Dari kejadian beberapa hari lalu membuat para jajaran waspada dalam melakukan apapun.
Mereka tak menyangka mempunyai bos yang pendiam namun mematikan.
Apalagi Mentari sudah memperingati mereka semua dari rapat tadi.
Sungguh, kerja diam namun sangat mematikan bahkan dalam kurun waktu empat bulan sudah belasan orang yang di tendang dari perusahaan.
Bahkan perekrutan manajer baru telah selesai bahkan segala sistem Mentari juga merubahnya.
Mereka tak menyangka cara kerja Mentari sangatlah cepat dan tepat. Bahkan dulu ketika Aurora yang memimpin butuh beberapa bulan untuk menendang satu orang saja.
Jangan di tanya karena bukan keahlian Aurora memegang perusahaan. Aurora hanya lihai dalam bidang medis dan pengetahuan saja.
Sudah selesai rapat jajaran Mentari kembali ke ruangannya di ikuti Stephen dan Adelia.
Karena masalah ini membuat Mentari tak bisa makan siang seperti biasanya ia bahkan meminta Adelia membawakannya saja ke ruangan.
Adelia segera memesan apa yang Mentari butuhkan.
"Stephen!"
"Iya nona?"
"Atur pertemuan saya dengan ayah mu, ada sesuatu yang harus saya bahas!"
"Baik nona!"
Stephen membiarkan Mentari masuk sendiri ke ruangannya dan Stephen juga masuk kedalam ruangannya.
Hari ini seperti nya membuat Mentari lelah dan ia harus menjaga kesehatannya. Bahkan Mentari sampai lupa belum menelepon Shofi atau pun Fatih. Jika begini rasanya Mentari kangen pelukan hangat Shofi yang selalu menenangkan jiwanya.
Ibu!
Batin Mentari sakit, sungguh kenapa ia harus berjuang sendiri menahan rindu yang tak bertepi.
Bahkan sampai kapanpun tak akan tepi, terkadang Mentari lelah akan semua nya bahkan ia ingin mengakhiri dirinya sendiri namun Mentari masih waras.
Mentari memegang dadanya sesak, ingin meluapkan namun sulit sungguh ini sangatlah menyakitkan.
Mentari berlari ke arah kamar mandi membasuh wajahnya. Tangan Mentari bergetar dengan dada yang semakin sesak.
Ibu, tolong Tari sungguh ini sangat lelah hiks ...
Jerit Mentari sesak, berusaha mengatur nafasnya.
.
Adelia sendari tadi mengetuk pintu ruangan Mentari namun tak ada sahutan sama sekali membuat Adelia khawatir takut terjadi sesuatu pada Mentari apalagi wajah Mentari tadi terlihat pucat.
Adelia menerobos masuk saja karena takut terjadi sesuatu yang tak di inginkan.
"Nona!"
Panik Adelia ketika tak mendapati Mentari ada di kursinya bahkan ruangan Mentari kosong.
"Nona!"
Panggil Adelia lagi cemas takut hal buruk menghampiri Mentari.
Hiks ...
Adelia menghentikan langkahnya ketika mendengar suara orang menangis. Adelia berjalan menuju kamar mandi yakin jika Mentari ada di sana.
Isakan itu terdengar semakin jelas membuat Adelia bingung harus berbuat apa. Antara mengetuk atau membiarkan, sungguh Adelia berada dalam dilema yang tak menyenangkan.
Jika masuk Adelia takut Mentari marah besar tapi membiarkan takut terjadi sesuatu apalagi isakan itu terdengar berat.
"Nona, anda di dalam!"
Adelia pada akhirnya memberanikan diri memanggil karena tak mau terjadi sesuatu pada Mentari.
Karena tak mendapati sahutan Adelia langsung membuka kamar mandi tak peduli Mentari akan marah atau tidak.
Deg ...
Adelia terkejut melihat keadaan Mentari yang tak bisa di katakan baik-baik saja.
"Nona!"
Cemas Adelia memegang lengan Mentari yang terus memukul dadanya seolah ingin meluapkan kesesakan.
"Nona, tolong atur nafas secara perlahan. Tenang!"
Adelia berusaha membantu Mentari agar bisa mengatur nafas nya. Entah apa yang terjadi kenapa Mentari bisa seperti ini. Di lihat dari keadaan bisa Adelia tebak jika Mentari mengalami traumatik yang sangat dalam.
Setengah jam Adelia membantu Mentari agar tenang. Pada akhirnya Mentari bisa tenang bahkan nafasnya mulai teratur kembali.
"Nona minum dulu!"
Adelia memberikan botol minum pada Mentari membuat Mentari langsung meminumnya.
Suasana nampak canggung dengan keterdiaman Mentari.
"Nona ini makanan yang nona pesan!"
"Del?"
"Iya nona, ada yang anda perlukan lagi?"
"Tolong rahasia kan apa yang terjadi pada saya!"
"Baik nona, seperti nya nona harus segera makan!"
Mentari mengambil kotak nasi yang Adelia berikan.
Adelia segera undur membiarkan Mentari makan sendiri.
Rasanya hampa bahkan rasanya Mentari enggan menelannya. Namun, Mentari harus makan agar kesehatannya tetap terjaga.
Mentari tak boleh jatuh sakit, ia tak mau membuat semua orang menatap kasihan padanya.
Sungguh miris bukan, tak ada sandaran bagi Mentari mengadu. Walau masih ada keluarga yang menyayangi namun Mentari malu.
Yang Mentari inginkan sosok ibu dan papa, memberikan peluk hangat di saat seperti itu. Namun, berkali-kali Mentari harus meleburnya.
Mentari hanya bisa memeluk luka di setiap rindu yang membelenggu.
Mentari ingin keluar dari semuanya, ia rasanya sudah lelah sangat lelah.
Teringat lagi akan tanggung jawab besar Mentari tak bisa menelantarkan begitu saja.
Sudah makan Mentari meminum obat yang selalu ia bawa.
Sejenak Mentari memejamkan kedua matanya sampai tak sadar jika ia ketiduran.
Stephen dan Adelia tak berani menggangu apalagi Adelia sudah memperingati Stephen jika Mentari tak mau di ganggu. Itu hanya inisiatif Adelia saja karena tak mungkin membiarkan Stephen masuk melihat keadaan Mentari seperti itu.
Biarlah itu jadi rahasia Adelia, setidaknya Adelia jauh lebih beruntung dari pada Mentari.
Walau Adelia sama tak punya orang tua namun orang-orang di sekitarnya sangat menyayangi nya apalagi ibu panti. Bahkan masa remaja Adelia pun sangat menyenangkan apalagi Adelia mempunyai otak cerdas tentu mudah bagi Adelia punya teman walau Adelia tak tahu mereka tulus atau tidak.
Melihat Mentari seperti itu seperti hidup Mentari sangat berat.
Walau belum lama Adelia mengenal Mentari tapi Adelia bisa melihat seperti banyak beban dan kesakitan.
Hatinya terlalu dingin hingga sulit di sentuh. Entah apa yang membuat Mentari seperti itu.
Adelia tak mau menebak-nebak karena mereka tak sedekat itu.
Adelia melirik jam pergelangan tangannya, sebentar lagi waktu pulang. Adelia teringat Mentari namun ia tak berani.
Mentari masih tidur tak terusik oleh apapun. Bahkan para karyawan sudah berangsur pulang.
Tok .. Tok ...
Suara ketukan pintu membuat Mentari terbangun.
"Masuk!"
Stephen langsung masuk ketika Mentari menyahut membuat Adelia bernafas lega.
"Waktu nya pulang nona?"
"Tunggu di loby saja!"
Ucap Mentari membuat Stephen mengangguk.
Mentari segera membereskan barang-barangnya sudah selesai ia langsung pergi.
Huh ..
Mentari menghela nafas kasar sebelum keluar.
Seperti biasa Mentari akan memasang wajah datarnya.
Tanpa kata Mentari langsung naik dengan Stephen langsung menutup mobil.
Jalanan cukup macet membuat Stephen membawa mobil sedikit pelan. Seperti biasa Mentari akan menikmati kemacetan kota Jakarta.
Mata Mentari berbinar ketika melihat ada pedagang bakso seperti nya segar makan bakso pedas apalagi kepala Mentari sedikit pusing.
"Stephen, berhenti di depan gerobak bakso?"
"Baik nona!"
Mentari keluar dengan rona bahagia nya memesan satu porsi bakso.
Ada beberapa pengamen menghampiri seperti biasa Mentari memberikan uang pada mereka.
Mentari sangat menikmati bakso dengan rona di wajahnya membuat Stephen selalu curi-curi pandang.
Uhuk ..
Stephen terkejut ketika melihat Mentari memuntahkan bakso yang di makannya.
Tatapan Mentari tertuju pada satu objek membuat Stephen menatap ke arah Mentari lihat namun tak ada siapapun hanya ada beberapa orang lalu lalang dan pengamen tadi.
Mentari seolah mencari sesuatu tak mungkin Mentari salah lihat.
Kenapa begitu mirip membuat Mentari tanpa sadar mencari.
Stephen langsung turun dari mobil ketika melihat Mentari nampak linglung.
"Nona ada apa?"
Tanya Stephen merasa heran karena tak biasanya Mentari bersikap seperti ini.
"Tidak!"
Jawaban singkat padat membuat Stephen menghela nafas berat ketika Mentari meninggalkannya.
Tak mungkin dia!
Batin Mentari mengepalkan kedua tangannya erat.
Bersambung ...
Jangan lupa, Like, Hadiah komen, dan Vote Terimakasih ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments