...•••...
Aeli berjalan tenang di koridor, tatapannya tertuju lurus ke depan dengan raut datar tanpa ekspresi. Siapapun yang melihatnya sekarang langsung mengerti jika Aeli tidak dalam suasana hati yang baik.
Apalagi di tangannya terdapat sebotol minuman soda merah dan sebutir telur. Orang-orang yang Aeli lewati mulai waspada meski tahu Aeli tidak mungkin menyentuh mereka jika mereka tidak mengganggunya duluan.
Kaki Aeli akhirnya menapak di lantai kelas sepuluh. Dia berjalan menuju ruang kelas 10-4 dengan langkah mantap. Murid-murid yang tadi berkumpul di koridor langsung menyusul begitu mengetahui ke mana arah tujuan Aeli. Mereka sudah sangat penasaran dengan drama dadakan yang mungkin terjadi setelah ini.
Brak!
Seluruh penghuni kelas 10-4 dibuat terkejut begitu mendengar suara bantingan pintu yang cukup keras. Mereka akan protes namun semua kata-kata yang hampir mereka muntahkan tertelan kembali begitu melihat sosok Aeli. Rasa takut menyerang dengan lancang hingga tak ada seorang pun berani berkutik.
Tujuan Aeli hanya satu, dan dia sama sekali tidak berniat mengusik manusia lain. Tatapan Aeli tertuju pada Claudia yang duduk di bangkunya dengan wajah pucat. Senyum sinis terukir, Aeli langsung mendekat dan tanpa babibu melempar telur yang di bawanya hingga pecah mengenai wajah Claudia. Membuat gadis itu meringis. Amis telur mengotori wajah dan seragam yang Claudia pakai.
Tak sampai di situ, Aeli kemudian membuka penutup botol dan menuangkan isinya ke atas kepala Claudia. Cairan merah membasahi kepala serta seragam sang empu. Seisi kelas bahkan murid yang menyaksikan dari luar kontan menganga kaget. Namun mereka tidak berani melakukan apa-apa jika ingin tetap aman.
“Kak Aeli!” Inessa—teman dekat Claudia—memekik. Dia terkejut setengah hidup melihat tubuh sahabatnya sudah dibasahi cairan merah serta amis telur karena ulah Aeli.
Raut Aeli sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Dia malah tersenyum puas melihat keadaan mengenaskan adik tirinya itu.
“Habis ini aduin ke papa kaya biasanya ya, Clau. Biar gue punya alasan buat terus nyiksa lo.”
Tubuh Claudia gemetar, air mata membendung dan sedikit lagi hampir tumpah. Gadis itu memberanikan diri mendongak menatap Aeli. Hatinya seperti diremas-remas oleh sesuatu. Rasanya menyakitkan.
“K-kenapa Kak Aeli lakuin ini ke aku?” tanya Claudia lemah. Dia sangat malu menjadi objek perhatian semua orang.
“Kenapa? Nggak terima? Mau marah?”
“Aku punya salah apa ke Kakak? Padahal aku nggak pernah ngadu ke papa soal kelakuan Kakak tapi kenapa Kak Aeli terus nuduh aku? Kenapa aku salah terus di mata Kakak?”
Itu adalah kalimat paling berani yang pernah Claudia lontar pada Aeli. Tanpa sadar menyulut emosi Aeli hingga senyum yang gadis itu pasang musnah seluruhnya. Secara impulsif tangan Aeli bergerak menjambak rambut panjang Claudia hingga sang empunya memekik kesakitan.
“K-kak ... lepasin! Sakit, Kak!”
Tak mempedulikan rintihan Claudia, Aeli mencetus datar. “Lo sengaja banget ya mancing gue buat bikin lo mati di sini?”
Claudia memejamkan mata merasakan rasa sakit luar biasa yang seperti akan mencabut kulit kepalanya. Semua orang tahu jika Aeli akan bertindak semakin mengerikan jika emosinya terus dipancing. Namun Claudia malah melupakan hal itu.
“Kak Aeli, stop! Jangan nyakitin Claudia lagi!” Inessa memekik tidak terima. Tapi tidak berani mendekat atau mendorong Aeli agar menjauh.
“Takut sahabat lo jadi mendiang di sini, ya? Kedengarannya menarik.”
“Kakak keterlaluan! Mau aku panggilin guru?!”
Tawa kecil menghiasi wajah Aeli. Sangat manis memang, sayangnya malah bikin orang lain merinding.
“Wah, takut.” Sejenak raut Aeli berubah meremehkan. “Silakan kalau mau ngelapor. Lo pikir ancaman lo semengerikan apa sampai bikin gue nurut?”
Aeli mengeratkan jambakannya, lalu menghempas kepala Claudia hingga menghantam sisi meja kaca beberapa kali. Memancing cairan kental berwarna merah untuk keluar. Mereka semua terperangah melihatnya.
“Nih, sekalian lapor kalau gue udah ngelakuin tindak kriminal sama sahabat tercinta lo.”
Emosi Inessa tersulut. “Kak Aeli jahat! Dasar monster!”
Inessa buru-buru membantu Claudia, menutup luka yang Aeli ciptakan di dahinya. Memanggil orang untuk membantu membawa Claudia UKS, namun tidak ada satupun yang berani bergerak.
“Lo semua buta, hah?! Gak liat Dia udah berdarah-darah gini!” geram Inessa. Tetap, tidak ada yang berani mengingat sosok Aeli masih di sini.
Senyum miring terukir, Aeli puas telah melampiaskan rasa gondok yang dipendamnya sejak lama.
“Kak Dipta! Sini, Kak! Tolongin Claudia!” Seruan Inessa barusan menarik perhatian Aeli. Gadis itu menolehkan kepala, mendapati sosok Dipta berdiri di ambang pintu dengan raut yang tidak bisa dijelaskan.
Begitu mendengar ucapan Inessa, Dipta mendekat. Terkejut melihat darah yang mengalir dari dahi Claudia. Dipta memang sengaja pergi ke sini begitu mendengar kehebohan murid-murid bahwa yang mengatakan Aeli tengah merundung Claudia. Namun tidak menyangka jika akan melihat pemandangan semengejutkan ini.
“Siapa yang lakuin?”
Tanpa ragu Inessa langsung menunjuk Aeli. Keberaniannya muncul kembali begitu Dipta hadir.
“Tuh pelakunya! Gak ada rasa bersalah sama sekali!”
Dipta menoleh pada Aeli hingga mata tajam mereka bertemu satu sama lain.
“Hai, Dipta. Gue pelakunya.” Aeli melambai kecil ke arah Dipta. Diiringi satu kedipan mata yang terlihat centil.
Rahang Dipta mengeras, namun memilih tidak meladeni Aeli mengingat keadaan Claudia. Lantas tanpa berkata cowok itu berjongkok di sebelah Claudia yang sudah lemah tak berdaya. Meletakkan tangannya di punggung dan lutut gadis itu lalu mengangkat tubuh ringan sang empu tanpa merasa jijik dengan noda yang menempel.
Dipta melempar tatapan mematikan untuk Aeli. Berujar kemudian. “Urusan kita belum selesai.” Lalu berjalan keluar kelas untuk membawa Claudia ke unit kesehatan sekolah. Gadis itu membutuhkan pertolongan pertama sesegera mungkin.
“Emangnya kita punya urusan?” celetuk Aeli.
Dia mengedarkan pandangan, mendapati manusia-manusia tadi masih menatapnya lekat. Terutama Inessa yang kini menatapnya penuh dendam.
Aeli mendekat perlahan ke arah Inessa, bohong jika tidak mengusik nyali gadis itu. Dia mengambil botol minum milik salah satu siswa yang tergeletak di atas meja. Menyiramkannya ke wajah Inessa hingga membuat gadis itu terbatuk karena airnya masuk ke hidung. Menyisakan rasa perih yang membakar.
“Jangan pernah ikut campur apapun yang gue lakuin sama sahabat lo. Gue tekanin, kita nggak punya urusan. Jadi berhenti mancing emosi gue selagi gue masih berbaik hati.”
Kata-kata Aeli seolah menegaskan bahwa dirinya tidak main-main. Kini, Inessa pun dibuat tidak berani berkutik dengan peringatan tersebut.
Aeli melempar botol minum tadi tepat di sebelah Inessa, menyentak gadis itu. Aeli berlalu dari ruang kelas setelah merasa puas. Dia bahkan tidak mempedulikan tatapan murid-murid yang masih memperhatikan dirinya. Menjadi pusat perhatian sudah sangat biasa untuk Aeli.
...•••...
Aeli menjalani aktivitasnya seperti biasa, belajar, makan di kantin, pergi ke perpustakaan, bahkan tidur siang di UKS. Mengabaikan berita dirinya yang kini menjadi topik pembicaraan paling hangat di Flourst. Clara yang baru melihat berita Aeli di website sekolah langsung menghubungi gadis itu. Kebetulan hari ini Clara terpaksa absen karena jatuh sakit.
“Buset, gak sekarat tuh anaknya?” tanya Clara lewat panggilan telepon. Suaranya masih terdengar lemah dan serak. Namun membela-belakan menghubungi Aeli untuk memastikan kebenaran berita yang beredar.
“Mau dia modar pun gue tetep gak peduli.” Aeli menyesap sedikit minuman miliknya dengan santai.
“Eh tapi emang bener dia yang ngadu ke papa lo waktu itu?”
“Dunno,” balas Aeli tak acuh. “Sekalipun bukan dia tindakan gue bakal tetep sama. Greget gue lagian.”
“Parah-parah. Tapi gapapa juga sih, biar kapok sekalian tuh anak.”
“Jangan deh. Kalau dia kapok gue gak punya alasan buat nyiksa dia lagi dong.”
“Tapi lo yakin dia gak bakal kapok sama kelakuan lo tadi? Ngeri banget loh anjir,” tanya Clara.
“Yakinlah. Palingan habis ini tuh sialan langsung nangis-nangis di depan papa sambil ngadu. Makin dia ngadu makin gue siksa. Masa gue doang yang sakit? Enak aja.”
“Lo gak terima disakitin papa lo, terus lo lampiasin ke dia, gitu?”
“Iyalah. Salah papa sendiri sayang anak gak dibagi rata. Dipikir cewek itu doang yang manusia? Terus gue apa? Setan?”
Clara terbahak. Perutnya yang baru diisi makanan seperti digoncang karena ucapan Aeli. Setelah beberapa saat baru Clara menghentikan tawanya.
“Astaga, Li. Gitu amat lo ngomongnya.” Meski Clara masih tertawa kecil karena belum bisa mengontrol tawa sepenuhnya. Percayalah, dia barusan mengatakan itu sambil berkaca-kaca.
“Tapi kalau habis ini om Mahesa hukum lo lagi, gimana?” tanya Clara serius.
“Gue tiap hari dihukum, Clar. Udah gak kaget.”
Clara tersentuh mendengar ucapan Aeli. Bukan tersentuh karena terharu, tapi karena kasihan. “Kalau gue punya ayah kaya om Mahesa kayanya gue udah nyerah duluan deh, Li. Sumpah lo kuat banget. Gue jadi pengen nangis.”
“Kuat?” Aeli terkekeh miris. Bahkan kini sahabatnya sendiri menganggapnya orang yang kuat. Padahal, gue cuma manusia lemah, penakut, pengecut, yang lagi berlindung dibalik topeng penjahat.
Sayangnya Aeli hanya bisa mengucap kalimat itu dalam hati. Cukup dirinya yang tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.
“Clar, gue tutup dulu, ya. Lo cepet sembuh, jangan lupa makan, minum obat, banyakin istirahat, jangan liatin akun gosip mulu.” Aeli mengingatkan.
“Iya. Lo udah kaya mama gue aja deh lama-lama.”
“Biar lo gak sakit-sakitan mulu. Lo tuh sakit karena kebanyakan minum es sama main HP. Kurang-kurangin deh.”
“Gak ada hubungannya, Nyet! Udah ah, gue mau main game. Dadah Aeliku sayang!”
“Najis!”
Aeli menutup panggilan duluan. Meletakkan ponselnya di meja dengan kasar. Aeli sendiri tidak mengerti dirinya mengapa betah sekali bersahabat dengan gadis centil dan alay seperti Clara.
Baru akan memasukkan satu suap bakso ke mulut, mendadak deheman seseorang menghentikan kegiatannya. Aeli berdecak kesal, dia paling benci diganggu saat makan. Lantas gadis itu kembali meletakkan garpunya ke mangkuk, mendongakkan kepala. Aeli mendengkus kasar mendapati figur Dipta.
“Kalau mau ceramah ntar aja. Gue laper, butuh asupan,” ketus Aeli. Tidak bertanya pun Aeli tahu apa tujuan Dipta menemuinya.
“Lo gak dengerin peringatan gue tempo hari ternyata.” Dipta membalas dingin.
Setiap mata mereka bertemu, Dipta merasa melihat sosok dirinya di dalam diri Aeli. Mungkin semua orang akan setuju jika ada yang menyebutkan bahwa dua tokoh ini memiliki sifat emosi yang sama. Sangat mudah untuk dipancing dan meledak-ledak.
“Emang enggak. Lagian ngapain gue dengerin peringatan lo? Penting banget lo buat gue?”
“Gue lagi gak bercanda, Aeli.” Dipta mulai geram. Mengingat keadaan Claudia saat ini bikin dia naik pitam. Andai Aeli sejenis dengannya, mungkin gadis itu sudah dia buat babak belur.
“Nada bicara gue kaya lagi bercandain lo emang?” sarkas Aeli kemudian. “Mending lo pergi deh. Gue udah muak banget liat muka lo serius.”
Biasanya Aeli akan membalas kata-kata Dipta diselingi kalimat meremehkan untuk memancing emosi cowok itu. Sayangnya tidak untuk kali ini. Aeli terlalu lapar karena belum sempat memakan apapun sejak kemarin sore. Dan dia harus segera makan.
“Kelakuan lo tadi udah keterlaluan. Dan lo malah nyuruh gue pergi gitu aja? Gak akan. Gue harus pastiin lo dapet balasan setimpal.”
Ucapan Dipta menyita perhatian beberapa murid. Suasana kantin mendadak hening, semuanya sibuk memperhatikan pertengkaran yang terjadi antara Dipta dan Aeli.
“Lo kalau mau balas dendam liat situasi dong! Gue lagi laper! Curang banget lo bertindak pas kondisi musuh lo lagi lemah-lemahnya!”
Rasa sakit di perut Aeli mulai mendominasi. Aeli itu memiliki riwayat penyakit lambung. Jika telat makan sedikit saja bisa-bisa bikin dirinya tumbang.
“Gue gak peduli.”
“Gue lebih gak peduli.” Aeli mengabaikan Dipta, menganggap seolah lelaki itu tidak ada.
Sayangnya tingkah Aeli malah memancing emosi Dipta. Baru Aeli akan menyentuh garpu yang tadi dia letakkan, Dipta lebih dulu melempar mangkuknya ke lantai hingga pecah berserakan. Perlakuan Dipta membuat seisi kantin memekik terkejut.
Dipta paling benci jika seseorang mengabaikannya, dan Aeli paling benci jika ada yang mengganggu kegiatan makannya.
Karena kesal, Aeli menggebrak meja dengan keras kemudian berdiri dengan tatapan mata setajam ujung pedang. Tangannya mengepal kuat hingga membuat buku jarinya memutih, wajahnya memerah karena amarah yang sudah tak terbendung.
Murid-murid lain langsung merinding merasakan perubahan aura gadis itu. Sepertinya, permainan sebenarnya akan benar-benar dimulai sebentar lagi.
“Kenapa cuma mangkuk gue yang lo lempar? Kenapa gak sama gue-nya sekalian?” sarkas Aeli dengan sisa kewarasan yang dia punya.
“Lo kalau mau bales dendam jangan setengah-setengah, Dip! Buang-buang waktu!”
Nafas Dipta memburu lebih cepat dari sebelumnya, masih mengontrol diri agar tidak kelepasan. Lantas, lelaki jangkung itu mendekat selangkah di hadapan Aeli. Menelisik mata indah dengan bulu mata lentik yang kini menatapnya penuh benci.
“Claudia sekarang di rumah sakit karena ulah lo, Aeliya!” Dipta refleks meninggikan suara. Kekhawatirannya terhadap Claudia serta rasa marahnya pada Aeli sudah tak terbendung lagi.
“Oh ya? Bagus dong. Semoga cepet pindah alam kubur.”
Rasa sakit di perut Aeli perlahan naik hingga membuat dadanya ikutan sesak. Kepalanya pun mulai berkunang-kunang. Namun sebisa mungkin dia mempertahankan raut datarnya di depan Dipta dan semua orang. Aeli tidak ingin dicap sebagai gadis lemah seperti Claudia jika tiba-tiba beralasan sakit di tengah pertempuran.
“Lagian, hidup dia juga gak ada gunanya. Selain nyusahin, apalagi yang bisa dia lakuin? Daripada cuma jadi beban, lebih baik mati aja, kan?”
“Aeli, lo—” Ucapan Dipta dipotong dengan lancang oleh Aeli.
“Manusia kaya Clau itu nggak pantes hidup! Tempat yang paling pas buat dia cuma neraka! Gue pastiin gue bakal jadi orang paling bahagia kalau dia beneran mati!”
Dipta yang terpancing tidak sadar mengayunkan tangannya ke udara. Aeli refleks memejamkan mata dan hingga seperkian detik terlewat, telapak Dipta tak kunjung mendarat di pipinya.
Perlahan Aeli membuka mata, dan hal yang pertama dia lihat adalah tangan Dipta yang ditahan di udara sebelum sempat menyentuh dirinya. Aeli mendongak, membelalak begitu mendapati seseorang telah berdiri di sampingnya sambil menahan tangan Dipta.
Aeli tidak bisa menjelaskan, jelasnya mata Aeli menangkap sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Jangan pernah main tangan sama perempuan.” Aeli tertegun. Keterkejutan masih menghiasi wajahnya begitu melihat kilat dingin yang tersirat di mata sang empu.
Dipta menarik tangannya dengan kasar, dengkusan lolos begitu saja. Dipta merutuki dirinya dalam hati karena hampir kelepasan. Seharusnya dia lebih bisa mengontrol emosi. Semarah apapun dirinya sekarang, lawannya adalah perempuan.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Dipta berlalu pergi meninggalkan mereka. Tatapan Aeli masih tertuju pada cowok itu bahkan setelah sang empu benar-benar hilang dari pandangan. Aeli masih terlalu terkejut untuk mencerna seluruh kejadian dengan baik.
“Aeli, kamu gak apa-apa? Ada yang luka?” Pertanyaan Sky menyadarkan Aeli. Nada dingin cowok itu seperkian detik lalu kini menjadi sangat lembut.
Aeli mengarahkan bola mata ke Sky, meneliti dalam-dalam raut yang Sky pasang kala melihatnya. Hingga Aeli berhasil menyimpulkan, Sky sedang menatapnya penuh kekhawatiran. Menyadari hal itu, bibir Aeli berkedut kecil menahan senyum, melupakan amarahnya.
Namun tak berlangsung lama karena Aeli merasakan kepalanya menjadi sangat berat. Pandangannya memburam sedikit demi sedikit dan Sky menyadari ada yang tidak beres begitu melihat raut pucat Aeli yang menyita seluruh seri di wajahnya.
“Aeli, kamu sakit? Mukamu pucat banget,” ujar Sky khawatir. Menyentuh lengan Aeli.
Gadis itu ingin membantah karena tidak ingin terlihat lemah di hadapan pujaan hatinya. Sebelum Aeli sempat menutur, kesadarannya menghilang lebih dulu dan Sky dengan sigap menangkap tubuh lemahnya sebelum berakhir ke lantai.
Kini, posisi cowok itu memeluknya. Raut panik tercetak jelas. Sky mencoba menyadarkan Aeli beberapa kali, sayangnya gadis itu tetap menutup mata dengan raut pucat tanpa daya.
Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Sky langsung menggendong tubuh Aeli. Membawanya ke unit kesehatan sekolah untuk mendapatkan pertolongan. Dan ... Perlakuan Sky barusan sukses menyita perhatian murid-murid yang menyaksikan. Mereka mulai menggosipkan apa yang mereka lihat barusan.
...•••...
Hal pertama yang Aeli tangkap begitu kesadarannya kembali adalah bau obat-obatan yang menyengak. Kening Aeli mengerut dalam seiring matanya yang mengerjap perlahan, mencoba untuk terbuka.
“Eh, Aeli sudah sadar?”
Seorang perempuan berkaca mata lengkap dengan setelan jas putih dan rambut yang dijepit ke atas menyita perhatian Aeli. Gadis itu mengarahkan bola matanya menghadap Miss Handaya. Dokter khusus yang bertugas di sekolah ini.
Aeli mengangguk lemah menanggapi. Membasahi bibirnya yang terasa kering.
“Kenapa aku bisa di sini, Miss?” tanya Aeli. Otaknya masih belum sanggup memutar kejadian terakhir sebelum kesadarannya menghilang.
“Tadi kamu sempat pingsan, Aeli. Ada siswa lelaki yang menggendongmu ke sini,” jelas Miss Handaya.
“Siswa lelaki?” Aeli mengulang dengan mata membola. “Gendong aku?!” Dibalas anggukan oleh dokter perempuan itu.
“Teman kamu, bukan? Soalnya tadi kelihatannya panik banget.”
Aeli akhirnya menemukan jawaban setelah beberapa saat memutar otaknya dengan keras. “Sky?”
“Oh, namanya Sky? Saya belum sempat nanya sih soalnya setelah saya jelasin keadaan kamu dia langsung keluar. Kayanya pengen nyariin makanan buat kamu. Pokoknya mukanya ganteng campur imut gitulah, manis lagi.”
Aeli merasakan getaran di dadanya setelah Miss Handaya selesai berujar. Senyum tipis terukir. Hatinya menghangat mengetahui fakta bahwa Sky membawanya ke sini bahkan mengkhawatirkan dirinya. Sepenting itukah Aeli untuk Sky? Pertanyaan itu terus berulang-ulang di benak Aeli.
“Kamu pingsan karena asam lambungmu naik. Apa kamu belum memakan apapun sejak pagi?” tanya Miss Handaya.
Aeli menggeleng pelan. Pertanyaan Miss Handaya membuatnya mengingat perlakuan setan Dipta yang dengan sangat amat kurang ajar melempar makanan miliknya.
“Jangan diulang lagi, ya. Kalau bisa sebaiknya kamu memakan sesuatu saat pagi untuk mengganjal perut supaya kejadian seperti ini tidak terulang. Maag-mu bisa semakin parah dan berakibat fatal jika jadwal makanmu berantakan.” Miss Handaya menjelaskan.
“Ini gara-gara si Dipta sialan! Awas aja lo!”
Beberapa detik setelahnya, pintu UKS terbuka menarik perhatian Aeli. Seorang lelaki muncul sambil menenteng satu kresek putih dan gelas berisi teh hangat, mungkin.
Sedetik pun, Aeli tidak sanggup mengalihkan bola mata dari lelaki jangkung berwajah manis tersebut. Tatapan polos ketika sang empu melihatnya membuat Aeli gemas. Dan rasa gemasnya sudah sangat melewati batas wajar sampai-sampai Aeli ingin memiliki manusia itu seutuhnya.
Sky lalu mendekat dengan raut sama seperti terakhir kali Aeli melihatnya sebelum menutup mata. Kehadiran Sky seperti menyuntikkan vitamin yang langsung diserap oleh tubuh lemah itu.
“Kamu udah baik-baik aja, Aeli?” tanya Sky lembut. “Minum dulu, ya.”
Ucapan Sky langsung direspon dengan anggukan pelan. Meski Aeli mengukir senyum, pucat di wajahnya seolah menjelaskan bahwa dia belum pulih sepenuhnya.
Perlahan Sky mengarahkan gelas berisi teh hangat tadi ke bibir Aeli. Gadis itu meminumnya sedikit lalu menggeleng setelah menjauhkan gelas tersebut pertanda dia sudah tidak mau.
Diam-diam Miss Handaya tersenyum melihat interaksi mereka. Dia mengenal Aeli sejak lama karena Aeli sering mangkal di sini jika sedang malas mengikuti pembelajaran. Namun baru kali ini Miss Handaya melihat Aeli sejinak itu pada lawan jenis.
Setahu Miss Handaya, Aeli itu sangat anti berdekatan apalagi sampai bersentuhan dengan lelaki. Tetapi saat Miss Handaya mengatakan bahwa Sky menggendongnya ke sini, Aeli sama sekali tidak murka. Malahan senyum-senyum seperti orang sableng.
“Mas Sky, saya titip Aeli sama kamu, ya. Jagain loh jangan di gigit. Saya mau ke toilet sebentar,” ujar Miss Handaya. Sengaja memberikan ruang untuk dua manusia itu.
Yang ada mah aku yang bakal gigit Sky, Miss.
“Iya, Miss. Siap.”
Setelah melempar senyum hangat untuk Sky dan Aeli, Miss Handaya berlalu keluar. Menyisakan keduanya di dalam ruangan bernuansa putih dengan gorden biru tersebut.
Sejenak keduanya diam, Aeli masih setia meneliti setiap lekuk wajah Sky yang tampak memukau di matanya. Pahatan wajah Sky adalah takaran sempurna menurut Aeli dan dia tidak akan pernah bosan memuji betapa imut dan manisnya cowok itu.
“Li, makan dulu, ya. Kata Miss Handaya perut kamu harus segera diisi.” Sky menawarkan. Tanpa sadar menarik Aeli yang hampir terhanyut pada pesonanya.
Aeli menyorot tidak minat makanan yang Sky bawa. Nafsu makannya hilang. Masih geram dengan kelakuan sialan Dipta di kantin sekolah.
“Gue gak selera, Sky.”
“Loh, kenapa? Kamu dari tadi belum sempat makan apa-apa, kan?” tebak Sky dan tebakannya tepat sasaran.
Mendadak ide jahil melintas di otak kepala Aeli yang memang sudah gila. Kesempatan biasanya tidak datang dua kali, kan? Maka Aeli harus menggunakannya sebaik mungkin selagi bisa.
“Gue emang belum makan apapun sejak kemarin sore. Tadi juga pas mau makan malah digangguin temen babi lo itu.” Aeli mengerucutkan bibir kesal. Menatap dalam-dalam Sky yang masih menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Sekarang gue udah nggak nafsu. Tapi ... kalau disuapin sama lo bisa gue pertimbangin.”
“Jadi intinya, kamu minta disuapin saya?”
Aeli mengangguk dua kali dengan raut berharap. Entah ke mana perginya urat malu dan image baddas yang selama ini dia pertahankan mati-matian. Kemunculan Sky dalam hidupnya seolah membuat Aeli melupakan dirinya yang asli. Atau ...,
Mungkinkah ini dirinya yang asli?
“Lo nggak keberatan?” Aeli bertanya begitu polos.
Sadar tidak sadar wajah lucunya membuat Sky menarik sudut bibir. Parahnya senyum yang Sky pasang malah bikin Aeli salah tingkah sendiri. Rasa malunya perlahan-lahan muncul dan Aeli kini butuh ember untuk menutup wajahnya yang mungkin sudah memerah seperti cabe.
“Saya nggak keberatan kalau kamu yang minta.”
Ini siapa yang ngajarin Sky ngomong gini woi?!
...•••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Erni Fitriana
author yg ngajarin lyyyy
2023-09-02
0