Banyak mobil mewah terparkir di halaman luas itu. Reya menerima uluran tangan Gibran tanpa berniat memandang wajah suaminya. “Jangan membuang muka, tersenyumlah saat kita tiba di dalam.” Lelaki itu membiarkan sang istri menggandeng lengannya. “Dan berhati-hatilah dengan wanita tua berpenampilan nyentrik.”
Reya mengerling, bingung dengan maksud dari ucapan suaminya itu. Saat pintu besar itu dibuka oleh dua orang pelayan yang tersenyum ramah, Reya merasakan perutnya bergejolak liar. Sama seperti saat pernikahannya dulu.
Segalanya memburuk saat kau merasa cemas. Selain isi perut yang diaduk-aduk, Reya bersyukur ia tidak muntah dan mengotori gaun mahalnya. Semua mata kini tertuju pada mereka. Ah, aura orang kaya. Rasanya seolah kau sedang berada di dunia yang berbeda dan orang-orang di sana mulai mempertanyakan asal keberadaanmu.
Reya tanpa sadar mulai menunduk, lantai dansa berbahan marmer dengan corak kotak-kotak mulai bergelombang di bawah hak sepatunya. Kakinya serasa menjadi setipis kawat jemuran. Reya yakin kalau ini yang dinamakan grogi.
“Tenanglah, tidak ada yang akan menelanmu hidup-hidup.” Gibran merangkul pinggangnya. Hanya ingin terlihat mesra layaknya pasutri yang baru menikah, juga untuk menopang tubuh istrinya yang mulai goyah.
“Jangan sentuh aku....” cicit Reya merasa tidak nyaman.
“Apa?”
“Aku bilang jangan sentuh aku lebih dari ini.” Gadis itu mendongak menatap suaminya sambil tersenyum.
Gibran membalas senyuman itu tak kalah lebar. “Tidak bisa, karena sekarang semua orang memperhatikan kita.”
“ha..ha..ha... aku sangat senang datang ke pesta ini.” Wajah berkerut-kerut kesal, Reya tertawa canggung sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Gibran! Akhirnya kalian tiba nak.”
Ayah mertua baik hati dan penyayang. Reya merasa sedikit damai saat melihat wajah teduh dari Ayah suaminya itu. Hendri Aryasatya datang memeluk putra semata wayangnya, lalu bergantian memeluk singkat menantu tunggal keluarga itu.
“Reya, apa kabar sayang?”
“Baik om—ah baik Ayah.” Buru-buru ia mengganti panggilannya saat Gibran meremas kecil pinggulnya. Reya bersumpah akan membalas pria itu nanti.
Sejak berita tentang Reya menerima perjodohan keluarga mereka. Hendri adalah orang paling bahagia yang menyambut berita itu dengan sukacita. Mungkin pria paruh baya itu akhirnya bisa tidur tenang tanpa mengkhawatirkan putranya yang terlihat sama sekali tidak memiliki masa depan itu.
“Di mana kakek?” tanya Gibran saat netranya tidak menangkap sosok sang kakek.
Hendri menujuk dengan dagunya pada sekumpulan orang lanjut usia dalam pakaian mewah yang terlihat sedang bersenda gurau.
“Hampiri saja.”
Gibran mengangguk lalu ikut memboyong Reya bersamanya. “Ingat yang aku katakan sebelumnya. Jika wanita tua berwajah penyihir itu menanyakan sesuatu, jawablah dengan percaya diri. Kalau perlu berbual sekalian.”
“Aku tidak ahli dalam membual.” Reya jelas berkata jujur.
“Tenang saja, suamimu ini akan membuat semua bualanmu menjadi nyata.” Ujar Gibran percaya diri.
Gadis itu memandangi kerumunan tersebut. Kakek Gibran, seorang lelaki tua, dan dua orang wanita paruh baya. Reya langsung dapat menemukan orang yang suaminya maksud. Wanita tua dengan dress merah menyala yang potongan dadanya membentuk huruf V. Perhiasan mewah dari mulai kalung, anting yang terlihat berat, serta cincin yang hampir memenuhi kesepuluh jarinya. Reya bahkan bisa melihat heels beludru dengan warna merah senada yang mencuat dari potongan fabrik kain di pahanya.
Wanita tua itu definisi dari toko perhiasan berjalan.
“Kakek, apa kabar.”
Jika sebelumnya yang Reya tangkap dari Pria tua Aryasatya itu adalah lelaki tegas yang sedikit pemarah. Kini wajah dengan senyum mengembang itu sukses membuatnya menganga. Apa kakek tua itu mabuk? Bahkan kumis putihnya seolah ikut melengkung membentuk senyuman.
“Gibran cucu kesayangan Kakek! Kemari nak.”
Rangkul sana sini, basa-basi sana sini. Kini perhatian Arman sepenuhnya jatuh pada Reya.
“Kemari sayang.” Gadis itu baru maju saat sang suami mengangguk mengiyakan.
“Perkenalkan, Shreya. Menantu keluarga ini.” Arman, dengan sorot mata berbinar memperkenalkan istri cucunya itu dengan bangga.
Reya mengangguk, tersenyum tipis dengan hati cenat cenut. Takut takut jika saja senyumannya itu terlihat mengerikan.
“Waahh, hebat juga kamu Arman. Menemukan pasangan secantik ini untuk cucumu. Gibran, kamu sangat beruntung nak.” Pria tua itu memuji. Terdengar tulus, dengan mata sedikit jelalatan memindai tubuh sang gadis dari atas hingga bawah. Gelas alkohol di tangannya berayun pelan seiring tawa yang ikut mengguncang tubuh gembilnya.
Ughh, Reya merasa jijik.
“Tentu saja Sir Thomas. Saya mungkin adalah pria paling beruntung di muka bumi karena berhasil menikahi gadis sempurna seperti dia.” Gibran maju, merangkul mesra istrinya. Tersenyum bangga dengan netra kelam yang ikut serta memberi tatapan tajam pada sang lawan bicara. Tatapan itu seolah berkata “jaga ke mana pandanganmu mengarah, atau aku akan mencongkel kedua bola matamu.” Pria tua itu sedikit bergidik dibuatnya.
“Sayang sekali Gibran. Aku pikir kamu punya selara yang cukup berkelas untuk menikahi Kiara, cucuku.” Denting gelas berisi alkohol yang beradu dengan cincin permata mengalihkan pandangan Reya. Target sejenis homo sapiens berjenis kelamin wanita dengan rupa penyihir bergelambir buka suara. Bibir dengan polesan merah yang terlihat sangat dipaksakan. Intonasi suara yang lebih buruk dari saat radio peninggalan kakeknya rusak akhir Desember lalu. Reya merinding bukan main.
“B*jing*n!” teriak Reya dalam hati. Gibran tidak berbohong soal mereka akan bertemu sejenis dukun.
“Hahaha, sepertinya kami memang tidak berjodoh. Semoga Kiara segera menemukan pasangannya.” Reya bisa melihatnya. Senyum seribu persen palsu yang bertengger di wajah suaminya. Apakah Gibran sedang membelanya, atau saat ini lelaki itu sedang berperang mempertahankan harga dirinya. Reya tidak mau tahu. Hanya saja, remasan di pinggulnya jelas menyuruh dirinya untuk ikut angkat senjata. Jika bisa membaca pikiran, mungkin Reya akan melihat isi kepala Gibran yang berkata “jangan permalukan keluarga ini. Di mana mulut tajammu yang biasa itu.”
Reya bisa cepat sekarat jika berada lebih lama dan menghirup udara yang sama dengan mereka. Maka dengan penuh percaya diri, serta senyum paling manis yang bisa ia berikan. Gadis itu maju, ikut mengangkat senjata demi harga diri sang suami.
“Perkenalkan Nyonya, saya Shreya Oktaviana. Istri satu-satunya dan yang paling dicintai oleh Gibran Putra Aryasatya.” Kerutan muncul di dahi wanita tua yang memang sudah usang dimakan usia. Gelas dengan pinggiran berbekas lipstik merah menyala di tangannya bisa saja remuk. Ikut merasakan gejolak peperangan yang baru saja Reya sulut.
“Ah manis sekali! Kamu pasti lahir bulan Oktober.” Sahut wanita satu lagi girang, sama sekali tidak paham akan situasi. Reya tersenyum canggung, tidak ingin mematahkan tawa riang dari wanita tua yang ramah itu. Pasalnya memang banyak dari mereka yang salah menebak soal nama dan bulan kelahirannya itu.
“Sayangnya tidak Nyonya, saya lahir bulan September. Sedikit lebih awal dari waktu seharusnya.” Di luar dugaan tawa wanita dengan dress hijau selutut itu justru semakin keras.
“Arman dia lucu sekali. Sudah melawan takdir sejak baru lahir!” Serunya seolah Reya adalah hiburan yang sudah ia tunggu-tunggu di pesta membosankan dengan alunan musik jazz itu. Andai wanita tua itu tau takdir yang sekarang harus dihadapi oleh Reya, mungkin ia akan kehabisan nafas karena tawa.
“Madeline hentikan. Tawa mu mengundang tatapan tamu lain.” Arman melambaikan tangan, menghalau tatapan kebingungan tamu-tamunya bahwa mereka hanya sedang sedikit bersenang-senang di sana.
“Oh... pantas saja penampilannya terlihat seperti pemberontak.” Tatapan merendahkan lagi-lagi menghujani Reya. “Puspita, tidakkah candaanmu terlalu berlebihan...” Si tua Madeline berkata sedikit tak enak. Takut jika gadis lugu tak berdosa itu terluka oleh omongan tajam temannya.
Sebagai kandidat perang yang sudah terlatih menghadapi omongan busuk seekor nenek lampir sejak ia kecil. Reya sama sekali tidak terusik. Wanita tua di hadapannya ini harus lebih banyak belajar dari nenek lampir yang berbagi darah yang sama dengan Reya.
“Tepat sekali! Saya memang berjiwa tangguh dan gemar berpetualang. Nyonya sesekali ikutlah dalam kegiatan amal keluarga kami, pasti akan sangat menyenangkan.” Reya tidak sepenuhnya berbual, ia tentu mencari tahu tentang keluarga suaminya yang memiliki kegiatan amal rutin setiap beberapa bulan sekali. Selanjutnya gadis itu menutup mulutnya dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat. “Ah maaf, saya sudah lancang. Padahal semua orang jelas tahu bahwa anda sudah renta dan menua. Pasti akan sulit untuk berjalan hanya beberapa meter. Oh! Dan lagi akan sedikit merepotkan bila anda memberi sumbangan amal dalam bentuk batu akik.”
Reya bisa mendengar tawa tertahan yang siap menyembur dari mulut Madeline tua. Di hadapannya, si iblis tua Puspita menampilkan ekspresi yang lebih angker dari monster jenis bertanduk manapun.
Ahh... Seharusnya saat ini Gibran cukup bangga padanya bukan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments