Skaeli

Skaeli

one

...•••...

Faye Aeliya.

Nama itu tersemat apik di benak murid-murid Flourst begitu mendengar kata 'ratu bully'. Bagi mereka, Aeli itu adalah neraka. Banyak yang memilih putar balik ketika melihatnya. Berurusan dengan Aeli sama saja berurusan dengan malaikat maut. Sama-sama mengerikan.

Minggu lalu, Aeli tersandung kasus bullying yang mengharuskannya di skors selama lima hari. Selama itu pula, murid-murid Flourst seolah bisa menghirup udara segar yang mereka harapkan sejak lama. Tetapi, setelah kembalinya gadis itu, suasana mencekam kembali terasa.

Setiap langkahnya seolah menjadi sebuah ancaman bagi mereka. Terutama korban-korban yang pernah terkena semburan berbisa seorang Aeli. Sudah bisa dipastikan jika ada yang berani yang mencari gara-gara dengannya sekali saja, maka kesialan akan langsung menghampiri.

“Mati lo, Jen. Bisa-bisanya lo kotorin meja Aeli.”

Jena yang kini memegang sebuah cup minuman terlihat panik. Wajahnya pucat pasi dengan sorot mata tertuju pada cairan coklat yang tumpah di atas meja putih.

“G-gue gak sengaja! Salahin nih kursinya Rona! Ngehalangin jalan aja!” Jena menendang kursi tidak bersalah yang dia anggap sebagai kesialan sampai menumpahkan minuman mengenai meja Aeli dan buku yang tergeletak di atasnya.

“Loh, loh, loh. Kok malah marah-marah sama kursi gue? Kan lo yang nggak hati-hati!” Rona menyahut tidak terima. Melindungi kursinya seolah itu adalah benda hidup.

“Kalau kursi lo berada pada tempatnya gue juga gak bakal kesandung! Dasar kursi sialan!”

“Woi! Daripada lo pada debatin kursi nggak jelas mending beresin noh meja si Aeli. Emang lo mau gepeng percuma di tangan dia?” kata Reana, dan Jena baru ingat ada sesuatu yang lebih penting daripada berdebat soal siapa yang salah antara dirinya atau kursi Rona.

“Gue masih mau hidup. Tuhan, tolong kasih hamba-Mu kesempatan.”

Dengan paniknya Jena mulai membereskan kekacauan yang dia perbuat. Berulang kali dirinya menggerutu, merutuki semua yang terjadi. Dari banyaknya meja yang ada, mengapa harus meja Aeli yang terkena tumpahan minuman yang dia bawa?

Masih mending kalau hanya meja, ini malah sama buku-bukunya sekalian. Benar-benar sial nasib Jena hari ini. Poor Jena.

“Ngapain di meja gue?”

Suara dingin yang terdengar sukses menghentikan pergerakan Jena. Nafasnya terasa berhenti di paru-paru, tubuhnya menegang takut di detik yang sama.

Dengan sisa keberanian yang Jena punya, dia menolehkan kepala ke arah Aeli. Dapat Jena lihat Aeli tengah menatapnya tanpa ekspresi. Tangannya disilangkan ke depan dada, satu alisnya terangkat, mengintimidasi. Aura dingin Aeli menguar dan membekukan secuil keberanian dalam diri Jena.

Jena menenggak ludah secara paksa, mengedarkan pandangan ke seisi kelas yang kini menyorotnya dengan tatapan kasihan. Sialan memang.

“E-eh, A-eli ....” Jena memasang senyum canggung. Mengusir jauh-jauh rasa takut dan gugup yang menempel. Meski rasanya sangat sulit karena sosok Aeli sudah berdiri tepat di depannya dengan raut wajah yang tampak siap mengulitinya habis-habisan.

“I-ini ... tadi gue gak sengaja ... g-gue kesandung kaki Rona. Eh, kursi kaki Rona. M-maksud, maksud gue kaki—”

“Habis lo apain meja gue?” sela Aeli. Malas mendengar kalimat Jena yang terlalu berbelit-belit.

“Ini, Li. G-gue ....” Rasanya Jena sudah tidak sanggup untuk melanjutkan bicara. Mendengar nada ketus dan delikan tajam Aeli saja sudah membuat keberaniannya terkuras tuntas tak bersisa.

“Astaga, Li! Buku lo!”

Clara memekik begitu melihat buku catatan Aeli basah kuyup tak karuan. Entah sejak kapan gadis itu berhenti di sebelah Jena. Padahal seingat Jena, dia tidak melihat kedatangan Clara bersama Aeli sebelumnya.

Kelopak mata Aeli membulat melihat keadaan bukunya yang mengenaskan. Rahangnya mengeras dengan gigi yang mulai bergemeletuk di dalam mulut. Aeli benar-benar tidak suka melihat barang-barangnya disentuh apalagi sampai dirusak oleh orang lain. Berani merusak barang-barang Aeli berarti siap menanggung konsekuensi.

“Kerjaan lo?” tanya Aeli, dingin. Sorot matanya menghunus tajam mata Jena yang mulai berkaca-kaca. Membuat jantung sang empu seperti akan merosot ke dengkul.

“M-maafin gue, Li. T-tadi itu gue niatnya mau duduk, tapi malah kesandung kursi sialan Rona. K-kebetulan gue bawa minuman jadi ya ... tumpah ke meja lo ...,” jelas Jena. Menunduk tanpa berani membalas tatapan elang yang Aeli lempar.

“Gue mohon maafin gue. Jangan apa-apain gue, Li! Gue masih doyan hidup enak,” mohon Jena sambil menyentuh pergelangan tangan Aeli. Sayangnya langsung ditepis dengan kasar.

Jena tersadar jika dirinya kembali melakukan kesalahan. Aeli tidak suka melakukan kontak fisik dengan siapapun, dan hampir setiap orang mengetahui itu.

“Kasian banget si Jena. Gue harap masih bisa ketemu dia aja sih setelah ini,” gumam Friska dengan nada pasrah. Sangat menyayangkan kebodohan sahabatnya itu.

“Jen, lo gak lagi bales dendam karena waktu itu Aeli nonjok cowok lo, kan?” tanya Clara menyelidik.

Jika Aeli adalah ratu bully, maka Clara adalah pengikutnya. Dia selalu berada di sebelah Aeli, mendukung segala tindakan gadis itu tanpa memikirkan salah benar perbuatannya.

Jena menggeleng keras, menyanggah tuduhan Clara. “Nggak sama sekali, Clar! Gue beneran nggak sengaja.”

“Alesan! Bilang aja lo masih dendam sama Aeli.” Clara memutar bola mata muak.

“Sumpah demi tuhan! Gue beneran nggak sengaja. Lagipula yang Aeli lakuin udah bener kok. Andra yang salah.” Jena masih berusaha untuk membela diri. Tidak, mungkin untuk bertahan hidup.

Aeli mendengkus, muak melihat perdebatan di depan.

“Ganti meja gue. Semuanya harus udah beres sebelum gue balik,” ucapnya pada sang ketua kelas yang sejak tadi menyaksikan drama dadakan tersebut.

“Ngerti?”

Lelaki berkaca mata itu meneguk ludah begitu merasakan aura dingin kala beradu tatap dengan Aeli. Dia mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aeli segera berlalu keluar kelas tanpa mempedulikan jam pelajaran yang akan dimulai sebentar lagi. Clara juga keluar setelah menegaskan perintah mutlak Aeli tadi.

Untungnya Aeli sedang tidak mood berbuat ulah seperti biasa. Jika hal itu terjadi, mungkin Jena tidak akan terlepas dari hal gila yang mungkin Aeli lakukan setelahnya.

“Gila, mau copot nyawa gue anjir.” Rona terduduk lemah di kursinya. Memegang dada yang menimbulkan debaran tak biasa. Dia hampir sesak nafas merasakan aura mencekam yang Aeli pasang.

Meski bukan dirinya yang jadi sasaran Aeli kali ini, tetap saja rasa sesak itu seperti mengurungnya dan membuatnya sulit untuk bernafas dengan benar. Dia saja bisa seperti ini, apalagi Jena. Entahlah, tampaknya nyawa gadis itu sudah terangkat. Buktinya dia hanya diam dengan mulut yang tak kunjung terkatup.

“Dit, buru gantiin mejanya Aeli. Bisa mateng lo kalau dia balik mejanya masih sama,” peringat Reana.

“O-oke.” Dengan tubuh gemetar Radit mendekat, membawa meja Aeli ke gudang sekolah dan digantikan dengan meja baru. Rasanya, kaki Radit seperti tak menapak.

...•••...

Kepala Aeli benar-benar pusing. Ini hari pertamanya masuk sekolah setelah lima hari di skors, tapi malah dibuat kesal karena ulah teman sekelasnya. Mood Aeli sejak pagi memang sedang tidak baik, tetapi dia juga malas membuang tenaga untuk mengamuk.

Padahal biasanya, Aeli selalu melampiaskan emosi yang dipendamnya pada siapapun yang berani membuatnya naik darah. Sayangnya, semua hal yang terjadi malah semakin membuat Aeli malas melakukan apapun. Alhasil, gadis itu hanya menggerutu sepanjang jalan.

“Gak di rumah gak di sekolah semuanya bikin emosi! Orang-orang sengaja banget ya pengen liat gue mati muda? Hih, nyebelin!”

Saking sibuknya menggerutu kesal, Aeli sampai tidak sadar ada seseorang yang tiba-tiba muncul dari belokan. Gadis itu kembali mengumpat keras kala tubuhnya ditubruk dengan sangat tidak elegan.

“Anjing!”

Hampir saja Aeli tersungkur jika lambat mengambil kendali tubuhnya. Begitu mengetahui siapa yang barusan menubruknya, raut Aeli dihiasi keterkejutan.

“Eh, maaf. Saya nggak liat,” tutur sang empu cepat.

Aeli mematung untuk beberapa saat. Matanya menyorot lekat lelaki yang kini juga tengah menatapnya polos. Pandangan Aeli serasa enggan beralih. Jiwanya seperti berusaha mencuat keluar dari raga.

“Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?” Sky bertanya bingung. Pasalnya, Aeli mendadak berubah seperti orang linglung.

Rentetan pertanyaan menyerbu benak Aeli. Ini kali pertama ada lelaki yang berani bertanya padanya tanpa rasa takut. Melihat tatapannya, Aeli tahu cowok itu sama sekali tidak menyimpan ketakutan padanya. Seolah tidak mengetahui siapa dirinya.

Bukan ingin meninggi, hanya saja, setiap murid yang pernah berbicara dengan Aeli selalu terlihat takut dan tidak nyaman. Mungkin karena mengetahui bahwa Aeli adalah ratu bully yang paling dihindari, atau memang karena enggan berurusan dengannya.

“Hei, are you okay?” Sky melambai-lambaikan tangan di depan Aeli sambil memiringkan kepala.

Wajah polosnya, mengapa harus terlihat se-menggemaskan itu sih?! Bagaimana bisa ada lelaki imut, lucu, dan ganteng di waktu bersamaan? Bagaimana bisa ada wajah seperti itu? Dan mengapa Aeli bisa dibuat terpaku dengan wajah itu?

“E-eh ...? Gue, gue baik-baik aja,” balas Aeli setelah berhasil menarik diri dari dunia lamunannya.

Sialan. Siapa dia? Mengapa Aeli baru melihatnya sekarang?

“Maaf ya soal tadi, saya beneran gak liat ada kamu, makanya main asal tubruk gitu aja.” Sky mengatakannya sambil tersenyum canggung. Sukses bikin Aeli hampir pingsan karena gemas.

“I-ya ... gapapa.” Sialan, Aeli gugup. Area wajahnya mendadak panas. Rasanya benar-benar aneh.

Selama ini, Aeli tidak pernah tertarik untuk berdekatan dengan lelaki manapun. Setiap ada yang mendekat, dia selalu menciptakan jarak dan sengaja membuat mereka merasa ngeri dengan tingkahnya hingga tidak berani mendekat.

Benar saja, sejak Aeli dicap sebagai ratu bully. Sudah tidak ada lelaki yang berani mendekat atau sekedar mengirimkannya bunga dan surat cinta. Lagipula, Aeli benar-benar tidak punya waktu untuk membangun kisah asmara.

Aeli sampai dianggap mati rasa karena terlalu membentengi diri dan tak membiarkan siapapun merusak benteng pertahanan yang dia bangun mati-matian. Lalu sekarang, Aeli dengan mudahnya terpesona dengan cowok imut ini? Em, bagaimana ya menyebutnya? Menurut Aeli, wajah itu cukup rumit untuk di deskripsikan lewat kalimat singkat.

“Kayanya kamu kenapa-napa. Mau saya antar ke UKS?” tawar Sky. Wajah Aeli yang semakin memerah membuatnya khawatir.

“Lo nggak tau siapa gue?” Entah mengapa dari banyaknya pertanyaan harus pertanyaan itu yang meluncur keluar. Aeli sendiri tidak habis pikir.

“Faye Aeliya, kan? Anak kelas 11-1, ratu bully sekolahan, suka nindas murid-murid lemah, mengerikan, pemegang peringkat satu dua semester berturut-turut, hobi bikin onar, bikin ribut, marah-marah, suka bolos pelajaran. Apalagi ya? Ah, suka tidur di UKS.”

Aeli tersedak ludahnya sendiri begitu mendengar penjelasan singkat Sky. Rasanya, dia ingin mengubur diri ke dalam tanah saking malunya. Memang benar ya, di sekolah ini Aeli hanya terkenal pintar. Selebihnya, nol besar!

“Eh, maaf. Saya bukan stalker kamu kok. Saya tau karena sering denger cerita dari teman-teman saya. Jangan salah paham ya,” jelas Sky sebelum Aeli memiliki pandangan buruk tentang dirinya. Sky hanya tidak ingin dicap sebagai penguntit.

“Eung, gapapa. Lagian yang lo omongin bener semua.”

Aeli sama sekali tidak keberatan bagaimana pandangan orang lain untuknya. Tetapi, kala kalimat sialan tadi diucapkan oleh Sky, entah mengapa ulu hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ulu hatinya pedih, padahal dirinya sendiri yang menciptakan image tersebut.

“Terus, lo nggak takut gitu sama gue?” tanya Aeli dengan sisa muka yang dia punya.

Sky menggeleng ringan. “Enggak. Kecuali kamu doyan daging manusia.”

Aeli terkekeh pelan, bisa-bisanya dia mendapat jawaban nyeleneh seperti itu. Cowok ini unik. Aeli jadi penasaran.

“Kalau gitu saya duluan, ya. Maaf soal tadi.”

Belum sempat Aeli memberi jawaban, Sky sudah ngacir duluan dari hadapannya. Aeli menatap punggung tegap Sky dengan pandangan yang sulit diartikan. Satu sudut bibir Aeli terangkat ke atas, dan hanya dirinya yang mengerti maksud senyum misterius itu.

...•••...

Berulang kali Aeli memijat keningnya mendengar rentetan ocehan yang Clara lontar. Kuping Aeli sudah panas. Jujur saja. Tetapi entah mengapa sampai sekarang Clara tampak tak kunjung akan menyudahi pembahasan yang seputar itu-itu saja.

Cowok tampan berdarah dingin, berwajah datar, serta memiliki tatapan setajam elang. Dipta Prahardja namanya. Manusia itu yang terus menerus menjadi objek pembahasan Clara. Aeli benar-benar muak.

“Kok bisa ya ada cowok se-perfect dia di dunia ini? Gue bener-bener gak expect deh seberuntung apa cewek yang bisa luluhin hati dia.” Clara menopang dagu, tersenyum dengan mata menyipit. Halu.

“Dipta itu kanditat paling sempurna untuk dijadiin pacar. Lo berhasil dapetin dia otomatis lo jadi pemeran utama, Sis.”

Benar sih. Aura main character memang sudah mendarah daging di dalam diri Dipta. Wajah datarnya terkesan misterius, sifatnya dingin-dingin cuek, bicaranya pun benar-benar irit. Apalagi setiap langkahnya selalu menjadi pusat perhatian karena terlihat begitu memikat. Ya, seperti gambaran karakter utama pria pada umumnya lah.

Tetapi tidak bisakah Clara berhenti membicarakan cowok yang katanya setampan dewa bla bla bla itu? Apa tidak ada pembahasan lain yang lebih etis? Jika saja Clara bukan teman dekat Aeli, mungkin mulut gadis cerewet itu sudah dia sumpal dengan rumput.

“Bisa stop bicarain dia nggak sih?” sahut Aeli.

Sejujurnya dia tidak pernah tertarik dengan bahan bahasan Clara. Lebih tepatnya, Aeli tidak pernah tertarik dengan Dipta. Karena menurut Aeli, cowok itu terlalu mainstream. Detail karakternya terlalu mudah ditemukan pada novel-novel best seller yang terpajang di gramedia.

“Kenapa sih, Li? Tiap gue bahas Dipta lo bawaannya sensi mulu? Cemburu ya lo?”

“Gue gak belok.” Aeli menyeplos asal. Menyesap jus alpukat lalu menyuap bakso yang masih tersisa satu biji ke dalam mulut.

Butuh beberapa saat untuk Clara memahami maksud kalimat Aeli. “Ish, gak gitu maksudnya, Bangkong!” Kini gantian Clara yang memijit kening. “Lagian lo tuh aneh tau nggak. Diajak bahas cowok ganteng bukannya seneng malah sepet.”

“Gue gak suka yang ganteng-ganteng.”

Clara melotot. “Li, gue tau lo jomblo karatan, tapi jangan beneran belok juga dong!” Dia jadi ngeri sendiri membayangkan bagaimana jika gadis baddas seperti Aeli benar-benar belok.

“Pola pikir lo sempit banget kaya ******.” Aeli menatap datar Clara sambil menodong garpu.

“Gak doyan yang ganteng belum tentu gue gak doyan cowok. Ngotak. Emangnya gue lesbian?”

“Terus lo doyan yang jelek gitu? Hei, apa gunanya muka cantik lo, Aeliya?”

Aeli menyeringai. Tangannya beralih menopang dagu. Senyum anehnya sukses bikin Clara bergidik. Menelan ludah takut-takut.

“Gue sukanya yang imut-imut.”

Mata boba Aeli tertuju lurus pada objek yang baru menapak di kantin. Senyum yang tadi tidak sempurna kini merekah sepenuhnya. Mood-nya membaik seratus persen.

Clara mengerutkan kening. Dia yang penasaran langsung mengikuti arah pandang Aeli. Mendapati sekumpulan cowok yang kini berkumpul di salah satu meja kantin, tempat biasa mereka menghabiskan waktu pada jam istirahat.

Mereka adalah deretan cowok tampan paling terkenal di SMA Flourst angkatan kelas sebelas kali ini. Awalnya, tatapan Clara terpusat pada Dipta yang terlihat paling menonjol dari teman-temannya yang lain.

Seragam yang tidak rapi, tanpa dasi, tiga kancing paling atas dibiarkan terbuka, serta baju yang tidak dimasukkan membuat aura badboy menguar sangat jelas.

Sayangnya, Clara sadar jika Aeli sedang tidak memperhatikan cowok idamannya itu. Melainkan sosok yang duduk di sebelah sang empu.

Sky Lazaro.

Cowok berwajah imut yang memiliki senyum paling manis di antara mereka. Memiliki kesan ceria dan tampak selalu menebar energi positif di segala situasi. Dia memiliki bahu lebar dan tubuh yang tinggi, hanya saja wajahnya terlihat begitu menggemaskan dan polos. Persis bocah.

“Eh, jangan bil—”

“Kok gue baru tau ya ternyata dia se-geng sama Dipta-Dipta lo itu? Lo gak pernah bilang ke gue ada cowok seimut dia sih,” sela Aeli. Semakin memperhatikan Sky dalam-dalam. Jika Aeli tahu ada manusia seimut itu sejak dulu, mungkin sudah lama dia caper.

“Lucu banget gak sih dia tuh? Cara dapetinnya gimana, ya?”

Rasa gemas Aeli makin tak terkendali. Jika Sky adalah squishy, mungkin sudah Aeli remas-remas sampai penyet.

“Woi! Sejak kapan lo suka sama Sky, anjir?!” Clara terkaget-kaget. Saking kagetnya, dia sampai tidak bisa menutup mulut.

“Oh, namanya Sky?” Aeli balik bertanya. Terlalu sibuk mengagumi keimutan Sky, dia sampai lupa bertanya nama. Jika saja Clara tidak menyebut namanya, mungkin Aeli tidak akan pernah ingat untuk bertanya.

“A cute name, like its owner.”

“Gila! Lo serius naksir sama itu cowok?!”

Aeli mengedikkan bahu tak acuh. “Lebih dari sekedar naksir mungkin.”

Clara menganga kaget, benar-benar tidak menyangka akan mendengar jawaban segamblang itu dari mulut Aeli. Clara pikir, tipe cowok idaman Aeli sama sepertinya. Badboy, pembuat onar, pintar, kesayangan guru, ketua perkumpulan. Persis seperti diri Aeli sendiri. Ternyata, malah yang selama ini Clara anggap sebagai tokoh figuran.

“Bisa-bisanya cewek baddas kaya lo doyan sama yang imut-imut, Li.”

...🐨...

Faye Aeliya \= Fey Aeliya

Terpopuler

Comments

Erni Fitriana

Erni Fitriana

sukaaaaaaaaaa...salam kenal thor😘

2023-08-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!