...•••...
“Sky, makasih udah dianterin pulang,” tutur Aeli setelah turun dari motor dan menyerahkan helm pada Sky.
Demi segala jenis monyet dan beruk, Aeli belum pernah sekalipun membayangkan dirinya akan diantar pulang oleh Sky. Aeli belum memasukkan bayangan tersebut ke dalam list haluannya karena sama sekali tidak kepikiran.
Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara membuat Sky menjadi miliknya dan mencintainya. Ternyata, hal yang belum dia bayangkan malah didahului oleh realita dan sukses besar membuatnya bahagia.
Entah Aeli harus kesal atau senang atas kejadian hari ini. Hikmah dan karma mendatanginya secara bersamaan.
Sky memasang senyum, menerima helm tersebut lalu mengangguk. “Sama-sama. Saya senang bisa mastiin kamu selamat sampai rumah.”
Aeli tersipu, pipinya merona. “Untuk yang tadi ... makasih juga.”
“Em, yang mana?”
“Itu, udah mau nyuapin gue.” Jantung Aeli selalu berdebar-debar mengingat bagaimana lembutnya Sky memperlakukan dirinya tadi.
Sky terkekeh geli melihat raut lucu Aeli. “Sama-sama lagi.”
“Sky pulangnya hati-hati, ya. Jangan terlalu ngebut. Kalau nggak keberatan ....” Aeli menggantungkan ucapan. Menggigit bibir dalam karena merasa ragu untuk melanjutkan.
“Kalau nggak keberatan kenapa, Li?” Sky mulai penasaran.
“Kalau nggak keberatan ... pas sampai rumah langsung kabarin gue, ya?” Aeli memintanya dengan hati-hati. Juga terlihat ragu.
“Oh, saya kira apa. Nanti saya pasti langsung ngabarin kamu.”
Aeli mendongak dengan mata berbinar, mengedip beberapa kali seperti baru mendapat jackpot puluhan milyar. Respon Sky selalu sukses bikin hati Aeli menghangat.
“Janji?” Tanpa sadar gadis itu mengangkat kelingkingnya.
Dan tanpa ragu Sky menautkan kelingking mereka. “Janji.”
Keduanya menatap mata masing-masing dan larut dalam tatapan itu cukup lama. Aeli tak henti-hentinya memuji kelucuan wajah Sky dalam hati. Karena wujud Sky memang selucu itu jika dilihat dari dekat. Setelah beberapa saat, akhirnya keduanya berhasil menarik diri dari lamunan masing-masing.
“Kalau begitu, saya pamit dulu, ya. Kamu jangan lupa minum obat.”
“Siap laksanakan, Dokter!” seru Aeli semangat. Berpose layaknya orang sedang hormat.
Sky terkekeh. Menurutnya Aeli benar-benar sesuatu. Sekejap gadis itu bisa terlihat sangat kejam dan mengerikan. Namun saat bersamanya, semua itu musnah tak bersisa. Seolah sosok Aeli yang seperti itu memang tidak pernah ada.
Sky akhirnya berlalu meninggalkan area rumah Aeli dengan vespa matic miliknya. Aeli masih memandangi figur Sky sampai benar-benar hilang ditelan jarak. Bahkan setelah cowok itu sudah tak terlihat, Aeli masih tetap memperhatikan. Perlahan debaran hebat yang dia rasakan sejak tadi mulai mereda, meski belum normal sepenuhnya.
Aeli memutuskan berbalik badan dan berjalan pelan memasuki gerbang rumahnya. Baru saja Aeli menginjakkan kaki di dalam rumah, dirinya langsung dikejutkan dengan drama dadakan yang terjadi. Kepalanya yang masih sedikit terasa berat dipaksa menerima hantaman keras karena bentakan Mahesa yang seolah siap mengulitinya hidup-hidup.
Alih-alih memasang wajah takut, Aeli malah menampakkan tampang tak acuh sambil merotasikan bola mata muak. Bahkan saat Mahesa sudah berhenti di depannya dengan wajah merah dikuasai amarah, ekspresi Aeli tetap sama.
“Ada apa lagi sih, Pa? Teriak-teriak mulu kaya tarzan,” cetus Aeli terdengar lelah. Lebih tepatnya, lemah.
“Setelah apa yang kamu lakukan kamu masih nanya ada apa, Aeli? Di mana otak kamu?” Mahesa membentak. Urat-urat di lehernya bermunculan menandakan dia benar-benar marah.
“Apa yang udah aku lakuin?” celetuk Aeli, keningnya menciptakan kerutan. Aeli sengaja memancing pertanyaan biar Mahesa semakin terbakar.
“Kamu lukain adik kamu lagi! Sekarang Dia harus dirawat di rumah sakit karena ulahmu! Masih belum jelas?”
“Oh itu ....” Aeli manggut-manggut. Lalu mengerut bingung. “Terus aku harus apa, Pa? Bawain keranda mayat buat dia?”
“Aeli!”
Bentakan Mahesa menghadirkan senyum di wajah Aeli. Namun siapa yang tahu jika saat ini hatinya sedang hancur berkeping-keping, bahkan matanya mulai berkaca-kaca karena Mahesa hanya memperhatikan Claudia. Tanpa melihat keadaannya sedikit saja.
“Aku khilaf, Pa. Lagipula aku nggak salah sepenuhnya kok. Clau duluan yang mancing emosi aku.”
“Gimana bisa Dia yang mancing emosi kamu sedangkan kamu duluan yang menghampiri kelasnya dan membuat keributan?” Mahesa tidak habis pikir.
“Wah, Papa tau! Hebat-hebat.” Aeli bertepuk tangan sendiri. Pura-pura takjub dengan ekspresi yang dibuat-buat.
“Ikut, Papa. Kamu harus dihukum!”
Tanpa menunggu persetujuan Aeli, Mahesa langsung menyeret gadis itu menuju sebuah ruangan. Aeli sampai tersandung beberapa kali karena kesulitan mengimbangi langkah lebar Mahesa. Ditambah rasa pusing di kepalanya yang tak kunjung mereda. Padahal wajahnya jelas terlihat sangat pucat namun Mahesa seperti menutup mata dan memilih tak melihat kenyataan itu.
“Akh!” Aeli memekik begitu Mahesa memaksanya masuk ke dalam gudang yang gelap. Aeli terjatuh karena tidak siap menerima dorongan kuat dari ayahnya.
Mata yang tadi berusaha terlihat tegar kini mulai menunjukkan wujud aslinya. Kilatan air mata tercetak jelas di sana.
“Papa nyakitin Eli.” Setelah sekian lama, akhirnya panggilan kecil Aeli kembali terdengar. Namun kini, Aeli sendiri yang menyebutnya di depan Mahesa.
“Kamu harus dihukum biar tahu diri! Renungkan semua kelakuan dan kesalahan kamu di sini! Papa nggak akan pernah buka pintu sebelum kamu sadar!”
Raut Aeli berubah panik. Tubuhnya gemetar pertanda takut. Sesegera mungkin Aeli menyentuh tangan kekar Mahesa, menatap lamat mata dingin itu. Berusaha mencari kehangatan sekecil apapun namun tak kunjung Aeli temukan. Hanya kebencian yang bersarang jelas di dalam sana.
“Jangan kurung Eli di sini, Pa. Eli mohon. Eli takut gelap. Gimana kalau tiba-tiba—”
“Papa gak peduli.”
Tiga kata yang sukses meremukkan hati Aeli dalam sekejap. Genggamannya di tangan Mahesa mengendur perlahan. Mahesa bahkan melupakan trauma Aeli terhadap kegelapan. Sebenci itukah dirinya pada Aeli?
“Pa.” Aeli melirih, kali ini air matanya langsung luruh tanpa permisi. “Eli juga sakit, tapi kenapa cuma Clau yang Papa perhatiin? Apa Papa benar-benar lupain Eli karena perempuan sialan itu, Pa?”
“Jaga mulut kamu, Aeli! Claudia itu adikmu!”
“Adik yang gak pernah aku harapkan!” Sisi gelap Aeli kembali. Tatapan sendunya berganti menjadi tatapan penuh kebencian.
Meski sulit, Aeli memaksakan dirinya untuk berdiri. Menatap lurus-lurus mata tajam yang persis seperti miliknya.
“Papa mau tau sesuatu?”
Tidak ada respon apapun dari Mahesa. Jelas sekali pria itu sedang menahan amarah yang semakin berkobar-kobar.
“Clau dan mamanya adalah manusia paling jahat yang pernah aku temui. Mereka udah rebut Papa dari aku.”
“Gak ada yang pernah rebut Papa dari siapapun!” Mahesa menegaskan.
“Oh, pasti karena Papa sendiri yang menyerahkan diri, ya? Berarti Papa sama rendahnya seperti mereka dong?”
“Tutup mulutmu, Aeli!”
“Mama sakit karena Papa ketahuan selingkuh sampai punya anak sama selingkuhan papa. Kemudian Papa lebih milih dua manusia itu tanpa ragu. Papa lupain aku, lupain mama yang akhirnya memilih pergi karena kelakuan bejat Papa. Dan bodohnya, Papa sama sekali nggak merasa bersalah. Bahkan sekarang dengan senang hati dan tanpa rasa malu, Papa memamerkan kemesraan keluarga kecil Papa di depan aku.” Aeli tertawa hambar. Air matanya terjatuh beberapa kali.
“Murahan.”
Plak!
Mahesa gagal mengendalikan diri mendengar kata terakhir yang terucap dari mulut Aeli. Emosinya tersulut habis dan membuatnya sulit menggunakan akal sehat. Hingga akhirnya, tamparan keras penuh kekesalan itu mendarat kencang di pipi Aeli hingga tubuhnya jatuh ke lantai gudang yang berdebu.
“Saya udah cukup sabar menghadapi kamu selama ini! Tapi ternyata kesabaran saya nggak bikin kamu sadar! Kamu terus menyudutkan istri dan anak saya!”
Istri dan anak saya ....
“Andai saya bisa, saya akan memutar waktu dan tidak membiarkanmu hadir di dunia ini! Kamu itu bencana terbesar di hidup saya setelah ibumu!”
“Sepertinya kamu juga sudah melupakan sesuatu, ibumu pergi karena kamu! Bukan saya! Jangan pernah memutar balikkan fakta, anak sialan!”
Lengkap sudah rasa sakit Aeli untuk hari ini. Air matapun sudah tidak bisa menggambarkan sehancur apa dirinya sekarang. Mendengar kalimat itu meluncur keluar tanpa paksaan dari mulut ayah kandungnya, Aeli semakin yakin bahwa kehadirannya memang tidak diharapkan.
“Saya nggak akan membebaskan kamu sampai kamu benar-benar berubah. Selagi saya berbaik hati memberikan waktu, pikirkan kesalahanmu itu baik-baik.”
Mahesa meninggalkan Aeli di ruangan tersebut setelah menutup pintu dan menguncinya dari luar. Hening menyapa. Sudah tidak terdengar suara apapun lagi setelah pria itu benar-benar pergi.
Perlahan Aeli mendongak, menatap nanar pintu yang sudah tertutup rapat. Kini, pencahayaan satu-satunya hanya berasal dari jendela besi yang menampakkan tampilan luar. Namun saat malam tiba, bisa dipastikan semuanya akan benar-benar gelap gulita tanpa seberkas cahaya.
Entah bagaimana Aeli bisa bernafas dengan benar setelahnya. Bahkan kini dadanya mulai sesak dan tubuhnya perlahan mengeluarkan keringat dingin. Kebas di pipinya akibat tamparan Mahesa pun sudah tak berasa.
“Papa ternyata udah bener-bener lupain Eli. Eli kangen papa. Eli pengen disayang papa juga ....”
Setelahnya, Aeli merapat ke daun pintu. Menekuk lutut lalu menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan yang berada di atas lutut. Aeli terisak, memunculkan dirinya yang selama ini bersembunyi jauh dibalik topeng.
Dirinya yang lemah dan rapuh, dirinya yang cengeng hanya karena sebuah bentakan, dirinya yang takut akan kegelapan, dan dirinya yang mudah hancur tanpa sentuhan.
Faye Aeliya yang asli, hanya seorang gadis kecil yang sering menangis diam-diam saat merasa dirinya sudah tak diinginkan. Bukan sosok antagonis yang selalu terlihat mengerikan di depan banyak orang.
•••
Hening, ruangan persegi yang diisi oleh beberapa orang lelaki tampak begitu sunyi. Tatapan mereka tertuju pada satu orang yang tengah duduk di sofa dengan wajah kusut. Sumpah serapah serta kata penuh makian sudah mengendap di otak kepala masing-masing. Namun sampai saat ini kelimanya masih memilih untuk membisu.
Terlalu banyak hal yang harus dibicarakan, sayangnya satu kata pun terasa sangat sulit untuk terlontar. Merasa muak dengan kecanggungan yang terjadi, Dylan menutur duluan.
“Gue bingung mau ngatain lo apa, Dip. Yang jelas lo itu bego banget!”
Suara Dylan yang terdengar menekan mengisi studio musik tersebut. Rasa geramnya sudah memuncak dan baru bisa dia lampiaskan sekarang.
“Gue gak ngerti ya sama jalan pikiran lo. Bisa-bisanya tangan lo ringan banget hampir nampar muka orang. Gue maklumin kalau lawan lo cowok, lah ini cewek, bangsat!”
Di pertemanan mereka sudah dijelaskan sejak awal, dilarang keras menyakiti perempuan menggunakan fisik. Mereka menerapkan aturan untuk menghormati setiap perempuan. Semenyebalkan apapun perempuan yang mereka temui, pada dasarnya ia hanyalah makhluk lemah yang tetap membutuhkan perlindungan.
Jika ada yang berani melanggar aturan tersebut, maka orang itu harus diberi siraman kalbu sampai kapok. Tanpa terkecuali meski yang melakukannya adalah orang paling berpengaruh diantara mereka.
“Lo tau, Dip? Kelakuan lo barusan hampir ngerugiin diri lo sendiri. Lo hampir ngelanggar janji yang udah lo buat andai Sky gak dateng buat halangin.” Fabian ikut angkat bicara.
“Semarah apapun lo sama Aeli, kekerasan gak bisa jadi solusinya. Gue tau dia emang kampret karena udah bikin cewek lo masuk rumah sakit, tapi gak seharusnya lo balas perbuatan dia dengan cara yang sama.”
Mereka memang kompak dalam hal menceramahi. Kompak membuat kuping orang yang diceramahi panas bahkan terbakar.
“Dia bukan cewek gue.” Akhirnya Dipta membalas. Suaranya terdengar lemah.
“Terserah lo mau nyebut dia apa. Yang jelas tindakan lo ke Aeli tadi udah gak bisa ditoleransi, Dip. Sorry to say, tapi lo beneran udah ngecewain kita.”
Perkataan Fabian bikin Dipta semakin terpojok. Namun dia tak berniat membantah karena tahu yang hampir dia lakukan tadi memang sebuah kesalahan.
“Dengan lo hancurin makan siangnya aja udah salah banget. Apalagi sampai hampir nampar dia. Asal lo tau, setelah kepergian lo tadi, Aeli pingsan. Kata Sky penyakit maag-nya kambuh karena belum sempet makan sejak kemarin,” tutur Tirta.
Hati Dipta terasa diremas oleh sesuatu tak kasat mata. Sedetik dia sempat terkejut, namun tak ingin terlalu menampakkan karena gengsinya yang sudah mencapai langit ke tujuh.
“Emangnya tadi lo gak liat mukanya udah pucet banget tapi berusaha untuk tetep ladenin kemarahan lo?”
Gelengan Dipta menjawab pertanyaan Rey.
“Buta! Kita yang dari jauh aja bisa liat kalau Aeli lagi mati-matian nahan sakit, lah lo yang di depannya malah kagak tau. Damn you, dude!”
Dylan jika sedang kesal memang suka nge-gas. Sulit untuknya mengendalikan emosi seperti teman-temannya yang lain.
“Gue salah.” Dipta mengaku. Dia bahkan merasa ada sebuah penyesalan di lubuk hatinya yang terdalam. Jauh sebelum teman-temannya mengumbar siraman.
“Memang!” Dylan menyahut lagi. “Gimana pun caranya, setelah ini lo harus minta maaf sama Aeli. Buang gengsi lo jauh-jauh. Jangan cuma jadi pengecut yang berani berbuat tanpa berani tanggung jawab.”
Dipta sedikit tertohok dengan ucapan sahabatnya. Tapi dia juga enggan membantah. Dipta akan diam jika dirinya merasa salah dan akan melawan jika dia benar.
“Kayanya Sky bentar lagi nyampe, jangan sampai dia lihat dia debat kaya gini. Dan lo, perbaikin hubungan lo sama dia kalau pengen semuanya baik-baik aja,” tegas Fabian memperingati Dipta.
“Tapi serius, baru kali ini gue liat Sky masang muka kaya gitu. Bahkan tadi, dia keliatan khawatir banget pas Aeli pingsan.” Tirta berujar lagi. Mereka semua setuju dengan perkataannya, terkecuali Dipta yang enggan ikut campur dulu.
“Akhir-akhir ini gue juga udah curiga kalau Sky sama Aeli emang lagi deket. Kemarin kan Sky gak sengaja ninggalin HP-nya di ruang makan, tiba-tiba ada bubble chat dari Aeli.” Penjelasan Rey bikin mata mereka membelalak.
“Ebuset! Serius lo? Cepet banget si adek deket sama Nyai Ratu. Mana udah chatan segala. Adek lo pakai pelet apa sih anjir?” Dylan terkaget-kaget.
“Itu anak, pantesan udah jarang main game. Ternyata sekarang mainnya sama Aeli.” Fabian menggeleng-geleng.
“Kalah telak gue.” Tirta cemberut. Mendapat toyoran gratis dari Rey.
“Kalah telak mbahmu. Cewek lo aja udah se-kardus.”
“Beda dong, Bro. Mau cewek gue se-kardus, se-karung, se-truk pun bakal kalah sama yang speknya kaya Aeli. Dia itu udah paket komplit, minusnya cuma jutek.”
“Dan manisnya cuma sama Sky.”
“Aduh, jadi iri.”
Pada akhirnya, cowok-cowok itu galau bareng menyusul Dipta.
•••
Sudah hampir lima jam Aeli terkurung di ruangan gelap ini, namun sampai sekarang belum ada yang berniat untuk mengeluarkannya. Aeli yakin, Mahesa pasti sudah memperingatkan seluruh pekerja di rumah agar tidak membukakan pintu untuknya. Sampai Mahesa sendiri yang datang untuk membuka.
Mata Aeli sudah sangat sembab karena menangis tanpa henti sejak tadi. Dia masih bisa bernafas dengan baik hingga saat ini berkat penerangan dari ponselnya. Membiarkan cahaya menerangi ruang gelap penuh debu yang menjijikkan ini. Menatap kosong apapun yang terlihat di pandangan matanya sambil meletakkan dagu di lipatan tangan yang masih berada di atas lutut.
Mungkin tidak lama lagi, Aeli akan benar-benar berada dalam pekatnya gulita. Mengingat daya ponselnya hanya tersisa 5% saat ini. Memberontak minta dikeluarkan pun sudah tidak berguna, itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga.
“Eli kangen mama ....” Suara lirih Aeli mendominasi ruang sunyi ini. Terdengar begitu pilu dan menyedihkan.
Sekali lagi, air mata Aeli menetes tanpa dia inginkan. Memorinya memutar kenangannya di masa kecil. Di mana kala itu dia masih bisa bisa tertawa lepas tanpa beban bersama kedua orangtua yang sangat menyayanginya.
Hidup Aeli kecil jauh lebih berwarna. Ditambah hadirnya mama yang selalu memberinya kekuatan dan semangat. Aeli kecil persis seperti puteri istana di dunia dongeng. Dia selalu mendapat apapun yang dia inginkan dan hidupnya dipenuhi kasih sayang dari semua orang.
Hingga saat umur Aeli menginjak usia ke delapan, dia menerima kenyataan pahit yang tidak pernah dia bayangkan akan menjadi akar penderitaannya kini.
Kala itu, Mahesa pulang ke rumah bersama seorang wanita dan seorang gadis kecil polos yang setia menggenggam erat tangan ibunya. Pertama kali melihat mereka Aeli merasa sangat senang. Mengira wanita itu adalah teman ayahnya. Aeli juga senang kala mendengar bahwa mereka akan tinggal bersama, itu artinya Aeli akan memiliki teman bermain.
Namun melihat mamanya tiba-tiba menangis, Aeli kecil kebingungan. Tangan mungilnya menyentuh tangan mama dengan wajah polos. Hingga sederet kalimat yang keluar dari mulut Mahesa sukses besar menghancurkan ekspektasi indah yang Aeli punya sebelumnya.
“Shila istri saya dan Claudia putri saya, lalu apa hak kamu melarang mereka tinggal di rumah saya?”
Butuh beberapa saat untuk Aeli kecil memahami kalimat dengan nada kesal itu. Hingga dia menemukan jawaban bahwa dua orang yang Mahesa bawa adalah ibu serta adik tirinya sekaligus penghancur rumah tangga orangtuanya.
Sejak saat itu, Aeli tidak dapat lagi memandang semuanya dari sudut pandang yang sama. Setiap melihat wajah Ashila dan Claudia, Aeli merasakan kebencian yang besar. Padahal sebelumnya, Aeli bahkan tidak tahu apa definisi dari kata benci.
Semakin hari Mahesa semakin jauh darinya, mama mulai sakit-sakitan dan enggan melihatnya. Aeli kecil merasa terpojok. Tidak ada yang benar-benar bisa dia ajak bicara di rumah ini.
Seluruh perhatian Mahesa hanya ditumpahkan ke Claudia, tanpa sedikit pun memikirkan perasaannya. Untuk kali pertama, Aeli merasakan sakit hati yang teramat hingga membuat dadanya terasa sesak.
Mahesa bahkan menggelar acara ulang tahun Claudia yang ke tujuh dengan sangat meriah di saat mama sedang sakit keras. Mereka bertiga tampak sangat bahagia. Seolah melupakan keberadaan Aeli atau memang sengaja tidak ingin menganggapnya ada sama sekali.
Aeli kecil menatap nanar kebahagiaan keluarga harmonis itu. Dia benar-benar merasa seperti orang asing yang tak dibutuhkan. Aeli mengeratkan remasan pada dress putihnya, berlari menuju kamar mama dan berharap mendapat pelukan hangat.
Namun apa yang Aeli dapat lagi-lagi tidak sesuai dengan harapan. Mama mengusirnya, melempar tatapan penuh benci bahkan membentaknya. Di detik yang sama mama langsung kesetanan dan menghancurkan semua barang di sekitarnya. Mama berteriak sangat kencang hingga membuat Aeli menutup telinga.
Aeli mundur perlahan, tubuhnya gemetar ketakutan. Tepat di depan mata, Aeli melihat mama dengan sengaja menggoreskan pecahan kaca ke pergelangan tangan. Aeli terduduk lemas begitu melihat mama jatuh tergeletak dengan darah yang terus mengucur deras.
Saat itu Aeli merasa dunianya sudah berakhir. Dia hanya bisa terpuruk di balik pintu kamar, menangis sendirian dengan balutan dress hitam di tubuhnya. Kepergian mama ternyata merupakan malapetaka paling besar bagi Aeli.
Aeli sama sekali tidak pernah membenci mama sekasar apapun perilaku wanita itu padanya. Karena Aeli tahu mama tidak pernah benar-benar membencinya seperti Mahesa. Aeli selalu meyakinkan diri bahwa apa yang mama lakukan pasti punya alasan tersendiri.
Sayangnya, Mahesa malah menyalahkan Aeli dan terus memojokkannya akibat kepergian mama hingga dia merasa semakin kecil. Setiap hari dia terus mendapat bentakan dan dipaksa menghadapi amarah ayahnya.
Karena terlalu murka, Mahesa pernah mengurung Aeli di dalam ruang gelap, sempit dan pengap selama berjam-jam. Dari situlah trauma Aeli muncul. Setiap berada di ruangan gelap Aeli pasti merasakan sesak dan nafasnya seperti tersendat-sendat.
Psikis Aeli sedikit demi sedikit mulai tergoncang, perlahan dia menarik diri dari lingkungan sosial. Menjauhi semua teman-temannya di sekolah dan tak membiarkan mereka berbicara dengannya. Aeli membatasi interaksi dengan siapapun, dalam bentuk apapun.
Keadaannya membuat Aeli tidak berani membuka diri. Sifat periangnya hilang, tidak ada lagi senyum manis yang selalu dia ukir, tatapan penuh kekaguman dan sifat ramahnya pada semua orang, musnah tak bersisa.
Kini hanya ada Aeli yang suka berbuat semaunya, pemberontak, kasar, suka membentak, dan senang melihat orang lain sengsara karenanya. Namun pada dasarnya semua itu hanyalah sebatas topeng yang Aeli pasang untuk melindungi diri.
Dirinya yang asli masih ada, berada sangat jauh dari jangkauan. Terkadang hanya muncul di saat-saat tertentu. Dengan orang-orang tertentu pula.
...•••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Erni Fitriana
😭😭😭😭😭😭😭😭keep stong aeli...keadaan pasti membaik
2023-09-02
0