Bab 18

Namun, semua pemikiran itu berubah total ketika malam itu ia melihat Alizya menangis sendirian di pinggir jalan. Selama ini ia hanya berani melihat Alizya dari jauh hingga malam itu Reni nekat mendekati Alizya yang tengah menangis. Tanpa bertanya, Reni langsung memeluknya yang membuat Alizya sontak meredam tangisnya.

Setelah malam itu, Reni tak menduga banyak hal sebab berpikir bahwa Alizya mungkin saja sedang patah hati. Tapi takdir seolah menginginkan dia untuk tahu segalanya. Reni beberapa kali memergoki Alizya menangis sendirian, entah itu di jalanan yang sepi, perpustakan, UKS, atau melamun sendirian di bawah pohon.

"Lo boleh cerita sama gue, Kak. Gue janji untuk jaga rahasia! "

Reni memberanikan diri untuk mendekati Alizya, menawarkan diri kepada gadis itu sebagai teman curhat. Tentu saja Alizya menolaknya, namun sebab Reni yang terlalu sering memergokinya menangis dan mendekatinya tiada henti membuat Alizya pada akhirnya luluh juga. Alizya merasa Reni gadis yang baik dan bisa diandalkan.

Lagipula ... ia memang butuh teman untuk bercerita.

"Datang ke sini cuman duduk-duduk aja nggak beli apa-apa! Emangnya ini warung punya bapaknya apa! "

"BANG ARES! "

Reni sontak menjerit saat sesepemuda datang melintas di depan mereka dan menyeletuk singkat. Alizya mengusap telinga yang berdengung akibat teriakan kencang Reni.

"Apa sih, berisik! " balas pemuda bernama Ares itu dengan ketus. Reni mendelik tajam melihat kakak laki-lakinya itu masuk ke dapur tanpa rasa bersalah. Kakaknya itu benar-benar tak tahu adap menerima tahu. Tak tahu sopan santun.

"Ada apa toh, Ren? " Ibu dan bapak Reni keluar dari dapur. "Loh ... ada, Nak Aliz? " kaget mereka melihat Aliz yang duduk tersenyum di kursi samping dapur. Mereka tak mengetahui kedatangan Aliz karena sibuk melayani pembeli.

"Iya, Pak, Bu. " Alizya segera berdiri dan menyalami mereka.

"Nak Aliz, nggak apa-apa? " tanya ibu Reni, Ranti.

Alizya menggeleng pelan. Dengan bingung ia melirik Reni.

Reni yang masih bersungut-sungut pun langsung menyengir. "Maaf, Kak. Karena pihak sekolah kemarin menghubungi Ibu sama Bapak jadi gue terpaksa ceritain semuanya, Deh. Maaf ya, Kak, " ucap Reni merasa bersalah.

"Nak Aliz, tinggal di sini saja. Nanti tidurnya sama Reni, jangan ngontrak sendirian. Anak gadis, bahaya! " ucap Bu Ratih. Bukan hanya tentang rencana mereka yang pura-pura membull**y dan dibull**y tapi Reni juga menceritakan semua yang dialami Alizya.

"Iya, Kak. Gue seneng kalau lo mau tinggal di sini, biar gue ada teman tidurnya, " timpal Reni tersenyum antusias.

"Iya. Tinggal di rumah Bapak saja, dari pada ngontrak. Kalau tinggal di sini gratis, kok! " Pak Arman, ayah dari Reni pun juga menyetujui.

Alizya merasa dadanya bertambah sesak. Ia tak pernah ingin deritanya diketahui orang lain. Pun ia tak pernah bermimpi mendapatkan kasih hangat sebuah keluarga dari orang yang bukan keluarganya. Reni tak salah. Dari awal, semua adalah kesalahannya karena telah melibatkan gadis itu. Alizya merasa tak nyaman saat semakin banyak orang yang tahu masalahnya, tapi ia juga tak bisa menyalahkan Reni.

Ini memang konsekuensi atas tindakannya sendiri.

"Terima kasih! Terima kasih Pak, Bu, Reni. Tapi Aliz udah mutusin buat hidup mandiri, Aliz udah sewa kontrakan juga. Kalian nggak perlu khawatir, " balas Alizya tersenyum. Keluarga sebaik ini, Alizya tak ingin menjadi beban untuk mereka.

Bukankah kedua kakaknya bilang, dia itu manja?

Dia itu beban?

Hanya bisa menyusahkan?

Ucapan mereka membuat Alizya bepikir bahwa dia memanglah menyusahkan dan manja. Alizya ingin membuktikan bahwa dia bisa mandiri, Alizya yakin bisa hidup sendiri tanpa mereka. Ya ... mungkin saja.

"Emm ... kalau begitu Aliz pamit ya, Pak, Bu. Ren, gue pamit. Gue masih ada urusan, nih, " ucap Alizya berpamitan. Jika ia berlama-lama di sana, mereka mungkin tak akan berhenti memintanya untuk tinggal bersama. Mereka orang baik, Alizya tahu mereka tulus membantunya.

Meski mereka menahan, Alizya tetap berpamitan. Ia tetap melangkah pergi setelah bersalaman dan tersenyum ramah.

Alizya pergi dari semalam. Setelah selesai menghias rumah dan menyiapkan kue serta hadiah untuk kedua kakaknya, Alizya segera keluar dari rumah tanpa menunggu mereka pulang untuk berpamitan. Dengan keadaan kacau dan air mata yang berderaian, Alizya membawa satu ransel berukuran sedang yang berisi pakaiannya.

Sekarang sudah sore dan sebentar lagi malam. Hampir dua puluh empat jam dia pergi, adakah Alvano dan Alvino mencemaskannya?

Alizya terkekeh sendiri memikirkannya. Ia rasa hanya Bi Darsih yang akan kelimpungan mencarinya. Ah, Alizya merasa bersalah kepada wanita itu karena pergi tanpa pamit. Bi Darsih pasti sangat mencemaskannya. Tapi Alizya juga tak ingin terus-terusan merepotkan wanita itu. Alizya terlalu sering menyusahkannya.

Ketika melangkah, Alizya merasa langkah yang ia bawa jauh lebih berat. Ia pikir setelah keluar dari rumah dan hidup sendiri maka hidupnya akan lebih terasa ringan dan bebas. Ia pikir ia akan merasa tenang tanpa tekanan dari sikap dingin dua saudaranya. Nyatanya, ini jauh lebih berat. Alizya benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Mereka benar, Alizya hanyalah anak manja yang tak tahu apa-apa.

Namun yang paling membuatnya merasa ingin pulang adalah kedua kakaknya. Alizya merindukan mereka. Dua malam dua hari ia belum bertemu mereka. Itu terhitung sejak ia pulang larut malam waktu itu, hanya Alvano yang ia temui malam itu. Selebihnya sampai sekarang Alizya belum melihat mereka sama sekali. Alizya sangat merindukan mereka.

Alizya rindu tatapan dingin kedua kakaknya.

Ah ... Alizya terlalu menyayangi mereka.

"Jangan bengong! Nanti ketabrak truk baru tahu rasa! "

Alizya tersentak dari lamunan. Ia berjalan sambil melamun yang membuatnya tak menyadari jika ada pesepeda motor yang berhenti di sampingnya.

"Syukurlah belum ketabrak, Bang!" balas Alizya sedikit memaksakan senyum. Bukan apa, sejujurnya ia sedikit kesal kepada Ares, kakaknya Reni.

Ares menatapnya tajam.

"Naik! "

"Hah? "

"Buruan Naik! " titah Ares.

Alizya menggaruk pelipisnya meski tak gatal sama sekali. "Naik ke mana, Bang? "

Ares bergumam kesal, "naik ke motor, ke mana lagi emang! Buruan!"

Alizya tambah bingung.

"Kenapa gue harus naik ke motor lo, Bang? " tanyanya lagi. Alizya mengernyit saat Ares menatapnya dengan tajam. Ia baru sadar sejak pertama kali bertemu pria muda itu selalu bersikap ketus padanya.

"Lo mau pulang, 'kan? Ayo, gue anterin! " cetusnya dengan raut wajah yang belum berubah. Alizya semakin bingung saja dengan tingkahnya. Jadi Ares itu sedang menawarinya tumpangan atau ingin menculiknya? Jutek sekali seperti preman.

"Nggak usah ge er! Kalau bukan karena si Reni yang minta, gue nggak bakal mau nganterin lo!" Ares menambahkan, ia tak ingin Alizya salah paham.

Alizya menggeleng tak habis pikir. "Gue bisa pulang sendiri, lo balik aja, Bang. Lo nggak usah repot-repot, Bang!" balas Alizya membuat Ares terdiam tanpa kata.

Setelah dirasa sudah final, Alizya segera melangkah meninggalkan Ares yang masih mematung. Berada lama-lama di dekat Ares bukanlah sesuatu yang baik. Alizya selalu merasa canggung.

Tapi sepertinya Ares menginginkan hal lain. Pemuda itu segera menggerakkan motornya kembali mendekati Alizya.

"Lo mau naik atau mau gue naikin? " seru Ares.

"Hah? "

Alizya berhenti cengo. Ia yakin mendengar sesuatu yang tak seharusnya ia dengar. Ares yang sadar ucapannya terdengar ambigu pun hanya bisa menggerutu dan menggeram kesal.

"Gue nggak habis pikir sama lo, Bang. Ternyata lo orang yang seperti itu, ya. "

Bersambung....

Ekhem! Ada cowok baru, nih!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!