"Ayolah, cepat! Kita bisa terlambat!" cetus Sandi.
Alda tersadar dari lamunannya. Mau gak mau, dia harus naik kotor butut itu. Dia pun segera melompat ke belakang Sandi tanpa canggung sedikitpun.
Sandilah yang menjadi gugup. Selama ini, dia gak pernah membonceng anak perempuan. Apalagi, Alda membonceng seperti anak laki-laki.
"Kenapa bengong? Cepatlah! Katanya tadi bisa telat," ungkap Alda ketika Sandi hanya diam saja padahal dia sudah siap.
"Oh, iya!" Sandi segera menarik gas sepeda motornya.
Alda sedikit terkejut dan memeluk Sandi tanpa ragu. Sandilah yang bertambah gugup karena gak pernah dipeluk siapapun.
Gak lama kemudian mereka sudah berada di tengah persawahan. Alda merasa aneh karena gak melihat ladang padi itu ketika berada di dalam mobil.
"Waktu aku datang gak melihat ladang padi seluas ini. Siapa yang punya? Dia pasti sangat kaya!" tanya Alda setengah berteriak karena suara motor yang cukup kencang.
"Hah? Apa?" tanya Sandi yang serius menyetir.
"Ladang padi ini punya siapa?" teriak Alda.
"Oh, punya nenekmu. Hutan jati di belakang rumah juga punya nenekmu!"
"Punya nenek? Kenapa rumah nenek kampungan begitu? Seharusnya rumah mewah dan bertingkat!"
"Entahlah! Menurut kami, rumah nenekmu itu sudah mewah!" sahut Sandi.
Mereka sudah melewati areal persawahan dan mulai memasuki perkampungan. Rumah yang terlihat juga sangat sederhana dari kayu. Alda gak menyangka masih ada rumah kampung seperti itu.
Beberapa orang melihat Alda dan Sandi dengan tatapan aneh. Aakh! Masa bodo. Emang Alda mengenal mereka?!
Setelah itu, mereka melewati anak-anak sekolah berseragam putih abu-abu. Pakaian mereka kelihatan lusuh. Beberapa dari mereka adalah anak perempuan yang saling berbisik begitu melihat Alda.
Seragam Alda memang berbeda karena bersekolah di sekolah internasional. Dia gak punya seragam putih abu-abu seperti punya mereka.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan sekolah. Alda tertegun melihat bangunan tua yang sangat berbeda jauh dari sekolahnya yang megah dan modern. Sekolah itu lebih mirip seperti benteng jaman penjajahan.
Beberapa anak sekolah melewati mereka dan tertawa. Sandi jadi malu apalagi Alda duduknya seperti anak laki.
"Cepatlah turun, non. Kenapa bengong?" tegur Sandi.
"Oh, iya!"
Alda segera turun dari motor namun masih diam saja. Sementara Sandi memarkirkan motornya di bawah pohon.
"Ayo masuk. Nona harus daftar ulang ke ruang administrasi! Saya mau langsung ke kelas karena sudah telat!" ujar Sandi yang bersiap pergi. Dia sudah kelas tiga sementara Alda baru masuk kelas satu.
"Eeh! Dimana ruangannya?"
"Di sebelah sana!" Sandi menunjuk arah yang berbeda dari ruang kelasnya.
Alda kembali tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Sandi. Tempat itu lebih mirip seperti penjara dari pada sekolah. Cat temboknya kusam dan banyak yang mengelupas.
Anak-anak sekolah sudah gak kelihatan lagi. Kini hanya Alda yang berada di lorong itu. Tiba-tiba angin berhembus, Alda sampai merinding. Namun, pepohonan di sekitarnya gak bergerak sama sekali.
Perlahan Alda berjalan melewati lorong yang lembab. Di sebelah kiri ada kelas yang sudah memulai pelajaran. Alda sedikit mengintip dari jendela.
Semua siswa sibuk menulis sesuatu dan gurunya menulis di papan tulis. Tak satu pun dari mereka yang memakai laptop. Alda juga lupa membawanya.
Alda menghentikan langkahnya. Dia melihat ada bangku kosong di bagian belakang. Buat apa juga bangku kosong itu dibiarkan saja. Mungkin, yang biasa duduk di sana sedang gak masuk.
"Kenapa kamu disini? Kenapa gak masuk ke dalam kelas?"
Terdengar suara dari belakang Alda. Membuat gadis itu sangat terkejut sampai hampir melompat.
"Sa-saya murid baru, bu!" sahut Alda. Di depannya sudah berdiri seorang perempuan setengah tua dengan wajah dipenuhi bekas jerawat.
"Murid baru? Apakah kamu Alda? Cucunya Nyonya Ningsih?" tebak perempuan itu.
"I-iya, bu. Nama saya Alda!"
"Nama saya adalah Ibu Indah. Saya kepala sekolah di sini. Kamu langsung masuk aja ke dalam kelas. Kamu tepat berdiri di ruang kelas satu!"
Alda langsung mengikuti langkah Bu Indah menuju ke ruang kelas di depannya. Seorang perempuan berhijab menyambut mereka.
"Ini adalah Alda, cucunya Nyonya Ningsih. Tolong diurus ya, Bu Rida!" ujar Bu Indah.
Alda hanya tersenyum tipis. Matanya melihat anak-anak murid yang melihatnya dengan pandangan aneh. Alda merasa mereka gak ada yang bener. Wajah mereka hitam kumal dan pakaian mereka gak ada yang rapi.
"Baik, bu. Nama saya Bu Rida, wali kelas satu. Tunggu sebentar, ya. Saya akan mengambil bangku lagi!" ucap Bu Rida sambil melangkah keluar.
"Tunggu, bu. Aku bisa duduk di belakang aja. Aku lihat ada bangku kosong di sana!" cetus Alda seraya melangkah menuju bangku kosong di bagian belakang.
Tiba-tiba, Bu Rida meraih lengan Alda. Membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
"Jangan! Jangan duduk di sana. Biar ibu ambilkan yang baru. Kamu bisa duduk di dekat pintu!"
Alda mengernyitkan keningnya, sepertinya ada yang aneh di sana.
"Gak apa-apa kok, bu. Aku gak suka duduk di depan. Lagian buat apa ada bangku kosong di kelas?!" sahut Alda seraya membalikan badan.
Namun, Bu Rida gak melepaskan lengan Alda. Wajahnya berubah menjadi pucat.
"Jangan! Biarkan bangku itu kosong. Kalau kamu gak suka, kamu bisa duduk di depan bangku kosong itu!" tegas Bu Rida.
Alda semakin kebingungan. Dia melihat ke seluruh murid-murid yang ikut pucat. Kebiasaan orang disini sangat aneh!!!
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments