...•••...
Dipta Prahardja.
Dia memiliki pembawaan yang tegas namun dingin. Raut datar dan tatapan tajam menjadi ciri khasnya. Jika Aeli dijuluki ratu bully, maka Dipta adalah rajanya. Namun dalam konteks pembahasan yang berbeda.
Dipta sama sekali tidak pernah membully. Dia hanya berlaku kasar pada manusia yang berani menyenggolnya duluan. Namun julukan itu diberikan untuknya karena tidak ada seorang pun yang berani mencari masalah dengannya jika ingin hidup tenang.
Juga, karena visual Dipta dan Aeli terlalu cocok jika disatukan. Maka terlahirlah julukan raja dan ratu untuk dua manusia kampret itu. Padahal pada kenyataannya, mereka berdua hanya sebatas dua orang asing yang tak saling mengenal.
“Malam itu bukannya lo jalan sama Naya? Kenapa tadi malah jadi suap-suapan sama Rista?” Fabian mengajukan tanya pada lelaki bersurai coklat yang duduk di sampingnya.
Yang ditanya malah tersenyum miring, wajahnya tampak menantang dan membuat tangan teman-temannya jadi gatal ingin menonjok. “Salahnya di mana?” tanya Tirta balik.
“Gue nanya! Tinggal jawab aja susah bener.”
“Gue bingung harus ngasih jawaban apa. Soalnya ... mereka berdua kan cewek gue.”
Fabian, Dylan, Rey, maupun Sky sempat terkejut mendengar jawaban Tirta. Bahkan Dipta yang sejak tadi fokus bermain ponsel pun ikut menoleh.
“Anjrit maruk amat,” cetus Dylan.
“Lo lagi cosplay jadi asrama cewek apa, Tir? Heran gue,” sahut Rey.
“Kenapa deh? Mereka aja gapapa malah kalian yang sewot.”
“Mikirlah cok. Mereka itu cewek, punya—”
“Kalau cowok gay dong gue,” sela Tirta memotong taklim Dylan. Otomatis kepalanya langsung ditoyor oleh cowok berwajah bule tersebut.
“Gue tau lo bego, Tir. Tapi segala goblok, tolol, maruk, gak tau diri ya gak usah lo embat semua,” kata Fabian asal.
“Lo kalau mau ngebuaya juga liat-liat situasi lah, Tir. Masa punya pacar dua tiap makan di kantin selalu minta bayarin Dipta.” Rey menyeplos. Salah Tirta sendiri jadi cowok tidak tahu diri. Pamer punya pacar dua pula.
“Minimal bayar sendiri dong. Ya gak?” Dylan dan Rey bertos ria.
“Ngaca lo berdua. Emang cuma gue yang minta bayarin makan sama si Bos? Minimal sadar diri lah,” balas Tirta seraya memutar bola mata.
“Beda konteks, Bro. Kalau lo kan minta dibayarin, kalau kita-kita kan EMANG dibayarin. Mau apa lo?” Rey memasang raut menantang.
Melihat perdebatan saudara serta teman-temannya, Sky terkekeh pelan. Cowok yang sedari tadi sibuk bermain game di ponsel itu menggeleng-geleng. Jujur saja, perdebatan mereka itu sudah jadi makanan sehari-hari Sky saat berkumpul dengan mereka.
“Kalau sama-sama doyan gratisan mah mending gausah debat.” Sky ikut menyeplos.
“Si adek sekali nyaut bikin darah gue naik, suer.” Dylan menutur.
“Gimana ya, Sky? Sebenarnya gue pengen banget gitu ngebantah cocot lo barusan, tapi kenapa kaya ada yang nahan gue, ya? Lo pakai jin?” todong Tirta.
“Jin tompel?”
“Jin tomang elah.”
“Yang bener tuh jin teko,” kata Fabian ikut-ikutan.
“Gue pakai jin botol sih,” balas Sky sesukanya.
“Jadi itu rahasia ganteng campur imut lo selama ini? Kenalin jin botol lo dong, Sky.”
Pembahasan mereka berlima kadang memang benar-benar unfaedah. Bahkan sampai melencong jauh dari tema awal. Dan seperti biasa, Dipta tidak mungkin menyahut jika dirasanya tidak ada yang penting. Lebih tepatnya sih, malas ngomong. Jika ada lomba diam-diaman, mungkin Dipta lah pemenangnya.
“Eh Sek, lo dari tadi ngerasa diperhatiin nggak, sih?” Dylan bertanya pada Sky. Belum sempat Sky menjawab, Tirta menyahut duluan.
“Sak sek sak sek. Minimal Kay kek apa kek. Milih nama panggilan jelek bat dah lu.”
“Kan nyesuaiin muka,” sahut Fabian. Cowok itu kalau bicara memang bikin nyeri di ulu hati. Jangan heran.
“Ini yang lagi lo hina muka si Bulan, kan? Otak gue lemot btw.”
“Pake nanya. Kalau gue hina muka Sky terus muka gue kek apa dong?”
“Dylan, anjing!” cetus Dylan emosi karena namanya diubah seenak jidat oleh Rey.
“Iya-iya tau kok lo anjing. Gausah diperjelas.”
Sebelum Dylan darah tinggi terus innalillahi, mending dia fokus pada topik bahasan. “Dari tadi si Nyai Ratu liatin arah sini mulu noh. Buta lo pada?”
Perkataan Dylan bikin para cowok tadi menoleh ke arah seseorang yang dimaksud. Bukannya salah tingkah atau sekadar memalingkan muka, Aeli malah memasang senyum yang bikin mereka bingung sendiri. Ini kali pertama mereka melihat seorang Aeli tersenyum manis seperti itu, ke arah mereka pula.
“Buset, Nyai Ratu tumben amat noleh ke sini? Kirain dia gak tau kita hidup.” Rey menyeletuk.
“Terpesona sama ketampanan gue kayanya.” Tirta mulai narsis. Maklum, kaum playboy junior alias playboy kelas bawah memang suka tidak tau diri.
“Nyai Ratu juga pilih-pilih kali mau terpesona sama siapa.” Fabian memutar bola mata.
Mereka memang lebih sering memanggil Aeli dengan sebutan 'Nyai Ratu'. Tidak ada alasan mendasar, hanya sekedar iseng-isengan saja karena Aeli dijuluki ratu bully oleh hampir seantero Flourst.
“Kayanya bukan liatin si adek dah, tapi liatin Dipta. Yakin sejuta persen gue.”
Dipta yang disebut namanya otomatis menoleh, keningnya mengerut tipis melihat seorang Aeli masih menatap ke arahnya. Entah tengah menatap dirinya atau Sky yang kebetulan duduk di sebelahnya.
“Roman-romannya couple idola bakal berlayar nih.”
Perkataan Fabian bikin Dipta memutar bola mata. “Halu.”
“Jangan lupa traktirannya, Bos.” Rey nyengir kuda.
“Dia kenal lo, Dek?” Dylan masih penasaran dengan arah tatapan Aeli yang tampak tertuju ke Sky.
Sky yang sudah kembali fokus pada ponselnya mendongak sekilas, menyahut. “Nggak tau. Tapi waktu itu pernah nggak sengaja tabrakan di koridor.”
“Aeli? Lo tabrakan sama dia? Kok bisa?” Pertanyaan Fabian sekaligus jawaban Sky membuat mereka terkejut.
“Pas gue dari toilet mau ke kelas, di koridor tiba-tiba dia muncul. Nggak keliatan sih, jadinya nabrak.”
“Serius?” tanya Rey. Sky mengangguk.
“Dia ngamuk nggak?” Dylan bertanya lagi.
“Enggak. Kenapa emangnya?”
“ENGGAK?!” Mata mereka membelalak serempak.
Sky mengedip dua kali. Bingung melihat respon berlebihan empat sahabatnya.
“Bisa-bisanya. Gak salah tuh orang? Lo sembur pakai mantra apa bisa jinak?”
Sky akhirnya mengerti yang Dylan bicarakan. Memang hampir setiap hari sih dia melihat Aeli marah-marah di kantin saat ada murid yang tidak sengaja berbuat salah padanya. Tetapi Sky tidak terlalu memperhatikan. Game di ponselnya jauh lebih menarik. Lagipula di Flourst, keributan, perundungan, dan sejenisnya sudah tidak mengejutkan.
“Tumben amat yak si Nyai kagak ngamuk. Biasanya ada yang nyentil dikit langsung cosplay jadi barongsai,” kata Rey. Langsung disetujui oleh teman-temannya.
“Kalau nggak ngamuk berarti ada yang gak beres nih. Wah, gue curiga.” Mata Tirta menyipit menatap Aeli.
“Terus kalian ada ngomong apa-apa gitu?” tanya Dylan pada Sky. Penasaran.
Sky yang masih menatap HP miringnya mengangguk. “Ada. Tapi cuma sekedar permintaan maaf.”
“Dari Aeli?” kejut Dylan.
“Gue lah. Kan gue yang nabrak.”
“Oalah. Kirain. Bisa gempar gila nih gedung kalau sampai Nyai Ratu yang minta maaf.”
“Kenapa gitu?” Sky bertanya.
“Ya iya lah, Sky. Secara Aeli itu kan kang bully. Kelakuan dia kampret banget. Terus tiba-tiba dia ngucap kata maaf, aneh banget coy!” Fabian menjelaskan.
Jika tidak terlalu sering mendengar cerita teman-temannya tentang Aeli, mungkin Sky tidak tahu jika Aeli adalah murid terkenal yang memiliki citra kurang baik di sekolahnya.
Baginya, julukan ratu bully yang diberikan murid-murid lain kepada Aeli sama sekali tidak mempengaruhi pandangannya. Mungkin Aeli memiliki attitude yang buruk dan sering merugikan orang banyak, tetapi itu tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai seseorang, bukan?
“Apa karena itu ya dia ngeliat ke sini mulu? Terpesona sama lo? Ah masa sih nggak karena terpesona sama gue?”
Pertanyaan Tirta bikin tangan Dylan gatal dan langsung menggeplak temannya itu. Tingkat pede-nya ternyata sudah tidak bisa ditolerir.
“Kayanya dia kepincut sama lo dah,” kata Rey.
“Gue?” Sky menyahut.
“Ho'oh. Tapi masa iya? Kalau bener sih, tuh cewek seleranya bener-bener di luar nurul.”
“Nalar, goblok.” Fabian membenarkan. Dibalas jempol oleh Tirta.
“Aneh yak. Baddas gitu sukanya yang lucu-lucu.” Dylan mengimbuhi. Oh ya, lupakan Dipta yang sejak tadi sudah memasang earphone dan fokus bermain ponsel. Benar-benar tidak ada niat nimbrung dalam pembahasan.
“Siapa yang lucu?” Sky bertanya lagi. Bikin teman-temannya gemas sendiri.
“YA ELO KAMPRET!” Mereka berempat kompak bersorak.
...•••...
Saking buruknya citra Aeli di sekolah ini, setiap ada murid yang kebetulan berpas-pasan dengannya pasti memilih putar balik. Bukan apa-apa, mereka hanya tidak ingin berurusan dengan iblis berparas bidadari itu. Meski Aeli tidak minat bertingkah, dia tetap nampak menakutkan di mata mereka.
Aeli terlalu berbahaya. Daripada hidup mereka menjadi tidak tenang, lebih baik mundur di awal. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti gadis yang kini duduk bersimpuh di depan Aeli dengan wajah penuh air mata.
Yang paling menarik perhatian adalah raut Aeli yang tampak tak menaruh simpati atau belas kasihan. Wajahnya tetap datar, tatapannya sedingin salju yang siap membekukan.
“Sampai kapan lo mau duduk di situ? Gue cuma nyuruh lo sujud di kaki gue.”
Perkataan itu meluncur dari bibir indah Aeli. Seantero Flourst tentu tahu Aeli memiliki riwayat hubungan yang kurang baik dengan Claudia. Tetapi siapa sangka jika buruknya hubungan itu bisa menjadi akar perundungan tanpa ujung yang dialami seorang Claudia Ardani.
“Jangan buang waktu gue, Clau. Sujud atau gue bikin lo lebih parah dari ini.”
Ucapan dingin Aeli membuat semua orang yang berada di sana diam tak berkutik. Mereka menatap Aeli, kemudian menatap kasihan ke arah Claudia. Mereka tidak tahu pasti apa yang membuat Aeli begitu marah sampai merundung Claudia lagi.
Sebenarnya banyak orang yang tidak suka dengan kelakuan Aeli. Tetapi mana berani mereka menghujat gadis itu terang-terangan. Cukup dalam hati jika ingin aman di tempat.
“M-maaf, Kak. Aku sama sekali nggak bermaksud buat—”
“Gue gak butuh alasan lo. Gue cuma mau lo sujud, sekarang.” Nada bicara Aeli menjadi semakin tegas. Jika diperhatikan pun tatapannya menjadi semakin tajam dan nyalang.
Claudia terisak dalam diam. Sikapnya yang lemah dan rapuh persis seperti karakter protagonis pada umumnya. Gadis itu tidak berani melawan, dirinya tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu. Apalagi yang berdiri di depannya sekarang adalah Aeli, orang paling ditakuti hampir seluruh murid Flourst.
“Sujud, Clau.” Aeli semakin geram saat Claudia hanya diam tanpa bergerak. “Lo harus minta maaf sama kesalahan yang udah lo perbuat.”
“A-aku udah minta maaf, Kak.”
“Lo tau? Cara minta maaf kaya gitu tuh udah mainstream banget. Gue gak suka.”
Claudia dilema. Dia tidak berani membantah ucapan Aeli, tetapi dia juga tidak ingin sujud di kaki gadis itu. Namun jika Claudia tidak melakukan apa yang Aeli minta, sudah bisa dipastikan Aeli akan bertingkah lebih gila.
Perlahan, Claudia membungkukkan tubuhnya ke kaki Aeli. Melihat itu, senyum miring tersemat di bibir sang empu. Dia puas melihat musuh besarnya kalah telak. Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama.
Ekspresi Aeli berubah total begitu melihat Claudia ditarik oleh seseorang hingga menjauh. Yang cukup menarik perhatian adalah pelakunya. Murid-murid yang berkumpul pun memasang ekspresi tidak jauh berbeda dari Aeli. Mereka sama terkejutnya. Namun dengan cepat ekspresi Aeli berubah.
“Pahlawan kesiangan? Atau pahlawannya kesiangan?” Aeli menyeletuk. Tatapan datarnya bertabrakan dengan mata elang Dipta. Sayang, Aeli sama sekali tidak terusik dengan tatapan itu.
“Ah, ini ceritanya lo lagi ngikutin alur novel, ya? Muncul tanpa diundang kaya setan, nyelamatin si tokoh lemah biar disebut heroin. Gitu?”
Ini kali pertama murid Flourst melihat Aeli dan Dipta berhadapan secara langsung. Ternyata jika disatukan, visual mereka memang serasi. Pantas saja banyak yang men-ship-kan keduanya. Aura main character benar-benar terasa sangat kental.
“Impressive. Gue nggak nyangka bisa liat kejadian murahan gini langsung di depan mata gue. Ternyata ... euh, cringe banget.”
Dipta belum bersuara. Tangannya masih setia menggenggam tangan Claudia yang kini bersembunyi di belakangnya. Gadis itu tampak sangat ketakutan sampai tidak berani menatap Aeli.
“Clau, gue nggak tau lo bisa jadi selemah ini. Lo lagi caper atau apa?” tanya Aeli. Matanya menelisik ke arah Claudia tetapi terinterupsi oleh perkataan Dipta.
“Dia bukan budak yang bisa lo perintah seenaknya.” Dipta mengucapkannya dengan tegas, memancing kekehan dari mulut Aeli.
“Ternyata ngomong sama lo nyeremin juga, ya? Aura lo persis arwah gentayangan soalnya.”
“Gausah banyak basa basi. Kalau sampai gue liat lo masih gangguin Claudia ....” Dipta menghentikan perkataannya, maju selangkah mendekati Aeli. Meneliti setiap inci wajah meremehkan gadis di depannya ini dengan lamat.
“Lo bakal tau akibatnya.”
Kalimat itu sukses bikin Aeli tertawa terpingkal-pingkal. Menggelikan sekali mendengar ucapan Dipta barusan. Rasanya, Aeli sampai ingin guling-guling ke tanah saking lucunya. Murid-murid lain sekaligus Dipta tentunya heran dengan respon gadis itu.
Sejurus kemudian Aeli menghentikan tawanya dan merubah ekspresi wajah hanya dalam satu kedipan. Kini, dia menatap Dipta dengan senyum miring dan tangan yang sengaja disilangkan di depan dada.
“Ceritanya gue lagi diancem nih? Respon paling bagus kira-kira gimana ya, Dip?”
Semakin lama meladeni Aeli hanya akan memancing emosi Dipta saja. Selama ini dia selalu menghindari apapun yang berkaitan dengan Aeli karena dia tahu, perempuan itu terlalu menyebalkan untuk dihadapi. Dipta sadar dirinya tidak sesabar itu. Sayangnya, kali ini Dipta terpaksa berurusan dengan Aeli, alasan utamanya adalah Claudia.
“Ternyata gini jadinya kalau Raja dan Ratu Flourst adu bacot. Yang satu kebanyakan ngomong, yang satu kebanyakan diem. Gak seimbang bat dah.” Fabian geleng-geleng.
Sejak tadi Fabian, Rey, Tirta, Sky, dan Dylan setia menyaksikan apa yang terjadi antara tiga manusia yang berada tidak jauh dari mereka. Memang, interaksi antara Dipta dan Aeli adalah hal yang paling dinantikan. Sayangnya bukan dalam keadaan seperti ini.
“Kalau diliat-liat si Nyai sama Dipta emang cocok sih. Gue bisa bayangin gimana kalau mereka sampai beneran jadian.”
Perkataan Dylan dibalas anggukan oleh Rey. “Udah kebayang sih si Aeli bakal seberisik apa tapi Dipta-nya cuek-cuek aja.”
“Dipta tuh butuh pasangan yang bisa ngelengkapin kurangnya dia. Yang paling memenuhi kriteria ya Aeli.” Dylan berujar sok tahu.
“Mereka cocok kan, Dek?” tanya Dylan yang tengah merangkul Sky.
Sky menoleh, menatap ke arah Dylan lalu mengarahkan pandangannya ke Aeli dan Dipta. Mengangguk setuju. “Cocok,” balas Sky seadanya.
“Kalian kayanya salah pembahasan deh. Jelas-jelas di sana Dipta lagi lindungin Dia, kenapa malah ship-in Dipta sama Aeli?” sahut Tirta tidak habis pikir.
“Kita cuma lagi cocok-cocokan. Pribadi lemah lembut dan pendiem kaya Claudia itu kata gue sih kurang feel kalau disatuin sama Dipta.” Dylan menjelaskan.
“Kurang seru juga,” imbuh Rey.
“Visualnya juga kurang oke.”
“Gue masih gak habis pikir, bisa-bisanya si Dipta milih hadepin Aeli cuma buat lindungin Claudia.” Perkataan Fabian langsung dibalas oleh Rey.
“Gimana nggak? Orang si Claudia sekarang babunya dia. Dipta kan cuma lagi menjalankan kewajiban sebagai majikan yang baik.”
“Babu?” Sky bertanya bingung.
“Yoi. Lo belum tau, kan? Dipta udah bikin kontrak sama Dia. Selama sebulan Dia wajib ngikutin semua omongan Dipta, balasan karena kemarin Dia bikin salah. Timbal baliknya, Dipta juga bakal selalu lindungin Dia. Nggak tau deh gue gimana pikiran temen lo itu.”
Sky diam setelah mendengar penjelasan Rey. Tampaknya dia terlalu sibuk dengan dunianya sampai tidak mengetahui berita seperti ini.
Kadang apa yang mereka bicarakan hanya dianggap angin lalu oleh Sky. Gampangannya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Saking random-nya pembahasan mereka sampai Sky pun kadang malas ikut andil.
“Gue nggak pernah main-main sama ucapan gue.” Suara Dipta terdengar tegas. Memperingati Aeli bahwa dirinya tidak sekedar bicara.
“Oh ya? Sayangnya gue gak peduli.” Aeli maju selangkah, mendongak menatap Dipta yang lebih tinggi dari dirinya. Tersenyum picik. “Karena gue gak punya alasan buat dengerin omongan lo. Dan, siapa lo berani merintah gue?”
“Keluarga bukan, kerabat bukan, pacar juga bukan. Terus, kenapa gue harus dengerin omongan lo, hm?”
“Gue rasa lo cukup pinter buat bedain mana perintah mana peringatan,” balas Dipta tak kalah sengit. Claudia yang berlindung di belakangnya benar-benar tidak berani berkutik.
“Karena gue cukup pinter makanya gue nyimpulin omongan lo barusan adalah perintah.” Aeli menyeringai.
“Dipta, seharusnya kalau lo belum siap mental jangan coba-coba muncul di depan gue. Kasian kan lo-nya malah malu sendiri.”
Dipta menyunggingkan senyum miring. Sama sekali tidak terusik dengan ucapan sarkas yang Aeli lontar.
“Seharusnya lo yang malu. Beraninya ngejatuhin mental orang.”
“Apa bedanya sama lo?”
“Jelas beda. Gue ngelakuin sesuatu punya alasan.”
“Tetap aja konteksnya nge-bully.” Aeli menekan kalimatnya.
“Lo sadar juga ya ternyata kelakuan lo termasuk tindak bullying. Terus lo bangga?”
“Bangga dong. Gak semua orang bisa ngebully.” Aeli tersenyum penuh kemenangan.
“Wow, speechless gue.” Dylan terkaget-kaget.
Dipta berdecih, menatap Aeli dengan tatapan yang jauh berbeda dari sebelumnya. “Poor you, Aeli.”
Setelahnya, Dipta kembali menggandeng tangan Claudia dan membawa gadis lemah itu menjauh dari sana. Aeli menatap kepergian mereka dengan delikan tajam. Senyum yang dia pasang sedetik lalu musnah tak bersisa.
“Poor me?” Gadis itu terkekeh sinis. Dia merasa direndahkan dengan ucapan Dipta barusan.
Dalam sekejap Aeli kembali mengubah ekspresinya hingga membuat murid-murid lain meneguk ludah. Sosok Aeli benar-benar menakutkan jika sedang marah. Sepertinya mereka harus berpikir seribu kali sebelum memutuskan berurusan dengan gadis itu.
“Lo berani ikut campur urusan gue, berarti lo udah ngibarin bendera perang.”
...•••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Erni Fitriana
weis berasa jadi aely nih saya🤪🤪🤪🤪🤪
2023-08-21
0
Codigo cereza
Asik banget bisa nemuin karya yang apik seperti ini.
2023-08-14
0