Bab 14

"LALU KENAPA ANAK ITU TIDAK IKUT MATI SAJA?! "

"ALVINO! "

Alvano membentak Alvino yang berteriak begitu keras pada Bi Darsih. Tidak seharusnya Alvino meninggikan suaranya ketika berbicara dengan orang yang telah merawat mereka sejak kecil. Juga, ada sedikit rasa nyeri di hatinya mendengar kalimat sarkas Alvino.

"Bibi, bukan orang baru di sini. Oke, anggap saja kematian ayah dan bunda memanglah takdir. Lalu apa, Bibi, bisa menjelaskan kenapa kami yang harus menderita? Kenapa?! " tuntut Alvino dengan nafas yang memburu.

"Non Izya juga sama menderitanya, Den! " balas Bi Darsih.

"Fine. Dia menderita, kami juga menderita. Impas, 'kan? " Alvino berdiri dari duduknya. "Bibi, yang telah merawat kami dari kecil. Bedanya perlakuan kakek pada kami dan anak itu jelas, Bibi, sangat tahu, 'kan? Jangan berbicara seolah-olah kami yang paling jahat di sini! " sarkas Alvino lalu berlalu pergi. Alvino melangkah lebar dengan amarah yang memuncak.

Alvano diam menatap saudara kembarnya yang pergi membawa amarah. Alvino memang mudah sekali terpancing emosinya. Apalagi jika tentang sesuatu yang berhubungan dengan orang tua mereka. Alvino sulit mengendalikan emosinya.

"Bibi, duduklah. "Alvano meminta dengan lirih. Ia tak beranjak dan hanya menatap Bi Darsih yang perlahan duduk di depannya dengan tangis yang sesenggukan. "Maafin Alvino ya, Bi? Dia pasti nggak ada niatan berbicara kasar sama, Bibi, " lanjutnya.

"Den.... "

"Bibi, makan aja. Nggak usah dilanjutkan lagi. Vano berangkat kerja dulu, " ucap Alvano yang hendak beranjak.

"Aden, sudah menemui Non Izya? Kasihan dia, Den. Tolong, temui dulu. Kemarin dia kelihatan kacau banget, sampai sekarang juga belum keluar kamar padahal udah Bibi panggil berulang kali, " mohon Bi Darsih dengan raut cemas. "Bibi, yakin Non Izya bukan anak yang jahat. Dia pasti punya alasan yang membuatnya sampai hati memb**ly orang lain. "

Alvano urung melangkah. Ia berdiri diam memalingkan wajah seolah enggan menatap wajah tua Bi Darsih yang penuh air mata. Matanya melirik ke arah tangga yang terlihat dari rruang makan. Apa Alizya mengurung diri?

Dan tentang kasus yang Alizya buat, Alvano juga bukannya angkat tangan. Kenyataanya ia benar-benar sibuk kemarin. Lagipula semua bukti telah menunjukkan bahwa gadis itu bersalah. Alizya bahkan telah mengakuinya sendiri. Alvano bisa apa? Lalu mengapa Alizya bersikap seolah-olah dialah korbannya?

Alvano menghela nafas samar. "Nanti ... Vano temui dia sepulang kerja. Vano udah telat berangkat kerja, " ucap Alvano.

"Assalamualaikum! "

Tanpa menunggu balasan salam dari Bi Darsih, Alvano segera melangkah pergi. Ketika sampai di depan tangga, Alvano kembali melirik ke lantai atas. Sesaat terlintas dalam benaknya bayangan Alizya yang menuruni tangga dengan senyum merekah.

Alvano buru-buru menggelengkan kepalanya. Ia segera mempercepat langkahnya. Meski ia sedikit ragu meninggalkan Bi Darsih yang masih menangis dan Alizya yang bahkan belum ia temui sejak kemarin malam saat gadis itu pulang terlambat.

"Kuharap dia tak menambah masalah lagi. "

*

*

*

Waktu terus berjalan sebagaimana mestinya. Sama seperti Alvino yang terlihat tak terpengaruh sama sekali dengan perdebatannya dengan Bi Darsih pagi tadi. Ia bahkan terlihat begitu santai menikmati pekerjaannya di studio foto miliknya.

Ia memegang kamera ditanganya, mengambil gambar dan memberikan arahan kepada orang-orang yang memakai jasanya sebagai fotografer. Bermula dari hobi hingga kini menjadi fotografer profesional dengan bayaran yang tak sedikit untuk setiap gambar yang ia bidik.

Di sisi lain, saudara kembar Alvino juga terlihat tak kalah sibuknya. Alvano terlihat begitu serius menatap layar laptopnya dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Pekerjaannya sebagai Wakil Presdir di salah satu perusahan besar di kota ini seolah tak pernah memberinya waktu luang. Alvano jauh lebih sibuk dari apa yang dibayangkan.

Drrtt....

Drrtt....

Drrtt....

Satu, dua kali, hingga pada getaran gawai yang ketiga kalinya Alvano baru mengambil benda pipih itu. Ia menatap kayar gawai yang jelas tertera nama Bi Darsih di sana. Tanpa diminta, ingatannya langsung terlempar pada kejadian tadi pagi.

"Assalamualaikum, Bi! " Alvano mengucap salam lebih dulu. Namun bukan balasan salam yang ia terima, alisnya mengkerut saat mendengar suara tangis Bi Darsih.

"Ada apa, Bi? " tanyanya.

[ Non Izya, Den.... ] Suara Bi Darsih terdengar serak dan kurang jelas.

"Kenapa? "

[ Non Izya nggak ada di rumah, Den. ]

Alvano semakin tak paham. "Lalu apa masalahnya? Bukankah dia seharusnya ada di sekolah saat ini? Apa yang, Bibi, khawatirkan? " bingungnya.

[ Tapi Non Izya juga nggak ada di sekolah, Den. Bibi sekarang ada di sekolahan Non Izya, Non Izya nggak ada di sekolah. Bibi khawatir, Den. Ke mana Non Izya pergi? ] Suara Bi Darsih terdengar sangat cemas.

Alvano terdiam menelan ludah yang entah mengapa terasa serat. Alizya tak ada di rumah juga di sekolah pun tak ada, ke mana? Ke mana gadis itu pergi?

[ Den! Den Vano, Bibi harus gimana, Den? ]

"Bibi, tenang saja. Dia tak akan pergi ke mana-mana. Gadis manja seperti dia, memangnya bisa apa? "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!