twelve

...•••...

“Woi! Mau ke mana lo?”

Mendengar panggilan Clara, Aeli yang baru akan keluar kelas terpaksa menghentikan langkah. Gadis itu memutar bola mata malas, berbalik badan.

“Nyari Sky!”

Karena Aeli menjawab cukup lantang, alhasil ucapannya di dengar murid-murid sekelas. Mereka yang tadinya berisik, grasak-grusuk, heboh, mendadak hening. Kegiatan di kelas itu berhenti selama beberapa saat dengan mata yang menyorot lekat ke arah Aeli.

“Lo kayanya gak bisa diem sebentar di kelas, ya? Baru juga bel langsung ngacir aja, bocah!” Clara mengomel.

“Up to me.”

Aeli berbalik badan dan langsung mematri langkah meninggalkan ruangan. Menulikan telinga tanpa mengindahkan omelan Clara yang masih menggema.

Murid-murid sekelas pun mulai berbisik membicarakan Aeli. Segudang pertanyaan mengendap di otak mereka masing-masing.

“Rumor yang bilang Aeli sama Sky pacaran ternyata bener, ya? Gue kira hoax, coy!”

“Asli, kagak nyangka banget ternyata Aeli bisa deket sama lawan jenis. Kirain dia sukanya sama yang sejenis.”

“Cocot lu kalau ngomong suka ngasal.”

“Gimana enggak sih? Kalian semua tau kan selama ini si Aeli kayanya anti banget deketan sama cowok? Terus sekarang malah deket sama Sky. Wow, di luar kamar.”

“Padahal gue shipper garis keras Tali loh, eh Aeli malah deket sama temennya.”

“Kalau sama Dipta mah tiap ketemu berantem mulu.”

Yang lainnya mengangguk setuju. “Pembahasannya pun pasti gak jauh-jauh dari adek tiri si Aeli.”

“Dipta kan suka nggak terima gebetannya dibully.”

“Dipta tuh cocoknya sama Aeli loh sebenarnya. Visualnya ... wao! Kalau Aeli sama Sky kan, kek apa ya? Adek kakak?”

“Sky juga oke kok. Malahan kata gue mereka cocok banget. Yang satu kalem, yang satu kelam.”

Mereka ngakak.

“Siapa yang kelam?”

Waduh, prajuritnya muncul.

Mereka semua spontan menutup mulut begitu suara Clara mengintrupsi. Bella, gadis yang tadi berujar membuat tanda peach di tangannya.

“Gue yang kelam, iya gue.”

Clara menyipitkan mata, membuat Bella meneguk ludah takut. Setelahnya, Clara berlalu keluar kelas. Rencananya ingin menghampiri kelas kekasihnya daripada gabut ditinggal Aeli.

Di sisi lain, Aeli celingukan kala sampai di depan kelas Sky. Mengintip dari samping tembok, meneliti satu persatu manusia yang ada di dalam sana. Sayangnya hanya tinggal beberapa orang saja. Mungkin Sky dan teman-temannya sudah ngacir duluan menuju kantin.

Aeli benar-benar ingin menemui cowok itu sekarang, mengingat kemarin dirinya tidak mendapati Sky di kantin bersama teman-temannya yang lain. Sudah empat hari mereka tidak bertatap muka secara langsung karena Aeli sempat libur selama tiga hari. Hanya aktif bertukar pesan.

Aeli memutuskan menyusul ke kantin. Pandangannya mengedar menyapu setiap penjuru kantin, memusatkan fokus pada satu titik tempat cowok itu biasa berkumpul. Sayangnya, nihil. Bahkan Dipta dan yang lainnya pun tidak terlihat batang hidungnya sama sekali.

“Pada ke warung belakang apa yak? Masa gue susulin aja?” Aeli bermonolog. Menimang-nimang keputusannya.

“Kak Aeli!” panggil seseorang mengejutkan Aeli secara tiba-tiba. Dia menyentuh dada begitu mengetahui siapa yang mengejutkannya barusan.

“Lo sengaja banget ya mau bikin gue mati muda,” ketus Aeli. Manusia itu malah nyengir kuda.

“Hehe sorry, Kak. Kirain Kak Aeli gak bakal kaget,” tutur Tiffany. Aeli berdecak kecil, kembali menyorot ke dalam kantin. Tiffany yang penasaran mengikuti arah pandang kakak kelasnya itu.

“Liatin apa sih, Kak? Lagi cariin orang, ya?”

Selain berisik dan cerewet, ternyata gadis ini termasuk populasi manusia yang super duper kepo. Sangat berbanding terbalik dengan Tiffany yang Aeli temui di perpustakaan kemarin. Entah sejak kapan gadis ini berani sok asik padanya.

“Hm,” balas Aeli. “Oh ya, salinan yang lo minta udah gue bawa. Ada tuh di kelas.”

“Wah, cepet banget. Makasih ya, Kak. Nanti pas pulang sekolah aku ambil ke kelas Kakak.”

Aeli mengangguk mengiakan.

“Kakak lagi cariin siapa sih?” Tiffany masih gencar bertanya.

“Mau tau?”

“Mau lah.”

“Inisialnya, M.”

“M siapa?”

“Mermet.”

Tiffany berdecak, memutar bola mata malas. Tidak sopan sekali bocah ini.

“Nggak monyet aja sekalian? Dasar Kak Aeli.”

Mendengar kata monyet, Aeli tiba-tiba teringat dengan Gita. Entah bagaimana perasaan monyet itu ditinggal olehnya beberapa hari ini. Gita kangen dengannya tidak, ya?

“Jangan bilang Kak Aeli lagi nyariin kak Sky? Oh atau kak Dipta?” Tiffany menerka-nerka.

“Kok tau?”

Tiffany terkejut, tampak dari matanya yang melebar. “Jadi bener Kak Aeli nyariin kak Dipta?!”

“Bukan Dipta-nya elah!”

“Oalah, Kak Sky?”

“Ya itu deh. Lo tau dia di mana?”

Bukannya langsung menjawab, Tiffany malah menyeletuk. “Wah, kayanya Kak Aeli beneran kepincut sama kak Sky, ya? Huh, untung aja aku udah mundur duluan.”

Mata Aeli mengerjap beberapa kali mendengar penuturan Tiffany. “Maksud lo?”

“Kak Aeli jangan marah tapi, ya?” Aeli tak merespon. “Sebenarnya aku juga sempet tertarik loh sama kak Sky. Soalnya dia tuh imut banget. Lucu, gemesin gitu pokoknya. Kalau senyum kaya koala, ih gemes deh.”

Aeli manggut-manggut. Ternyata penilaian mereka sama. “Malahan, aku udah sempet deketin dia.”

Mata Aeli membelalak.

“Tenang-tenang. Aku udah pindah haluan kok. Sekarang inceranku bukan kak Sky lagi, tapi ketos.” Tiffany mengumumkan dengan bangga.

“Soalnya kak Sky cuek sih. Di chat aja balasnya lamaaaaaaaa banget. Mana isinya pendek lagi. Kalau gak iya ya oke doang.”

Aeli teringat pesannya dengan Sky. Cowok itu selalu menanggapi pesan yang dia kirim dengan kalimat yang setara, tidak terkesan cuek sama sekali. Tidak ngaret juga kalau membalas.

“Pernah sekali aku caper di deket dia, pura-pura jatuh biar ditolongin. Eh, cuma dilirik doang, orangnya malah sibuk main HP. Mana aku diketawain temen-temennya lagi. Apes banget aku.” Gadis berkaca mata itu cemberut.

Memori Aeli kembali berputar saat Sky menolongnya membawa buku ke perpustakaan. Bahkan membela-belakan menyusulnya kala itu. Bibir Aeli berkedut kecil menahan senyum. Mendadak dirinya merasa diistimewakan.

“Aku sebagai cewek yang masih punya harga diri ya akhirnya ngikutin kata tukang parkir. Taunya sekarang malah kepincut sama ketos.”

“Udah jadian sama si ketos?” tanya Aeli.

“Hehe belum. Ini aja aku masih proses berjuang. Tapi untung aja orangnya ramah, kayanya peka juga. Beda banget sama kak Sky, keliatannya doang ramah, lucu, seru. Eh pas dideketin kaya es batu.”

Pengen sekali Aeli berteriak di telinga Tiffany bahwa Sky tidak pernah bersikap seperti itu padanya. Namun sepertinya berteriak di telinga Clara akan jauh lebih menyenangkan.

“Oh ya, Kakak tadi nyariin kak Sky, kan? Kayanya dia di ruang musik deh. Kalau kak Dipta sama yang lain ngacir ke warung belakang buat asep-asep.”

“Sky kok nggak ikut?”

“Loh Kakak nggak tau? Kak Sky kan nggak ngerokok, jadi males gabung. Kayanya sih, gak tau juga.”

Aeli sudah tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Lantas tanpa babibu gadis itu segera berlari untuk menemui Sky. Meninggalkan Tiffany yang kini geleng-geleng menatap kepergiannya.

“Orang bisa jadi beda banget ya kalau udah jatuh cinta?”

Sesampainya di depan ruang musik, Aeli berjinjit agar dapat melihat siapa yang berada di dalam lewat jendela kaca. Nihil, tidak ada siapapun di sana.

“Ini gue dikibulin ama sepupu si Clara apa gimana, sih?” Aeli menyeletuk kesal. “Apa Sky-nya udah ngacir?”

“Aeli.”

Suara itu mendominasi dari belakang Aeli. Buru-buru sang empunya berbalik dan seketika mata yang tadinya layu langsung berbinar. Bibir indah itu tanpa sadar mengukir senyum cerah.

“Sky, gue dari tadi cariin lo.” Aeli memberitahu.

“Saya juga barusan ke kelas kamu. Saya pikir kamu nggak masuk lagi.” Sky ikut memberitahu.

“Lo nyariin gue di kelas?!” Aeli melotot kaget.

“Iya. Apa saya bikin kamu nggak nyaman?”

Aduh, bukan masalah nggak nyaman ini mah. Masalahnya Aeli terlalu terkejut sampai tidak bisa mengontrol rautnya yang mungkin terlihat menakutkan sekarang.

“Nggak, nggak.” Sebenarnya Aeli ingin berteriak kencang saking senangnya mengetahui fakta bahwa Sky juga mencari dirinya.

Ini berarti apa? Aeli tidak berusaha sendiri.

“Lo nyari gue kenapa?”

Sky diam. Iya juga, ya. Kenapa dia mencari Aeli?

“Pengen ketemu?” Sky menjawab ragu. Lebih tepatnya melempar tanya.

Aeli mengulum senyum. “Kenapa pengen ketemu gue? Harus ada alasannya dong.”

Tatapan polosnya, nada bicaranya, semua itu selalu bikin Aeli terpesona. Apalagi ditambah raut bingungnya sekarang. Ah, rasanya Aeli ingin memasukkan cowok itu ke dalam karung dan membawanya pulang untuk dicium-cium.

Cukup, jauhkan Aeli dari pikiran absurdnya sekarang juga.

“Kangen?”

Sialan. Aeli hampir tidak bisa bernafas mendapat serangan tiba-tiba seperti itu. Jangan tanya bagaimana ekspresi Aeli sekarang. Persis orang bodoh.

“Apa saya salah ngomong? Maaf Aeli. Saya cuma bilang apa yang saya rasain,” tutur Sky tidak enak. Ya bagaimana, orang wajah Aeli mendadak pucat begitu.

Sebenarnya Sky sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan selama beberapa hari tidak bertemu Aeli. Yang jelas ada keinginan kuat dalam dirinya untuk segera menemui gadis itu. Demi tuhan, Sky hanya mengikuti kata hati.

Menormalkan nafas dan detak jantung yang semakin menggila, Aeli kembali mengeluarkan suara. Lebih terdengar seperti cicitan sih sebenarnya. “Sky ....”

“Iya, Li?” Cowok itu masih menunggu kalimat Aeli selanjutnya.

“Ke kantin aja gimana? Kayanya gue dehidrasi deh.”

...•••...

Hari ini Aeli menemukan motor itu. Motor yang pernah dicari-carinya beberapa waktu lalu. Terparkir tepat di dekat pohon mangga yang terhalang pagar kawat. Otak gila Aeli sudah menyusun rencana, menyuruh Clara pulang duluan sedang dirinya menjalankan misi tidak tahu diri.

Ya, Aeli ingin minta diantar pulang oleh Sky. Sangat tidak tahu diri dan tidak tahu malu, bukan? Persetan. Aeli akan melakukan apapun agar bisa dekat-dekat dengan Sky. Dia harus melangkah dan membuat kemajuan lebih pesat agar misi awalnya segera tercapai.

Sky tidak boleh dimiliki siapa-siapa selain dirinya. Dia tidak boleh kehilangan kesempatan yang sudah berada di depan mata.

“Sky!” Aeli melambaikan tangan begitu melihat figur Sky bersama lima temannya yang lain berjalan ke area parkir.

Sky mengerutkan kening sebentar, bingung melihat Aeli tiba-tiba berada di dekat motornya. Cowok itu memasang senyum membalas sapaan Aeli.

“Anjrit, si Nyai ngapain tuh?” Dylan terheran-heran.

“Sedeket itu hubungan lo sama dia, Sky? Kalian janjian pulang bareng?” Rey bertanya. Tapi Sky tidak mengindahkan dan tetap melangkah mendekati Aeli.

Senyum gadis itu makin lebar kala Sky sampai di depannya. “Kamu di sini, nungguin saya?” tanya Sky, memastikan lebih tepatnya.

Aeli mengangguk mantap tanpa ragu, melirik teman-teman Sky yang melongo lalu menatap Sky kembali. “Minta dianter pulang, boleh? Clara kejam banget, gue ditelantarin.”

Jika ada penghargaan untuk sahabat paling laknat, sudah pasti Aeli lah pemenangnya.

“Lo beneran Aeliya?” tanya Tirta keheranan. Dirinya belum bisa menerima kenyataan bahwa Aeli bisa bertingkah seperti ini di depan Sky.

“Bukan.” Aeli tersenyum lempeng. “Gue Bella Hadid.”

Nah, itu lebih-lebih tidak bisa diterima oleh akal sehat mereka.

“Lo gercep juga ya, Li. Lanjutin deh, gue dukung dengan separuh hati.” Karena Fabian patah hati.

“Boleh kan, Sky?” Aeli bertanya lagi. Tidak mengindahkan celotehan teman-teman Sky. Juga tatapan Dipta yang sejak tadi seperti mengintimidasinya.

“Pulang sama gue aja gimana, Li? Jok belakang gue kosong juga kok.” Tirta dengan sangat tidak tahu malu menawarkan diri.

“Gue maunya sama Sky.”

“Jujur amat sih, Li. Pikirin perasaan gue juga dong.”

“Bodo.”

Kan, apa mereka bilang. Aeli cuma berubah lembut saat bersama Sky. Entah pelet apa yang sudah teman mereka pakai sampai Aeli yang dasarnya ganas pun bisa sejinak itu.

“Kalian duluan aja. Gue mau nganterin Aeli dulu.” Sky menutur, mengundang riuh teman-temannya.

“Yaelah percaya deh yang lagi PDKT.”

“Buset adek abang udah gede rupanya. Lanjutin Dek.”

“Baik-baik Sky, anak orang tuh.”

“Ya kali anak setan.” Bukan Sky yang menjawab, tapi Fabian.

“Gak pulang sama Dipta aja, Li? Kayanya doi juga siap tuh.”

Perkataan Rey bikin mereka menaruh perhatian pada Dipta. Lahiya, ngapain anak itu masih di sini?

“Nggak deh. Ogah banget gue pulang sama dia.”

Dipta berdecih. “Siapa juga yang sudi nganterin lo?”

“Sky sudi tuh.” Aeli menjulurkan lidah, mengejek.

Lebih baik Dipta memilih pergi daripada meladeni Aeli. Tidak penting juga lagipula.

“Sensi banget yak. Cemburu bilang, Bos!” Tirta menyengir tanpa dosa kala Dipta mengacungkan jari tengah sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil.

Setelah puas menggoda Sky dan Aeli, cowok-cowok tadi menghampiri motor masing-masing dan langsung melesat pergi meninggalkan area Flourst. Kini hanya tersisa Sky dan Aeli, berdua.

“Maaf ya gue ngrepotin lo lagi,” kata Aeli setelahnya.

“Saya nggak pernah merasa direpotkan, Li,” balas Sky. “Tapi saya harus mampir sebentar ke toserba buat beli pesanan Ibu. Kamu nggak papa nunggu?”

“Nggak papa lah. Ibu lo pesan kebutuhan dapur?”

“Iya.”

“Sip. Nanti gue ikut pilihin, ya?”

Sky mengangguk di tengah senyumnya. Pamit sebentar untuk meminjamkan Aeli helm di pos satpam. Lalu kembali lagi sambil menyerahkan helm tersebut pada Aeli.

“Thanks.”

Sky menjalankan motor mininya setelah memastikan Aeli duduk dengan nyaman di jok belakang. Diam-diam Aeli melirik pinggang Sky, tangannya gatal ingin nemplok dan melingkar di sana. Kalau Aeli melakukannya sekarang, Sky risih tidak, ya?

Persetan, kesempatan bagus tidak datang dua kali.

Sky sempat terkejut merasakan sebuah benda perlahan melingkari pinggangnya. Dia melirik tangan cantik yang kini bertengger di sana sebelum suara Aeli menginterupsi.

“Takut jatuh. Pegangan boleh, kan?” Sky dapat melihat senyum manis Aeli dari kaca spion. Mata boba yang hampir hilang karena senyuman itu terlihat begitu menggemaskan.

Aeli selalu bilang Sky lucu dan imut, tetapi dia tidak sadar jika dirinya juga tak kalah imut sebenarnya. Ya, jika sedang tidak kumat.

“Boleh,” tanggap Sky. Dia tidak keberatan sama sekali, demi tuhan. Tetapi entah mengapa getaran di dadanya sulit untuk dikendalikan.

Motor Sky akhirnya sampai di salah satu toserba. Mereka berdua turun dan segera melangkah masuk setelah melepas helm. Mata Aeli berbinar-binar melihat barisan rak yang penuh dengan camilan. Jiwa jajan Aeli meronta-ronta seketika.

“Sky, gue ke rak itu bentar ya? Gak lama kok. Nanti gue bantuin cari pesenan ibu lo.”

“Nggak papa, Li. Kamu ke sana aja, lagipula pesenan ibu nggak terlalu banyak.”

“Yaudah lo cari dulu, nanti gue nyusul.”

Sky mengiakan. Setelah mengambil keranjang belanja, mereka berpisah menuju tujuan masing-masing. Sebenarnya Aeli ingin sekali mengikuti Sky dan membantunya mencari barang pesanan calon ibu mertua—oops. Kecepatan kayanya. Tapi Aeli tidak tahan melihat segala macam camilan yang berbaris rapi dan melambai-lambai minta diborong.

“Gapapa deh sekali-kali menuhin kulkas si Clara. Itung-itung balas budi,” gumam Aeli sambil memasukkan beberapa bungkus cheetos dan snack ke dalam keranjang. Aeli juga tidak lupa memborong susu strawberry kesukaannya dan Clara.

“Kak Aeli.”

Suara halus yang berasal dari samping mengalihkan perhatian Aeli. Dia yang masih merunduk menoleh, mendapati wujud Claudia yang membuatnya memutar bola mata lalu menegakkan tubuh.

“Lo kayanya ada di mana-mana, ya? Ngintilin gue?”

“Aku nggak tau bakal ketemu Kakak di sini. Kakak sama siapa?” tanya Claudia. Ramah sekali.

“Bukan urusan lo.” Aeli melanjutkan memilih camilan meski moodnya berubah buruk. Sepertinya tuhan sedang tidak ingin membiarkan Aeli berbahagia seharian penuh. Dari banyaknya toserba di kota ini, mengapa harus tempat ini yang Claudia injak?

“Kakak nggak pulang? Aku kangen banget sama Kak Aeli.”

Aeli berdecak. Kapan sih makhluk ini enyah dari hadapannya?

“Maaf kalau selama ini aku selalu bikin Kakak dimarahin. Aku juga minta maaf soal waktu itu, karena aku Kak Dipta jadi salah paham dan bentak-bentak Kakak.”

Lihatlah, si kampret ini malah bicara panjang lebar dan membuat permintaan maaf dadakan. Sengaja banget mau bikin Aeli merasa bersalah? Mimpi.

“Kakak pulang, ya? Mama sama Papa bingung nyariin Kakak.”

“Ngomong sekali lagi gue gampar ya, Clau.”

Claudia merapatkan bibir, spontan menunduk kala mata tajam Aeli menusuknya.

“Dia,” panggil seseorang. Claudia maupun Aeli menoleh bersamaan. Raut Aeli berubah datar mendapati Dipta. Cih, ternyata bareng majikan.

Seingat Aeli tadi Dipta pergi sendiri, lalu sekarang kenapa bisa bersama dengan Claudia? Hm, apa mereka memang sudah janjian? Bodo amaaaaat! Buat apa juga Aeli peduli?

“Udah?” tanya Dipta melirik keranjang di tangan Claudia. Dia mengangguk.

“Udah, Kak.”

“Ayo balik, ngapain lo ngelipir ke sini?” Cowok itu melirik Aeli sinis. Sepertinya dia melupakan saran Tirta untuk segera meminta maaf.

Bukannya meminta maaf, cowok ini malah nambah masalah.

“Aku nggak sengaja ngeliat kak Aeli, pengen bujuk kak Aeli pulang. Mama papa udah kangen banget,” tutur Claudia.

Ingin rasanya Aeli menyumbat mulut sialan itu dengan batako. Apa maksudnya ngomong begitu coba? Sengaja banget bikin Aeli kelihatan jadi anak pembangkang?

“Mereka khawatir karena akhir-akhir ini kak Aeli nggak pernah pulang.”

Mengerti arah pembicaraan Claudia, Dipta akhirnya menimpali. “Mending lo pulang, gausah jadi beban pikiran buat orang tua lo.”

Idih! Siapa juga yang jadi beban?

“Hello, Dipta Prahardja. Anda itu tau apa sih? Kalau nggak tau apa-apa mending diem. Gausah sok jadi pahlawan kesiangan.” Bola mata Aeli berotasi. Berharap dua manusia sialan ini dicabut saja nyawanya.

“Gue emang nggak tau dan nggak pengen tau.”

“Yaudah gausah ikut campur! Bawa pergi nih hewan peliharaan lo jauh-jauh. Kalau perlu pasung sekalian biar gak muncul mulu di depan gue. Bikin sepet mata gue banget.”

Tepat saat Aeli menyelesaikan kalimatnya, Sky muncul. Dia menatap manusia-manusia yang berada di sana, merasakan perubahan atmosfer yang sangat drastis.

“Dip, lo di sini juga? Cari apa?” tanya Sky heran.

“Nganterin Dia.”

Sky manggut. Tersenyum tipis kala Claudia melempar senyum ke arahnya. Fokus Sky terinterupsi karena suara Aeli.

“Sky, udah belanjanya?”

“Udah, mau balik sekarang?”

Aeli mengangguk cepat. “Gak suka di sini, hawanya gerah.” Rautnya berubah cemberut. Namun matanya terus melirik sinis ke arah Dipta dan Claudia.

“Yaudah. Ayo. Duluan ya, Dip, Dia,” pamit Sky. Tangannya langsung digandeng oleh Aeli dan dibawa pergi sebelum mereka sempat membalas.

Aeli tidak suka Sky memasang senyum untuk perempuan lain, Aeli tidak suka Sky bersikap ramah dengan perempuan lain, Aeli tidak suka Sky berhubungan dengan perempuan lain selain dirinya. TITIK!

“Harus banget kaya gitu?” tanya Aeli ketika keduanya mengantre di kasir.

Sky mengernyit bingung. “Kaya gitu gimana?”

“Harus banget senyum sama Claudia? Harus banget pamitan sama dia?” cecar Aeli. Jelas sekali bahwa dirinya sedang kesal setengah mati.

“Kamu marah?”

Pakai nanya! Jelas marah lah!

“Nggak tuh.”

“Saya nggak tau kamu bakal marah kalau saya ramah sama adik kamu.”

Mata Aeli melotot. “Dia bukan adik gue, Sky Lazaro.”

Oke, mending Sky diam saja. Sepertinya mood Aeli benar-benar rusak dan dia tidak ingin membuat gadis itu mengamuk di sini.

“Jangan diem,” tegur Aeli kala Sky sudah merapatkan bibir.

“Saya pikir kamu lagi nggak pengen diajak bicara, makanya saya diem.” Sky menjelaskan.

“Pengen ngomong, tapi nggak ngomongin yang tadi.” Pipi Aeli menggembung lucu jika sedang cemberut.

“Nanti saya ajak ngomong di motor, sini dulu belanjaan kamu.” Sky meminta keranjang di tangan Sky untuk diberikan ke kasir. Gadis itu menyerahkannya begitu saja.

“Semuanya dijadikan satu, Kak?” tanya mbak kasir.

“Dipisah, Mbak,” balas Sky. Tepat kala total belanjaan disebutkan, Aeli merogoh dompet namun dia langsung melotot melihat Sky menyerahkan kartu ke kasir sambil berujar.

“Ditotal semuanya sekalian ya, Mbak.”

“Loh. Gue bayar sendiri, Sky.”

Sky menyorot wajah cantik milik Aeli. “Nggak papa. Biar nggak ribet.”

“Tapi bayarnya—”

“Saya aja.”

Aeli bungkam, meringis melihat belanjaannya yang, err, lumayan banyak. Baru kali ini Aeli menyesal memborong camilan kesukaannya. Jika Aeli tahu Sky akan mengambil alih, mungkin dia tidak akan banyak tingkah sejak tadi. Sekarang, dirinya malah merasa tidak enak sendiri.

“Udah minta dianterin pulang, jajan dibayarin pula. Bikin malu, Aeliya.”

Aeli lantas merapat ke Sky, berbisik pelan. “Nanti uang lo gue ganti, ya.”

Sky tersenyum kemudian menggeleng. “Nggak perlu, Li. Saya ikhlas pengen nraktir kamu.”

“Tapi gue gak enak, Sky.”

“Saya lebih nggak enak kalau kamu bayar sendiri.”

“Yaudah deh. Tapi lain kali gantian gue yang traktir, ya?”

Lain kali? Berarti mereka akan pergi bersama lagi dong? Hm, sepertinya Aeli punya ide cemerlang untuk bisa mengajak Sky jalan. Selain dapat jajan gratis, ternyata Aeli juga dapat hikmah dari rasa tidak enaknya hari ini.

“Saya ngikut kamu aja.”

...•••...

Terpopuler

Comments

Erni Fitriana

Erni Fitriana

ya Allah liiii..adapnya sky cakep bamget....belajar sabar liii kyk sky...

2023-09-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!