Bab 16

Sang Bunda lalu kembali tertawa melihat kedua putra kembarnya yang ribut hanya karena masalah siapa yang menjadi kakak dan siapa yang menjadi adik. Dua bocah laki-laki itu memang selalu mempeributkan hal ini. Alvino yang tak mau disebut sebagai adik dan Alvano yang merasa sebagai kakak karena lahir lebih dulu.

"Iya-iya. Kalian itu akan jadi kakak. Dedek bayi ini nanti jadi adik kalian, " tutur Sang Bunda membawa tangan kecil Alvano untuk kembali mengusap perutnya bersama Alvino.

"Vano dan Vino akan jadi kakak. Vano jadi kakak pertama, Vino jadi kakak kedua. Vino, nggak boleh protes ya, Sayang! " seru Bunda saat Alvino terlihat hendak membuka mulut. Bocah kecil itu jadi terdiam dengan tatapan kesal sedangkan Alvano malah tersenyum penuh kemenangan. "Vino, nggak boleh protes. Urutannya memang begitu, Sayang. Yang penting, 'kan kamu tetap bakal jadi kakak dan punya adik, " ucap Bunda kemudian.

"Jika nanti adik kalian lahir, kalian harus jaga adik kalian baik-baik, " timpal Ayah.

Vino mencebik kesal. "Tapi, Bunda ... Vino nggak mau punya kakak seperti Vano. Vano jelek, Bunda! " cetusnya. "Ayah ... Vino akan jagain adik, tapi Vino nggak mau jadi kakak kedua! Vino, 'kan lebih ganteng dari Vano, Ayah! Masa Vino yang jadi adiknya! " Bocah kecil itu merengut dengan lucu.

Sontak saja hal itu kembali mengundang tawa Ayah dan Bunda. Vano yang dikatai jelek pun terlihat tak terima. "Wajah kita, 'kan sama, Vino! Kalau aku jelek kamu juga jelek, huh! " sungutnya.

"Tapi aku yang lebih ganteng! "

"Kalau kamu ganteng maka aku juga ganteng! "

"Tidak! Kamu jelek! "

"Kamu juga jelek! "

"Aku ganteng! "

"Aku juga ganteng! "

Hari itu terasa begitu membahagiakan meski si kembar banyak bertengkar, Ayah dan Bunda tertawa dengan sangat bahagia. Momen hangat itu tak pernah Alvano lupa hingga saat ini dan menjadi momen yang selalu dirindukannya. Ia mengingat semuanya, semua kenangannya bersama Ayah dan Bundanya ketika mereka masih hidup.

Tapi, kini ... Bundanya sudah tidak ada. Tidak akan ada yang melerainya ketika bertengkar dengan Alvino. Walau pada kenyataannya mereka tak pernah lagi bertengkar sejak Sang Bunda pergi untuk selama-lamanya. Ayahnya yang selalu menjadi pelindung dan penasihat pun juga telah pergi. Sang Ayah tak akan lagi memarahinya meski ia melakukan kesalahan sekalipun.

Alvano dan Alvino seperti kehilangan arah sejak kedua orang tua mereka meninggal.

Semuanya telah berubah. Bahkan ... adik perempuan yang dulu begitu mereka inginkan kini justru mereka abaikan setelah hadir di dunia ini. Semuanya benar-benar berubah. Alvano tersenyum kecut, rasanya begitu menyakitkan.

"Bunda ... sakit, Bunda. Vano harus gimana, Bun? Vano bingung.... " lirih Alvano dengan sendu. Foto yang ia pegang ini adalah satu-satunya foto yang berisi keluarga lengkapnya, bahkan ada Alizya yang masih ada dalam kandungan. Mungkin Alizya juga punya, tapi Alizya tak pernah tahu bahwa Alvano menyimpan sebuah foto yang terdapat dirinya di dalamnya. Ya, meski ia pada saat itu masih berada dalam perut Bundanya.

"Ayah.... "

Air mata Alvano mengalir tanpa permisi. Alvano merasa sangat lelah dengan pekerjaan yang tiada habisnya, ditambah lagi masalah Alizya yang seolah semakin banyak. Alvano merasa bebannya semakin banyak. Dia adalah kakak pertama. Ia bertanggung jawab atas Alvino dan Alizya.

"Vano benci adik kecil, Bunda. Vano benci.... "lirihnya dengan pilu. Alvano memukul-mukul kepalanya dengan tangan kanan sedang tangan kirinya mendekap erat-erat foto itu di dadanya.

"Ayah ... Ayah, Vano pasti jagain adik kecil, Ayah! Vano ... Vano harus gimana, Ayah? "

*

*

*

Di lain tempat, Alvino baru menyelesaikan satu sesi pemotretan dan sedang beristirahat ketika Bi Darsih menghubunginya. Sayangnya Alvino hanya menatap datar gawainya yang terus berdenting. Mengingat perdebatannya dengan Bi Darsih tadi padi, Alvino jadi malas mengangkat telepon dari wanita tua itu.

Ya, anggap saja Alvino tidak sopan. Tapi dia benar-benar masih kesal.

Ting!

Tepat saat ia selesai minum, ponselnya yang ada di atas meja kecil kembali berdenting. Ia duduk dengan alis mengernyit, kenapa Bi Darsih begitu gencar menghubunginya?

Kali ini Bi Darsih mengiriminya pesan. Alvino segera membukannya lantaran ia mulai penasaran. Ia duduk menyandar di kursi dengan kaki yang bertumpu silang. Hei, adakah yang sadar bahwa pemuda ini sangat tampan dengan jaket jeansnya?

"Den Vino ... Non Izya hilang, Den. Bibi udah cari ke sekolahannya dan rumah teman-temannya, tapi Non Izya nggak ada, Den. Den Vino, tolong bantu cari Non Izya, Den! "

Alvino membacanya dalam hati. Tak ada respons berarti, raut mukanya bahkan jauh lebih datar dari sebelumnya. Bibirnya terkatup semakin rapat, Alvino meremas erat ponsel miliknya.

Hilang?

Anak itu?

Heh, apa dia pikir bisa membohonginya?

Bukankah itu hanya akal-akalan Alizya saja?

"Ck! Trik apa lagi yang ia mainkan?! Apa dia pikir gue bakal peduli?!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!