyudahi makan siangnya. Bi Surti muncul tepat setelah gadis itu selesai. Langkahnya terhenti saat Gibran menginterupsi.

“Jadilah istri yang berguna, Shreya.” Ujar Gibran masih fokus dengan isi piringnya.

Reya mengepalkan kedua tangan hingga buku-buku tangannya memutih. Aahhh... seharusnya Reya menambahkan satu syarat penting lagi di dalam kontrak perjanjian mereka. Soal tidak menganggap apalagi memperlakukannya sebagai barang sewaan.

“Tentu.” Balas gadis itu dingin lalu menghilang di belokan dapur.

Reya membanting pintu kamarnya kesal. Sejak awal lelaki br*ngs*k itu tidak punya niat untuk menjadikan Reya sebagai patner bisnis. Ia pasti menganggap Reya sebagai salah satu aset yang bebas ia gunakan untuk menopang nama besar keluarganya.

Reya sebenarnya tidak terlalu peduli. Toh dia juga hanya mengincar harta suaminya. Tetapi entah kenapa harga dirinya sedikit terluka. Apa dia mulai ragu dengan keputusan ini?

Gadis itu mengatur nafasnya agar tidak tersulut emosi. Tarik.... buang....

“Satu, dua, tiga... Reya sabar, ingat kamu masih butuh hartanya.” Begitu kira-kira kata penenang yang ampuh untuk meredam keinginannya menghabisi nyawa Gibran saat lelaki itu sedang tidur.

Reya berharap waktu berhenti saat itu juga. Mengingat bagaimana nanti ia harus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di pesta sudah cukup membuatnya merasa mual.

“Ah! Bodo amat!” Kesalnya lalu memutuskan untuk tenggelam dalam selimut navy bermotif domba itu.

...------****------...

Gibran melirik arlojinya kesal. Ia sedang sibuk mengurus perusahaan saat sang kakek mengabarinya dengan pesan singkat tentang pesta dadakan itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.47 dan istri hasil nikah kontraknya itu belum menampakkan batang hidungnya sejak makan siang tadi. Ke mana perginya gadis itu, padahal Gibran sudah mengingatkannya tentang pesta nanti malam.

“Bi Surti!” Panggil Gibran sedikit berteriak karena tidak melihat keberadaan asisten rumah tangganya tersebut.

“Ya tuan.”

Gibran tersentak kaget saat wanita itu muncul dari belakangnya. “Di mana Shreya?”

“Nyonya ada di kamarnya tuan.”

“Tolong panggil dia untuk segera turun.” Pinta Gibran.

“Sudah tuan, tapi nyonya Reya tidak merespon dan tidur seperti orang mati.” Ucap bi Surti dengan wajah datar. Jika kalian sedikit lebih teliti, bisa terlihat pancaran kekesalan dalam bola mata kelam itu.

Gibran menghela nafas kesal. Tanpa berkata apapun lagi, lelaki itu beranjak menaiki anak tangga menuju lantai tiga di mana kamar sang istri berada.

Berdiri di depan pintu putih pucat dengan ukiran tua itu membuatnya merasa sedikit deja vu. Kenapa dirinya harus terjebak dalam lingkaran setan ini. Pria itu mengetuk tiga kali, sebelum melongos masuk.

Di atas kasur terdapat gumpalan selimut yang besar. Yang entah kenapa membuat Gibran teringat akan beruang yang sedang hibernasi.

“Shreya, bangun. Kita harus segera pergi.” Perkataan lelaki itu disambut hening. “Berhenti pura-pura tidur. Aku tidak pernah meminta lebih, jadi penuhi tugasmu sebagai istri di keluarga ini.” Lanjut Gibran.

Gumpalan itu perlahan bergerak lalu muncul kepala seorang gadis dengan ekspresi muka yang mengerikan.

“Kamu sedang menahan buang air besar?” Gibran bertanya asal setelah melihat wajah masam gadis di depannya.

“Tidak.”

Gadis itu bangkit lalu menghilang di pintu kamar mandi. Lagi-lagi menganggap pria yang berstatus sebagai suaminya itu tidak penting.

Saat selesai dengan urusannya. Reya melihat sebuah gaun sederhana berwarna biru muda terletak di atas kasurnya. Lengkap dengan sepasang sepatu dan kotak perhiasan.

“Aku harus berhati-hati untuk tidak merusak semua ini.” Ujarnya setelah mencari tahu harga dari merk baju yang akan ia kenakan.

Gadis itu menuruni tangga untuk mendapati Gibran yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menoleh untuk sekedar melihat apakah Reya tidak berpenampilan memalukan.

“Ayo pergi.”

Malam itu, Reya memilih untuk menikmati lampu kota tanpa berniat membuka pembicaraan. Mobil itu melaju stabil dengan pengemudi yang terlihat kesal jika dilihat dari kedua alisnya yang menukik tajam.

Gibran benar-benar tidak habis pikir dengan kakeknya itu. Bukankah mereka sudah sepakat untuk mempublikasikan hubungan pernikahannya bulan depan. Tepat saat ia dengan resmi mengambil alih perusahaan. Apa yang sedang kakek tua itu rencanakan. Ayahnya bahkan lepas tangan dan hanya memintanya untuk menuruti kemauan sang kakek.

Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang Reya yakini sebagai kediaman utama keluarga Aryasatya. Dalam hati gadis itu menjerit tempat macam apa ini. Dibandingkan rumah, tempat ini jelas sebuah mansion. Tiga kali lebih besar dari rumah yang ia dan Gibran tempati. Dasar orang kaya, Reya jadi merinding dibuatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!