NovelToon NovelToon

Skaeli

one

...•••...

Faye Aeliya.

Nama itu tersemat apik di benak murid-murid Flourst begitu mendengar kata 'ratu bully'. Bagi mereka, Aeli itu adalah neraka. Banyak yang memilih putar balik ketika melihatnya. Berurusan dengan Aeli sama saja berurusan dengan malaikat maut. Sama-sama mengerikan.

Minggu lalu, Aeli tersandung kasus bullying yang mengharuskannya di skors selama lima hari. Selama itu pula, murid-murid Flourst seolah bisa menghirup udara segar yang mereka harapkan sejak lama. Tetapi, setelah kembalinya gadis itu, suasana mencekam kembali terasa.

Setiap langkahnya seolah menjadi sebuah ancaman bagi mereka. Terutama korban-korban yang pernah terkena semburan berbisa seorang Aeli. Sudah bisa dipastikan jika ada yang berani yang mencari gara-gara dengannya sekali saja, maka kesialan akan langsung menghampiri.

“Mati lo, Jen. Bisa-bisanya lo kotorin meja Aeli.”

Jena yang kini memegang sebuah cup minuman terlihat panik. Wajahnya pucat pasi dengan sorot mata tertuju pada cairan coklat yang tumpah di atas meja putih.

“G-gue gak sengaja! Salahin nih kursinya Rona! Ngehalangin jalan aja!” Jena menendang kursi tidak bersalah yang dia anggap sebagai kesialan sampai menumpahkan minuman mengenai meja Aeli dan buku yang tergeletak di atasnya.

“Loh, loh, loh. Kok malah marah-marah sama kursi gue? Kan lo yang nggak hati-hati!” Rona menyahut tidak terima. Melindungi kursinya seolah itu adalah benda hidup.

“Kalau kursi lo berada pada tempatnya gue juga gak bakal kesandung! Dasar kursi sialan!”

“Woi! Daripada lo pada debatin kursi nggak jelas mending beresin noh meja si Aeli. Emang lo mau gepeng percuma di tangan dia?” kata Reana, dan Jena baru ingat ada sesuatu yang lebih penting daripada berdebat soal siapa yang salah antara dirinya atau kursi Rona.

“Gue masih mau hidup. Tuhan, tolong kasih hamba-Mu kesempatan.”

Dengan paniknya Jena mulai membereskan kekacauan yang dia perbuat. Berulang kali dirinya menggerutu, merutuki semua yang terjadi. Dari banyaknya meja yang ada, mengapa harus meja Aeli yang terkena tumpahan minuman yang dia bawa?

Masih mending kalau hanya meja, ini malah sama buku-bukunya sekalian. Benar-benar sial nasib Jena hari ini. Poor Jena.

“Ngapain di meja gue?”

Suara dingin yang terdengar sukses menghentikan pergerakan Jena. Nafasnya terasa berhenti di paru-paru, tubuhnya menegang takut di detik yang sama.

Dengan sisa keberanian yang Jena punya, dia menolehkan kepala ke arah Aeli. Dapat Jena lihat Aeli tengah menatapnya tanpa ekspresi. Tangannya disilangkan ke depan dada, satu alisnya terangkat, mengintimidasi. Aura dingin Aeli menguar dan membekukan secuil keberanian dalam diri Jena.

Jena menenggak ludah secara paksa, mengedarkan pandangan ke seisi kelas yang kini menyorotnya dengan tatapan kasihan. Sialan memang.

“E-eh, A-eli ....” Jena memasang senyum canggung. Mengusir jauh-jauh rasa takut dan gugup yang menempel. Meski rasanya sangat sulit karena sosok Aeli sudah berdiri tepat di depannya dengan raut wajah yang tampak siap mengulitinya habis-habisan.

“I-ini ... tadi gue gak sengaja ... g-gue kesandung kaki Rona. Eh, kursi kaki Rona. M-maksud, maksud gue kaki—”

“Habis lo apain meja gue?” sela Aeli. Malas mendengar kalimat Jena yang terlalu berbelit-belit.

“Ini, Li. G-gue ....” Rasanya Jena sudah tidak sanggup untuk melanjutkan bicara. Mendengar nada ketus dan delikan tajam Aeli saja sudah membuat keberaniannya terkuras tuntas tak bersisa.

“Astaga, Li! Buku lo!”

Clara memekik begitu melihat buku catatan Aeli basah kuyup tak karuan. Entah sejak kapan gadis itu berhenti di sebelah Jena. Padahal seingat Jena, dia tidak melihat kedatangan Clara bersama Aeli sebelumnya.

Kelopak mata Aeli membulat melihat keadaan bukunya yang mengenaskan. Rahangnya mengeras dengan gigi yang mulai bergemeletuk di dalam mulut. Aeli benar-benar tidak suka melihat barang-barangnya disentuh apalagi sampai dirusak oleh orang lain. Berani merusak barang-barang Aeli berarti siap menanggung konsekuensi.

“Kerjaan lo?” tanya Aeli, dingin. Sorot matanya menghunus tajam mata Jena yang mulai berkaca-kaca. Membuat jantung sang empu seperti akan merosot ke dengkul.

“M-maafin gue, Li. T-tadi itu gue niatnya mau duduk, tapi malah kesandung kursi sialan Rona. K-kebetulan gue bawa minuman jadi ya ... tumpah ke meja lo ...,” jelas Jena. Menunduk tanpa berani membalas tatapan elang yang Aeli lempar.

“Gue mohon maafin gue. Jangan apa-apain gue, Li! Gue masih doyan hidup enak,” mohon Jena sambil menyentuh pergelangan tangan Aeli. Sayangnya langsung ditepis dengan kasar.

Jena tersadar jika dirinya kembali melakukan kesalahan. Aeli tidak suka melakukan kontak fisik dengan siapapun, dan hampir setiap orang mengetahui itu.

“Kasian banget si Jena. Gue harap masih bisa ketemu dia aja sih setelah ini,” gumam Friska dengan nada pasrah. Sangat menyayangkan kebodohan sahabatnya itu.

“Jen, lo gak lagi bales dendam karena waktu itu Aeli nonjok cowok lo, kan?” tanya Clara menyelidik.

Jika Aeli adalah ratu bully, maka Clara adalah pengikutnya. Dia selalu berada di sebelah Aeli, mendukung segala tindakan gadis itu tanpa memikirkan salah benar perbuatannya.

Jena menggeleng keras, menyanggah tuduhan Clara. “Nggak sama sekali, Clar! Gue beneran nggak sengaja.”

“Alesan! Bilang aja lo masih dendam sama Aeli.” Clara memutar bola mata muak.

“Sumpah demi tuhan! Gue beneran nggak sengaja. Lagipula yang Aeli lakuin udah bener kok. Andra yang salah.” Jena masih berusaha untuk membela diri. Tidak, mungkin untuk bertahan hidup.

Aeli mendengkus, muak melihat perdebatan di depan.

“Ganti meja gue. Semuanya harus udah beres sebelum gue balik,” ucapnya pada sang ketua kelas yang sejak tadi menyaksikan drama dadakan tersebut.

“Ngerti?”

Lelaki berkaca mata itu meneguk ludah begitu merasakan aura dingin kala beradu tatap dengan Aeli. Dia mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aeli segera berlalu keluar kelas tanpa mempedulikan jam pelajaran yang akan dimulai sebentar lagi. Clara juga keluar setelah menegaskan perintah mutlak Aeli tadi.

Untungnya Aeli sedang tidak mood berbuat ulah seperti biasa. Jika hal itu terjadi, mungkin Jena tidak akan terlepas dari hal gila yang mungkin Aeli lakukan setelahnya.

“Gila, mau copot nyawa gue anjir.” Rona terduduk lemah di kursinya. Memegang dada yang menimbulkan debaran tak biasa. Dia hampir sesak nafas merasakan aura mencekam yang Aeli pasang.

Meski bukan dirinya yang jadi sasaran Aeli kali ini, tetap saja rasa sesak itu seperti mengurungnya dan membuatnya sulit untuk bernafas dengan benar. Dia saja bisa seperti ini, apalagi Jena. Entahlah, tampaknya nyawa gadis itu sudah terangkat. Buktinya dia hanya diam dengan mulut yang tak kunjung terkatup.

“Dit, buru gantiin mejanya Aeli. Bisa mateng lo kalau dia balik mejanya masih sama,” peringat Reana.

“O-oke.” Dengan tubuh gemetar Radit mendekat, membawa meja Aeli ke gudang sekolah dan digantikan dengan meja baru. Rasanya, kaki Radit seperti tak menapak.

...•••...

Kepala Aeli benar-benar pusing. Ini hari pertamanya masuk sekolah setelah lima hari di skors, tapi malah dibuat kesal karena ulah teman sekelasnya. Mood Aeli sejak pagi memang sedang tidak baik, tetapi dia juga malas membuang tenaga untuk mengamuk.

Padahal biasanya, Aeli selalu melampiaskan emosi yang dipendamnya pada siapapun yang berani membuatnya naik darah. Sayangnya, semua hal yang terjadi malah semakin membuat Aeli malas melakukan apapun. Alhasil, gadis itu hanya menggerutu sepanjang jalan.

“Gak di rumah gak di sekolah semuanya bikin emosi! Orang-orang sengaja banget ya pengen liat gue mati muda? Hih, nyebelin!”

Saking sibuknya menggerutu kesal, Aeli sampai tidak sadar ada seseorang yang tiba-tiba muncul dari belokan. Gadis itu kembali mengumpat keras kala tubuhnya ditubruk dengan sangat tidak elegan.

“Anjing!”

Hampir saja Aeli tersungkur jika lambat mengambil kendali tubuhnya. Begitu mengetahui siapa yang barusan menubruknya, raut Aeli dihiasi keterkejutan.

“Eh, maaf. Saya nggak liat,” tutur sang empu cepat.

Aeli mematung untuk beberapa saat. Matanya menyorot lekat lelaki yang kini juga tengah menatapnya polos. Pandangan Aeli serasa enggan beralih. Jiwanya seperti berusaha mencuat keluar dari raga.

“Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?” Sky bertanya bingung. Pasalnya, Aeli mendadak berubah seperti orang linglung.

Rentetan pertanyaan menyerbu benak Aeli. Ini kali pertama ada lelaki yang berani bertanya padanya tanpa rasa takut. Melihat tatapannya, Aeli tahu cowok itu sama sekali tidak menyimpan ketakutan padanya. Seolah tidak mengetahui siapa dirinya.

Bukan ingin meninggi, hanya saja, setiap murid yang pernah berbicara dengan Aeli selalu terlihat takut dan tidak nyaman. Mungkin karena mengetahui bahwa Aeli adalah ratu bully yang paling dihindari, atau memang karena enggan berurusan dengannya.

“Hei, are you okay?” Sky melambai-lambaikan tangan di depan Aeli sambil memiringkan kepala.

Wajah polosnya, mengapa harus terlihat se-menggemaskan itu sih?! Bagaimana bisa ada lelaki imut, lucu, dan ganteng di waktu bersamaan? Bagaimana bisa ada wajah seperti itu? Dan mengapa Aeli bisa dibuat terpaku dengan wajah itu?

“E-eh ...? Gue, gue baik-baik aja,” balas Aeli setelah berhasil menarik diri dari dunia lamunannya.

Sialan. Siapa dia? Mengapa Aeli baru melihatnya sekarang?

“Maaf ya soal tadi, saya beneran gak liat ada kamu, makanya main asal tubruk gitu aja.” Sky mengatakannya sambil tersenyum canggung. Sukses bikin Aeli hampir pingsan karena gemas.

“I-ya ... gapapa.” Sialan, Aeli gugup. Area wajahnya mendadak panas. Rasanya benar-benar aneh.

Selama ini, Aeli tidak pernah tertarik untuk berdekatan dengan lelaki manapun. Setiap ada yang mendekat, dia selalu menciptakan jarak dan sengaja membuat mereka merasa ngeri dengan tingkahnya hingga tidak berani mendekat.

Benar saja, sejak Aeli dicap sebagai ratu bully. Sudah tidak ada lelaki yang berani mendekat atau sekedar mengirimkannya bunga dan surat cinta. Lagipula, Aeli benar-benar tidak punya waktu untuk membangun kisah asmara.

Aeli sampai dianggap mati rasa karena terlalu membentengi diri dan tak membiarkan siapapun merusak benteng pertahanan yang dia bangun mati-matian. Lalu sekarang, Aeli dengan mudahnya terpesona dengan cowok imut ini? Em, bagaimana ya menyebutnya? Menurut Aeli, wajah itu cukup rumit untuk di deskripsikan lewat kalimat singkat.

“Kayanya kamu kenapa-napa. Mau saya antar ke UKS?” tawar Sky. Wajah Aeli yang semakin memerah membuatnya khawatir.

“Lo nggak tau siapa gue?” Entah mengapa dari banyaknya pertanyaan harus pertanyaan itu yang meluncur keluar. Aeli sendiri tidak habis pikir.

“Faye Aeliya, kan? Anak kelas 11-1, ratu bully sekolahan, suka nindas murid-murid lemah, mengerikan, pemegang peringkat satu dua semester berturut-turut, hobi bikin onar, bikin ribut, marah-marah, suka bolos pelajaran. Apalagi ya? Ah, suka tidur di UKS.”

Aeli tersedak ludahnya sendiri begitu mendengar penjelasan singkat Sky. Rasanya, dia ingin mengubur diri ke dalam tanah saking malunya. Memang benar ya, di sekolah ini Aeli hanya terkenal pintar. Selebihnya, nol besar!

“Eh, maaf. Saya bukan stalker kamu kok. Saya tau karena sering denger cerita dari teman-teman saya. Jangan salah paham ya,” jelas Sky sebelum Aeli memiliki pandangan buruk tentang dirinya. Sky hanya tidak ingin dicap sebagai penguntit.

“Eung, gapapa. Lagian yang lo omongin bener semua.”

Aeli sama sekali tidak keberatan bagaimana pandangan orang lain untuknya. Tetapi, kala kalimat sialan tadi diucapkan oleh Sky, entah mengapa ulu hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ulu hatinya pedih, padahal dirinya sendiri yang menciptakan image tersebut.

“Terus, lo nggak takut gitu sama gue?” tanya Aeli dengan sisa muka yang dia punya.

Sky menggeleng ringan. “Enggak. Kecuali kamu doyan daging manusia.”

Aeli terkekeh pelan, bisa-bisanya dia mendapat jawaban nyeleneh seperti itu. Cowok ini unik. Aeli jadi penasaran.

“Kalau gitu saya duluan, ya. Maaf soal tadi.”

Belum sempat Aeli memberi jawaban, Sky sudah ngacir duluan dari hadapannya. Aeli menatap punggung tegap Sky dengan pandangan yang sulit diartikan. Satu sudut bibir Aeli terangkat ke atas, dan hanya dirinya yang mengerti maksud senyum misterius itu.

...•••...

Berulang kali Aeli memijat keningnya mendengar rentetan ocehan yang Clara lontar. Kuping Aeli sudah panas. Jujur saja. Tetapi entah mengapa sampai sekarang Clara tampak tak kunjung akan menyudahi pembahasan yang seputar itu-itu saja.

Cowok tampan berdarah dingin, berwajah datar, serta memiliki tatapan setajam elang. Dipta Prahardja namanya. Manusia itu yang terus menerus menjadi objek pembahasan Clara. Aeli benar-benar muak.

“Kok bisa ya ada cowok se-perfect dia di dunia ini? Gue bener-bener gak expect deh seberuntung apa cewek yang bisa luluhin hati dia.” Clara menopang dagu, tersenyum dengan mata menyipit. Halu.

“Dipta itu kanditat paling sempurna untuk dijadiin pacar. Lo berhasil dapetin dia otomatis lo jadi pemeran utama, Sis.”

Benar sih. Aura main character memang sudah mendarah daging di dalam diri Dipta. Wajah datarnya terkesan misterius, sifatnya dingin-dingin cuek, bicaranya pun benar-benar irit. Apalagi setiap langkahnya selalu menjadi pusat perhatian karena terlihat begitu memikat. Ya, seperti gambaran karakter utama pria pada umumnya lah.

Tetapi tidak bisakah Clara berhenti membicarakan cowok yang katanya setampan dewa bla bla bla itu? Apa tidak ada pembahasan lain yang lebih etis? Jika saja Clara bukan teman dekat Aeli, mungkin mulut gadis cerewet itu sudah dia sumpal dengan rumput.

“Bisa stop bicarain dia nggak sih?” sahut Aeli.

Sejujurnya dia tidak pernah tertarik dengan bahan bahasan Clara. Lebih tepatnya, Aeli tidak pernah tertarik dengan Dipta. Karena menurut Aeli, cowok itu terlalu mainstream. Detail karakternya terlalu mudah ditemukan pada novel-novel best seller yang terpajang di gramedia.

“Kenapa sih, Li? Tiap gue bahas Dipta lo bawaannya sensi mulu? Cemburu ya lo?”

“Gue gak belok.” Aeli menyeplos asal. Menyesap jus alpukat lalu menyuap bakso yang masih tersisa satu biji ke dalam mulut.

Butuh beberapa saat untuk Clara memahami maksud kalimat Aeli. “Ish, gak gitu maksudnya, Bangkong!” Kini gantian Clara yang memijit kening. “Lagian lo tuh aneh tau nggak. Diajak bahas cowok ganteng bukannya seneng malah sepet.”

“Gue gak suka yang ganteng-ganteng.”

Clara melotot. “Li, gue tau lo jomblo karatan, tapi jangan beneran belok juga dong!” Dia jadi ngeri sendiri membayangkan bagaimana jika gadis baddas seperti Aeli benar-benar belok.

“Pola pikir lo sempit banget kaya ******.” Aeli menatap datar Clara sambil menodong garpu.

“Gak doyan yang ganteng belum tentu gue gak doyan cowok. Ngotak. Emangnya gue lesbian?”

“Terus lo doyan yang jelek gitu? Hei, apa gunanya muka cantik lo, Aeliya?”

Aeli menyeringai. Tangannya beralih menopang dagu. Senyum anehnya sukses bikin Clara bergidik. Menelan ludah takut-takut.

“Gue sukanya yang imut-imut.”

Mata boba Aeli tertuju lurus pada objek yang baru menapak di kantin. Senyum yang tadi tidak sempurna kini merekah sepenuhnya. Mood-nya membaik seratus persen.

Clara mengerutkan kening. Dia yang penasaran langsung mengikuti arah pandang Aeli. Mendapati sekumpulan cowok yang kini berkumpul di salah satu meja kantin, tempat biasa mereka menghabiskan waktu pada jam istirahat.

Mereka adalah deretan cowok tampan paling terkenal di SMA Flourst angkatan kelas sebelas kali ini. Awalnya, tatapan Clara terpusat pada Dipta yang terlihat paling menonjol dari teman-temannya yang lain.

Seragam yang tidak rapi, tanpa dasi, tiga kancing paling atas dibiarkan terbuka, serta baju yang tidak dimasukkan membuat aura badboy menguar sangat jelas.

Sayangnya, Clara sadar jika Aeli sedang tidak memperhatikan cowok idamannya itu. Melainkan sosok yang duduk di sebelah sang empu.

Sky Lazaro.

Cowok berwajah imut yang memiliki senyum paling manis di antara mereka. Memiliki kesan ceria dan tampak selalu menebar energi positif di segala situasi. Dia memiliki bahu lebar dan tubuh yang tinggi, hanya saja wajahnya terlihat begitu menggemaskan dan polos. Persis bocah.

“Eh, jangan bil—”

“Kok gue baru tau ya ternyata dia se-geng sama Dipta-Dipta lo itu? Lo gak pernah bilang ke gue ada cowok seimut dia sih,” sela Aeli. Semakin memperhatikan Sky dalam-dalam. Jika Aeli tahu ada manusia seimut itu sejak dulu, mungkin sudah lama dia caper.

“Lucu banget gak sih dia tuh? Cara dapetinnya gimana, ya?”

Rasa gemas Aeli makin tak terkendali. Jika Sky adalah squishy, mungkin sudah Aeli remas-remas sampai penyet.

“Woi! Sejak kapan lo suka sama Sky, anjir?!” Clara terkaget-kaget. Saking kagetnya, dia sampai tidak bisa menutup mulut.

“Oh, namanya Sky?” Aeli balik bertanya. Terlalu sibuk mengagumi keimutan Sky, dia sampai lupa bertanya nama. Jika saja Clara tidak menyebut namanya, mungkin Aeli tidak akan pernah ingat untuk bertanya.

“A cute name, like its owner.”

“Gila! Lo serius naksir sama itu cowok?!”

Aeli mengedikkan bahu tak acuh. “Lebih dari sekedar naksir mungkin.”

Clara menganga kaget, benar-benar tidak menyangka akan mendengar jawaban segamblang itu dari mulut Aeli. Clara pikir, tipe cowok idaman Aeli sama sepertinya. Badboy, pembuat onar, pintar, kesayangan guru, ketua perkumpulan. Persis seperti diri Aeli sendiri. Ternyata, malah yang selama ini Clara anggap sebagai tokoh figuran.

“Bisa-bisanya cewek baddas kaya lo doyan sama yang imut-imut, Li.”

...🐨...

Faye Aeliya \= Fey Aeliya

two

...•••...

Dipta Prahardja.

Dia memiliki pembawaan yang tegas namun dingin. Raut datar dan tatapan tajam menjadi ciri khasnya. Jika Aeli dijuluki ratu bully, maka Dipta adalah rajanya. Namun dalam konteks pembahasan yang berbeda.

Dipta sama sekali tidak pernah membully. Dia hanya berlaku kasar pada manusia yang berani menyenggolnya duluan. Namun julukan itu diberikan untuknya karena tidak ada seorang pun yang berani mencari masalah dengannya jika ingin hidup tenang.

Juga, karena visual Dipta dan Aeli terlalu cocok jika disatukan. Maka terlahirlah julukan raja dan ratu untuk dua manusia kampret itu. Padahal pada kenyataannya, mereka berdua hanya sebatas dua orang asing yang tak saling mengenal.

“Malam itu bukannya lo jalan sama Naya? Kenapa tadi malah jadi suap-suapan sama Rista?” Fabian mengajukan tanya pada lelaki bersurai coklat yang duduk di sampingnya.

Yang ditanya malah tersenyum miring, wajahnya tampak menantang dan membuat tangan teman-temannya jadi gatal ingin menonjok. “Salahnya di mana?” tanya Tirta balik.

“Gue nanya! Tinggal jawab aja susah bener.”

“Gue bingung harus ngasih jawaban apa. Soalnya ... mereka berdua kan cewek gue.”

Fabian, Dylan, Rey, maupun Sky sempat terkejut mendengar jawaban Tirta. Bahkan Dipta yang sejak tadi fokus bermain ponsel pun ikut menoleh.

“Anjrit maruk amat,” cetus Dylan.

“Lo lagi cosplay jadi asrama cewek apa, Tir? Heran gue,” sahut Rey.

“Kenapa deh? Mereka aja gapapa malah kalian yang sewot.”

“Mikirlah cok. Mereka itu cewek, punya—”

“Kalau cowok gay dong gue,” sela Tirta memotong taklim Dylan. Otomatis kepalanya langsung ditoyor oleh cowok berwajah bule tersebut.

“Gue tau lo bego, Tir. Tapi segala goblok, tolol, maruk, gak tau diri ya gak usah lo embat semua,” kata Fabian asal.

“Lo kalau mau ngebuaya juga liat-liat situasi lah, Tir. Masa punya pacar dua tiap makan di kantin selalu minta bayarin Dipta.” Rey menyeplos. Salah Tirta sendiri jadi cowok tidak tahu diri. Pamer punya pacar dua pula.

“Minimal bayar sendiri dong. Ya gak?” Dylan dan Rey bertos ria.

“Ngaca lo berdua. Emang cuma gue yang minta bayarin makan sama si Bos? Minimal sadar diri lah,” balas Tirta seraya memutar bola mata.

“Beda konteks, Bro. Kalau lo kan minta dibayarin, kalau kita-kita kan EMANG dibayarin. Mau apa lo?” Rey memasang raut menantang.

Melihat perdebatan saudara serta teman-temannya, Sky terkekeh pelan. Cowok yang sedari tadi sibuk bermain game di ponsel itu menggeleng-geleng. Jujur saja, perdebatan mereka itu sudah jadi makanan sehari-hari Sky saat berkumpul dengan mereka.

“Kalau sama-sama doyan gratisan mah mending gausah debat.” Sky ikut menyeplos.

“Si adek sekali nyaut bikin darah gue naik, suer.” Dylan menutur.

“Gimana ya, Sky? Sebenarnya gue pengen banget gitu ngebantah cocot lo barusan, tapi kenapa kaya ada yang nahan gue, ya? Lo pakai jin?” todong Tirta.

“Jin tompel?”

“Jin tomang elah.”

“Yang bener tuh jin teko,” kata Fabian ikut-ikutan.

“Gue pakai jin botol sih,” balas Sky sesukanya.

“Jadi itu rahasia ganteng campur imut lo selama ini? Kenalin jin botol lo dong, Sky.”

Pembahasan mereka berlima kadang memang benar-benar unfaedah. Bahkan sampai melencong jauh dari tema awal. Dan seperti biasa, Dipta tidak mungkin menyahut jika dirasanya tidak ada yang penting. Lebih tepatnya sih, malas ngomong. Jika ada lomba diam-diaman, mungkin Dipta lah pemenangnya.

“Eh Sek, lo dari tadi ngerasa diperhatiin nggak, sih?” Dylan bertanya pada Sky. Belum sempat Sky menjawab, Tirta menyahut duluan.

“Sak sek sak sek. Minimal Kay kek apa kek. Milih nama panggilan jelek bat dah lu.”

“Kan nyesuaiin muka,” sahut Fabian. Cowok itu kalau bicara memang bikin nyeri di ulu hati. Jangan heran.

“Ini yang lagi lo hina muka si Bulan, kan? Otak gue lemot btw.”

“Pake nanya. Kalau gue hina muka Sky terus muka gue kek apa dong?”

“Dylan, anjing!” cetus Dylan emosi karena namanya diubah seenak jidat oleh Rey.

“Iya-iya tau kok lo anjing. Gausah diperjelas.”

Sebelum Dylan darah tinggi terus innalillahi, mending dia fokus pada topik bahasan. “Dari tadi si Nyai Ratu liatin arah sini mulu noh. Buta lo pada?”

Perkataan Dylan bikin para cowok tadi menoleh ke arah seseorang yang dimaksud. Bukannya salah tingkah atau sekadar memalingkan muka, Aeli malah memasang senyum yang bikin mereka bingung sendiri. Ini kali pertama mereka melihat seorang Aeli tersenyum manis seperti itu, ke arah mereka pula.

“Buset, Nyai Ratu tumben amat noleh ke sini? Kirain dia gak tau kita hidup.” Rey menyeletuk.

“Terpesona sama ketampanan gue kayanya.” Tirta mulai narsis. Maklum, kaum playboy junior alias playboy kelas bawah memang suka tidak tau diri.

“Nyai Ratu juga pilih-pilih kali mau terpesona sama siapa.” Fabian memutar bola mata.

Mereka memang lebih sering memanggil Aeli dengan sebutan 'Nyai Ratu'. Tidak ada alasan mendasar, hanya sekedar iseng-isengan saja karena Aeli dijuluki ratu bully oleh hampir seantero Flourst.

“Kayanya bukan liatin si adek dah, tapi liatin Dipta. Yakin sejuta persen gue.”

Dipta yang disebut namanya otomatis menoleh, keningnya mengerut tipis melihat seorang Aeli masih menatap ke arahnya. Entah tengah menatap dirinya atau Sky yang kebetulan duduk di sebelahnya.

“Roman-romannya couple idola bakal berlayar nih.”

Perkataan Fabian bikin Dipta memutar bola mata. “Halu.”

“Jangan lupa traktirannya, Bos.” Rey nyengir kuda.

“Dia kenal lo, Dek?” Dylan masih penasaran dengan arah tatapan Aeli yang tampak tertuju ke Sky.

Sky yang sudah kembali fokus pada ponselnya mendongak sekilas, menyahut. “Nggak tau. Tapi waktu itu pernah nggak sengaja tabrakan di koridor.”

“Aeli? Lo tabrakan sama dia? Kok bisa?” Pertanyaan Fabian sekaligus jawaban Sky membuat mereka terkejut.

“Pas gue dari toilet mau ke kelas, di koridor tiba-tiba dia muncul. Nggak keliatan sih, jadinya nabrak.”

“Serius?” tanya Rey. Sky mengangguk.

“Dia ngamuk nggak?” Dylan bertanya lagi.

“Enggak. Kenapa emangnya?”

“ENGGAK?!” Mata mereka membelalak serempak.

Sky mengedip dua kali. Bingung melihat respon berlebihan empat sahabatnya.

“Bisa-bisanya. Gak salah tuh orang? Lo sembur pakai mantra apa bisa jinak?”

Sky akhirnya mengerti yang Dylan bicarakan. Memang hampir setiap hari sih dia melihat Aeli marah-marah di kantin saat ada murid yang tidak sengaja berbuat salah padanya. Tetapi Sky tidak terlalu memperhatikan. Game di ponselnya jauh lebih menarik. Lagipula di Flourst, keributan, perundungan, dan sejenisnya sudah tidak mengejutkan.

“Tumben amat yak si Nyai kagak ngamuk. Biasanya ada yang nyentil dikit langsung cosplay jadi barongsai,” kata Rey. Langsung disetujui oleh teman-temannya.

“Kalau nggak ngamuk berarti ada yang gak beres nih. Wah, gue curiga.” Mata Tirta menyipit menatap Aeli.

“Terus kalian ada ngomong apa-apa gitu?” tanya Dylan pada Sky. Penasaran.

Sky yang masih menatap HP miringnya mengangguk. “Ada. Tapi cuma sekedar permintaan maaf.”

“Dari Aeli?” kejut Dylan.

“Gue lah. Kan gue yang nabrak.”

“Oalah. Kirain. Bisa gempar gila nih gedung kalau sampai Nyai Ratu yang minta maaf.”

“Kenapa gitu?” Sky bertanya.

“Ya iya lah, Sky. Secara Aeli itu kan kang bully. Kelakuan dia kampret banget. Terus tiba-tiba dia ngucap kata maaf, aneh banget coy!” Fabian menjelaskan.

Jika tidak terlalu sering mendengar cerita teman-temannya tentang Aeli, mungkin Sky tidak tahu jika Aeli adalah murid terkenal yang memiliki citra kurang baik di sekolahnya.

Baginya, julukan ratu bully yang diberikan murid-murid lain kepada Aeli sama sekali tidak mempengaruhi pandangannya. Mungkin Aeli memiliki attitude yang buruk dan sering merugikan orang banyak, tetapi itu tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai seseorang, bukan?

“Apa karena itu ya dia ngeliat ke sini mulu? Terpesona sama lo? Ah masa sih nggak karena terpesona sama gue?”

Pertanyaan Tirta bikin tangan Dylan gatal dan langsung menggeplak temannya itu. Tingkat pede-nya ternyata sudah tidak bisa ditolerir.

“Kayanya dia kepincut sama lo dah,” kata Rey.

“Gue?” Sky menyahut.

“Ho'oh. Tapi masa iya? Kalau bener sih, tuh cewek seleranya bener-bener di luar nurul.”

“Nalar, goblok.” Fabian membenarkan. Dibalas jempol oleh Tirta.

“Aneh yak. Baddas gitu sukanya yang lucu-lucu.” Dylan mengimbuhi. Oh ya, lupakan Dipta yang sejak tadi sudah memasang earphone dan fokus bermain ponsel. Benar-benar tidak ada niat nimbrung dalam pembahasan.

“Siapa yang lucu?” Sky bertanya lagi. Bikin teman-temannya gemas sendiri.

“YA ELO KAMPRET!” Mereka berempat kompak bersorak.

...•••...

Saking buruknya citra Aeli di sekolah ini, setiap ada murid yang kebetulan berpas-pasan dengannya pasti memilih putar balik. Bukan apa-apa, mereka hanya tidak ingin berurusan dengan iblis berparas bidadari itu. Meski Aeli tidak minat bertingkah, dia tetap nampak menakutkan di mata mereka.

Aeli terlalu berbahaya. Daripada hidup mereka menjadi tidak tenang, lebih baik mundur di awal. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti gadis yang kini duduk bersimpuh di depan Aeli dengan wajah penuh air mata.

Yang paling menarik perhatian adalah raut Aeli yang tampak tak menaruh simpati atau belas kasihan. Wajahnya tetap datar, tatapannya sedingin salju yang siap membekukan.

“Sampai kapan lo mau duduk di situ? Gue cuma nyuruh lo sujud di kaki gue.”

Perkataan itu meluncur dari bibir indah Aeli. Seantero Flourst tentu tahu Aeli memiliki riwayat hubungan yang kurang baik dengan Claudia. Tetapi siapa sangka jika buruknya hubungan itu bisa menjadi akar perundungan tanpa ujung yang dialami seorang Claudia Ardani.

“Jangan buang waktu gue, Clau. Sujud atau gue bikin lo lebih parah dari ini.”

Ucapan dingin Aeli membuat semua orang yang berada di sana diam tak berkutik. Mereka menatap Aeli, kemudian menatap kasihan ke arah Claudia. Mereka tidak tahu pasti apa yang membuat Aeli begitu marah sampai merundung Claudia lagi. 

Sebenarnya banyak orang yang tidak suka dengan kelakuan Aeli. Tetapi mana berani mereka menghujat gadis itu terang-terangan. Cukup dalam hati jika ingin aman di tempat.

“M-maaf, Kak. Aku sama sekali nggak bermaksud buat—”

“Gue gak butuh alasan lo. Gue cuma mau lo sujud, sekarang.” Nada bicara Aeli menjadi semakin tegas. Jika diperhatikan pun tatapannya menjadi semakin tajam dan nyalang.

Claudia terisak dalam diam. Sikapnya yang lemah dan rapuh persis seperti karakter protagonis pada umumnya. Gadis itu tidak berani melawan, dirinya tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu. Apalagi yang berdiri di depannya sekarang adalah Aeli, orang paling ditakuti hampir seluruh murid Flourst.

“Sujud, Clau.” Aeli semakin geram saat Claudia hanya diam tanpa bergerak. “Lo harus minta maaf sama kesalahan yang udah lo perbuat.”

“A-aku udah minta maaf, Kak.”

“Lo tau? Cara minta maaf kaya gitu tuh udah mainstream banget. Gue gak suka.”

Claudia dilema. Dia tidak berani membantah ucapan Aeli, tetapi dia juga tidak ingin sujud di kaki gadis itu. Namun jika Claudia tidak melakukan apa yang Aeli minta, sudah bisa dipastikan Aeli akan bertingkah lebih gila.

Perlahan, Claudia membungkukkan tubuhnya ke kaki Aeli. Melihat itu, senyum miring tersemat di bibir sang empu. Dia puas melihat musuh besarnya kalah telak. Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama.

Ekspresi Aeli berubah total begitu melihat Claudia ditarik oleh seseorang hingga menjauh. Yang cukup menarik perhatian adalah pelakunya. Murid-murid yang berkumpul pun memasang ekspresi tidak jauh berbeda dari Aeli. Mereka sama terkejutnya. Namun dengan cepat ekspresi Aeli berubah.

“Pahlawan kesiangan? Atau pahlawannya kesiangan?” Aeli menyeletuk. Tatapan datarnya bertabrakan dengan mata elang Dipta. Sayang, Aeli sama sekali tidak terusik dengan tatapan itu.

“Ah, ini ceritanya lo lagi ngikutin alur novel, ya? Muncul tanpa diundang kaya setan, nyelamatin si tokoh lemah biar disebut heroin. Gitu?”

Ini kali pertama murid Flourst melihat Aeli dan Dipta berhadapan secara langsung. Ternyata jika disatukan, visual mereka memang serasi. Pantas saja banyak yang men-ship-kan keduanya. Aura main character benar-benar terasa sangat kental.

“Impressive. Gue nggak nyangka bisa liat kejadian murahan gini langsung di depan mata gue. Ternyata ... euh, cringe banget.”

Dipta belum bersuara. Tangannya masih setia menggenggam tangan Claudia yang kini bersembunyi di belakangnya. Gadis itu tampak sangat ketakutan sampai tidak berani menatap Aeli.

“Clau, gue nggak tau lo bisa jadi selemah ini. Lo lagi caper atau apa?” tanya Aeli. Matanya menelisik ke arah Claudia tetapi terinterupsi oleh perkataan Dipta.

“Dia bukan budak yang bisa lo perintah seenaknya.” Dipta mengucapkannya dengan tegas, memancing kekehan dari mulut Aeli.

“Ternyata ngomong sama lo nyeremin juga, ya? Aura lo persis arwah gentayangan soalnya.”

“Gausah banyak basa basi. Kalau sampai gue liat lo masih gangguin Claudia ....” Dipta menghentikan perkataannya, maju selangkah mendekati Aeli. Meneliti setiap inci wajah meremehkan gadis di depannya ini dengan lamat.

“Lo bakal tau akibatnya.”

Kalimat itu sukses bikin Aeli tertawa terpingkal-pingkal. Menggelikan sekali mendengar ucapan Dipta barusan. Rasanya, Aeli sampai ingin guling-guling ke tanah saking lucunya. Murid-murid lain sekaligus Dipta tentunya heran dengan respon gadis itu.

Sejurus kemudian Aeli menghentikan tawanya dan merubah ekspresi wajah hanya dalam satu kedipan. Kini, dia menatap Dipta dengan senyum miring dan tangan yang sengaja disilangkan di depan dada.

“Ceritanya gue lagi diancem nih? Respon paling bagus kira-kira gimana ya, Dip?”

Semakin lama meladeni Aeli hanya akan memancing emosi Dipta saja. Selama ini dia selalu menghindari apapun yang berkaitan dengan Aeli karena dia tahu, perempuan itu terlalu menyebalkan untuk dihadapi. Dipta sadar dirinya tidak sesabar itu. Sayangnya, kali ini Dipta terpaksa berurusan dengan Aeli, alasan utamanya adalah Claudia.

“Ternyata gini jadinya kalau Raja dan Ratu Flourst adu bacot. Yang satu kebanyakan ngomong, yang satu kebanyakan diem. Gak seimbang bat dah.” Fabian geleng-geleng.

Sejak tadi Fabian, Rey, Tirta, Sky, dan Dylan setia menyaksikan apa yang terjadi antara tiga manusia yang berada tidak jauh dari mereka. Memang, interaksi antara Dipta dan Aeli adalah hal yang paling dinantikan. Sayangnya bukan dalam keadaan seperti ini.

“Kalau diliat-liat si Nyai sama Dipta emang cocok sih. Gue bisa bayangin gimana kalau mereka sampai beneran jadian.”

Perkataan Dylan dibalas anggukan oleh Rey. “Udah kebayang sih si Aeli bakal seberisik apa tapi Dipta-nya cuek-cuek aja.”

“Dipta tuh butuh pasangan yang bisa ngelengkapin kurangnya dia. Yang paling memenuhi kriteria ya Aeli.” Dylan berujar sok tahu.

“Mereka cocok kan, Dek?” tanya Dylan yang tengah merangkul Sky.

Sky menoleh, menatap ke arah Dylan lalu mengarahkan pandangannya ke Aeli dan Dipta. Mengangguk setuju. “Cocok,” balas Sky seadanya.

“Kalian kayanya salah pembahasan deh. Jelas-jelas di sana Dipta lagi lindungin Dia, kenapa malah ship-in Dipta sama Aeli?” sahut Tirta tidak habis pikir.

“Kita cuma lagi cocok-cocokan. Pribadi lemah lembut dan pendiem kaya Claudia itu kata gue sih kurang feel kalau disatuin sama Dipta.” Dylan menjelaskan.

“Kurang seru juga,” imbuh Rey.

“Visualnya juga kurang oke.”

“Gue masih gak habis pikir, bisa-bisanya si Dipta milih hadepin Aeli cuma buat lindungin Claudia.” Perkataan Fabian langsung dibalas oleh Rey.

“Gimana nggak? Orang si Claudia sekarang babunya dia. Dipta kan cuma lagi menjalankan kewajiban sebagai majikan yang baik.”

“Babu?” Sky bertanya bingung.

“Yoi. Lo belum tau, kan? Dipta udah bikin kontrak sama Dia. Selama sebulan Dia wajib ngikutin semua omongan Dipta, balasan karena kemarin Dia bikin salah. Timbal baliknya, Dipta juga bakal selalu lindungin Dia. Nggak tau deh gue gimana pikiran temen lo itu.”

Sky diam setelah mendengar penjelasan Rey. Tampaknya dia terlalu sibuk dengan dunianya sampai tidak mengetahui berita seperti ini.

Kadang apa yang mereka bicarakan hanya dianggap angin lalu oleh Sky. Gampangannya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Saking random-nya pembahasan mereka sampai Sky pun kadang malas ikut andil.

“Gue nggak pernah main-main sama ucapan gue.” Suara Dipta terdengar tegas. Memperingati Aeli bahwa dirinya tidak sekedar bicara.

“Oh ya? Sayangnya gue gak peduli.” Aeli maju selangkah, mendongak menatap Dipta yang lebih tinggi dari dirinya. Tersenyum picik. “Karena gue gak punya alasan buat dengerin omongan lo. Dan, siapa lo berani merintah gue?”

“Keluarga bukan, kerabat bukan, pacar juga bukan. Terus, kenapa gue harus dengerin omongan lo, hm?”

“Gue rasa lo cukup pinter buat bedain mana perintah mana peringatan,” balas Dipta tak kalah sengit. Claudia yang berlindung di belakangnya benar-benar tidak berani berkutik.

“Karena gue cukup pinter makanya gue nyimpulin omongan lo barusan adalah perintah.” Aeli menyeringai.

“Dipta, seharusnya kalau lo belum siap mental jangan coba-coba muncul di depan gue. Kasian kan lo-nya malah malu sendiri.”

Dipta menyunggingkan senyum miring. Sama sekali tidak terusik dengan ucapan sarkas yang Aeli lontar.

“Seharusnya lo yang malu. Beraninya ngejatuhin mental orang.”

“Apa bedanya sama lo?”

“Jelas beda. Gue ngelakuin sesuatu punya alasan.”

“Tetap aja konteksnya nge-bully.” Aeli menekan kalimatnya.

“Lo sadar juga ya ternyata kelakuan lo termasuk tindak bullying. Terus lo bangga?”

“Bangga dong. Gak semua orang bisa ngebully.” Aeli tersenyum penuh kemenangan.

“Wow, speechless gue.” Dylan terkaget-kaget.

Dipta berdecih, menatap Aeli dengan tatapan yang jauh berbeda dari sebelumnya. “Poor you, Aeli.”

Setelahnya, Dipta kembali menggandeng tangan Claudia dan membawa gadis lemah itu menjauh dari sana. Aeli menatap kepergian mereka dengan delikan tajam. Senyum yang dia pasang sedetik lalu musnah tak bersisa.

“Poor me?” Gadis itu terkekeh sinis. Dia merasa direndahkan dengan ucapan Dipta barusan.

Dalam sekejap Aeli kembali mengubah ekspresinya hingga membuat murid-murid lain meneguk ludah. Sosok Aeli benar-benar menakutkan jika sedang marah. Sepertinya mereka harus berpikir seribu kali sebelum memutuskan berurusan dengan gadis itu.

“Lo berani ikut campur urusan gue, berarti lo udah ngibarin bendera perang.”

...•••...

three

...•••...

Jika sedang kesal, biasanya Aeli menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Menyibukkan diri dengan latihan soal hingga bisa melupakan hal yang mengacaukan pikirannya.

Tujuan awal Aeli memang ke sana, tapi rasa kantuk dan lelah yang mendera membuatnya membelokkan langkah menuju UKS sekolah. Aeli butuh tidur siang, dengan begitu mungkin bisa memperbaiki suasana hatinya.

Saat hampir sampai di depan UKS, Aeli dikejutkan oleh seseorang yang baru keluar dari sana. Dia membulatkan mata, memperhatikan dahi yang kini ditutup oleh plester. Tanpa diminta kaki Aeli melangkah mendekat, dirinya bergerak impulsif.

“Dahi lo ... kenapa?” tanya Aeli pada orang itu. Sang empunya sempat terkejut melihat kemunculan Aeli secara tiba-tiba, namun dengan cepat rautnya kembali biasa.

“Tadi saya nggak sengaja kejedot ujung meja,” jawab Sky. Aeli masih memperhatikan dahinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kenapa bisa? Siapa yang jahatin lo?” Nada bicara Aeli sarat akan kekhawatiran.

Sky memasang senyum yang tanpa sadar membuat jantung Aeli jedag-jedug tidak karuan. Manis banget, tolong!

“Nggak ada yang jahatin saya. Saya-nya yang nggak hati-hati.”

Raut Aeli menjadi melas, dia ingin menyentuh dan mengusap dahi Sky yang terluka. Namun Aeli tahan sebisanya. Bisa-bisa Sky kabur melihat sikap anehnya itu.

“Lain kali jangan terluka, ya.”

Ucapan Aeli menciptakan kerutan tipis di dahi Sky. Aeli yang ditemuinya sekarang benar-benar berbeda dengan sosok Aeli saat di kantin sekolah tadi. Ternyata benar, manusia memang memiliki banyak sisi yang belum tentu diketahui semua orang.

“Iya.” Sky menjawab pelan. Dia akan pamit pergi tetapi tertahan duluan oleh ucapan Aeli.

“N-nama lo siapa? Kita belum kenalan.”

Dengan senang hati Sky menyebutkan nama lengkapnya. “Saya Sky Lazaro, kelas 11-5. Panggil Sky aja.”

Aeli memanggut. Meski dia sudah mengetahui nama cowok itu dari Clara, tetap saja Aeli ingin mendengar Sky memperkenalkan diri secara langsung.

“Sky, ya?” Aeli bertanya lagi. Padahal Sky sudah menyebutkan namanya dengan sangat jelas.

Cowok berwajah manis campur imut itu mengangguk. Setiap gerak geriknya selalu tampak lucu di mata Aeli. Sepertinya Aeli benar-benar tertarik dengan cowok ini.

“Kalau gitu saya pamit dulu,” kata Sky mengundurkan diri sembari memasang senyum. Dibalas anggukan pelan oleh Aeli.

Gadis itu menatap kepergian Sky sambil menggumam takjub dalam hati. Jujur saja, selama Aeli berada di sebelah Sky tadi, dirinya merasa seperti kerdil karena terlalu pendek.

“Aeli bego! Kenapa lo nggak minta nomor HP-nya sih?!” rutuk Aeli begitu menyadari kebodohannya barusan.

Dia berdecak, dirinya telah melewati satu kesempatan berharga untuk selangkah lebih dekat dengan Sky. Seharusnya otaknya bisa berpikir lebih cepat.

“Masa gue susulin cuma buat minta nomer HP? Tapi gue pengen deket sama dia ... Gimana dong?” Aeli cemberut.

“Pokoknya gue harus dapetin nomor dia. Gue harus bisa jadian sama dia.” Aeli membulatkan tekad. Tersenyum lebar kemudian masuk ke dalam UKS untuk tidur siang.

Untuk ke sekian kalinya, Aeli melewatkan jam pelajaran tanpa merasa berdosa.

...•••...

Semakin ke sini, Aeli menjadi semakin sering memperhatikan Sky. Entah saat cowok itu berkumpul bersama teman-temannya atau tengah sendiri, Aeli tetap memperhatikan.

Sky memiliki senyum yang manis, dan itu seolah menghipnotis Aeli untuk jangan berpaling. Sekali saja Aeli melihat senyum itu, dia akan memandanginya terus menerus hingga dirinya merasa puas. Bagi Aeli, senyum Sky itu mirip koala. Lucu dan menggemaskan. Dan Aeli tidak tahan melihat yang gemas-gemas.

Aeli bahkan tidak peduli jika Sky maupun teman-temannya yang lain sadar jika Aeli tengah memandang ke arah Sky. Dia malah dengan senang hati melempar senyum. Padahal selama ini, Aeli benar-benar anti dengan apapun yang berhubungan dengan Dipta.

Cerita berlebihan Clara yang membuatnya ilfeel duluan. Clara terlalu membanggakan Dipta, memujanya seolah manusia itu adalah dewa. Bagaimana Aeli tidak gregetan coba?

Ditambah kejadian kemarin, Aeli makin ogah membiarkan bola matanya sedetik pun menatap cowok itu. Tatapannya hanya untuk Sky, khusus untuk Sky.

“Aeli, Bu Nita titip pesan. Katanya lo sekarang ditunggu Bu Nita di ruang BK,” beritahu teman sekelas Aeli tepat dirinya akan beranjak dari tempat duduk.

Aeli menyorot datar. Dia langsung tahu penyebab dirinya dipanggil begitu mendengar kata ruang BK. Yang pasti tidak jauh-jauh dari kejadian kemarin.

“Bu Nita kayanya nge-fans banget sama lo, Li. Manggil-manggil mulu perasaan,” kata Clara di tempat duduknya.

Aeli tersenyum sinis, menyahut. “Biasa. Kapan lagi berurusan sama orang penting.”

Setelahnya, Aeli langsung berlalu keluar kelas. Dirinya sudah sangat siap mendengar ceramah panjang Bu Nita karena kemarin kembali membuat ulah di kantin sekolah.

Aeli mengetuk pintu ruangan satu kali sebelum masuk. Kurang ajar begini Aeli juga masih punya sopan santun. Ya, walaupun benar-benar minus.

“Masuk, Aeli,” kata Bu Nita. Nada bicaranya tidak ramah sama sekali. Mungkin karena sudah terlalu bosan terus menerus berhadapan dengan Aeli.

“Oh, ada Clau juga ternyata,” tutur Aeli begitu melihat figur Claudia tengah duduk di sofa ruangan sambil menunduk. Dengan santainya Aeli langsung ikut bergabung di sebelah gadis itu, membuat tubuh Claudia spontan menegang takut.

“Baru selesai nulis skrip ya lo?” tebak Aeli. “Gue harap kali ini nggak ngawur-ngawur banget deh. Biar gue gak ngetawain lo lagi kaya minggu lalu.” Aeli tersenyum miring.

Bu Nita yang mendengar jelas ucapan Aeli langsung menggelengkan kepala. Anak muridnya yang satu ini memang sedikit unik dibanding murid-muridnya yang lain. Aeli senang berucap dengan bebas, tidak peduli apa ucapannya menyakiti orang lain atau tidak.

Dia juga sangat suka meremehkan bahkan memancing emosi orang lain. Saking sukanya, Aeli sampai menganggap itu sebagai hobi. Setiap ada yang berdebat dengannya pasti keburu emosi karena perkataan nyeleneh yang dia lontar. Entahlah, Bu Nita sendiri tidak tahu mengapa Aeli bisa memiliki hobi aneh seperti itu.

“Tujuan saya manggil kalian ke sini untuk—”

“Skors saya, kan? Kali ini berapa hari? Satu bulan? Satu tahun? Satu windu? Atau satu abad?” sela Aeli memotong ucapan Bu Nita dengan sangat tidak sopan.

Bahkan sekarang, Aeli sudah memposisikan duduk sambil menumpu satu kaki di atas kaki satunya. Bu Nita menghela nafas panjang melihat tingkah Aeli.

“Kamu nggak akan saya skors.”

“Wow.” Aeli takjub. Menoleh ke arah Claudia yang masih terdiam tanpa kata. “Bu Nita habis lo ruqyah? Atau lo sogok?”

“Aeliya,” tegur Bu Nita. Berusaha bersabar.

Aeli kembali ke posisi awal, wajahnya kembali datar.

“Sekarang saya tanya, kenapa kamu masih terus merundung Claudia? Apa hukuman yang saya kasih selama ini belum cukup bikin kamu kapok?” Bu Nita bertanya. Aeli memutar bola mata sebelum menjawab.

“Gimana saya bisa kapok kalau saya nggak pernah ngerasa Ibu lagi hukum saya?” balas Aeli begitu tenang. “Skors? Saya nyebutnya libur cuma-cuma.”

“Kamu meremehkan hukuman saya?”

“Ibu mikirnya gitu? Saya iyain deh biar Ibu seneng.”

“Aeli, sekali lagi saya tanya. Apa tujuan kamu terus merundung Claudia? Kenapa kamu membenci saudara kamu sendiri?”

Aeli berdecih, bergerak mencari posisi ternyaman. Dia belum menyahut ucapan Bu Nita. Malas lebih tepatnya.

“Kalau sampai berita seperti ini didengar oleh ayah kalian, kamu bisa dihukum, Aeli. Seharusnya kamu berterima kasih pada Claudia karena tidak membeberkan kejadian kemarin pada ayah kalian.”

Aeli tertawa sumbang. Berterima kasih? Dua kata yang bikin Aeli ingin muntah. Dia lantas menatap Claudia yang kini pucat pasi. Aeli benar-benar geram melihat tingkah sok lemah gadis itu.

“Oke, terima kasih banyak.”

Aeli mengatakannya penuh penekanan. Claudia bahkan bisa merasakan sebesar apa dendam yang tersirat dalam kalimat Aeli barusan.

“Gitu kan, Bu? Berarti saya udah nggak ada urusan di sini.” Aeli berdiri dari duduk, menyorot Bu Nita dengan tatapan datar.

“Kamu belum meminta maaf, Aeli. Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah dengan perbuatanmu?”

“Kenapa saya harus ngerasa bersalah? Emangnya saya bikin salah?” tanya Aeli balik. Tentunya dengan nada bicara yang cukup menguji kesabaran Bu Nita.

“Kamu pikir ulah kamu kemarin bukan sebuah kesalahan?”

“Bukanlah. Malahan yang saya lakuin kemarin masih kurang dibandingin kelakuan cewek setan ini.”

Tangan Claudia makin mendingin. Hatinya seperti diremas mendengar segala kalimat yang Aeli lontar. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menyahut.

“Aeli, minta maaf ke Claudia. Saya nggak mau dengar bantahan apapun.” Bu Nita menutur tegas.

Aeli mengepalkan tangan, berusaha mengontrol emosi yang sudah melejit sampai ubun-ubun. Dia tidak ingin meledak di sini dan berakhir membuat kekacauan. Aeli malas membuat urusannya menjadi tambah panjang.

Lantas, gadis itu memasang senyum paling manis. Menatap lembut ke arah Claudia yang masih menunduk dengan perasaan bercampur.

“Gue minta maaf ya, Clau.” Sekali lagi, Aeli mengatakannya dengan penuh penekanan.

“Liat, Bu? Saya bahkan nggak ngebantah sesuai perintah Ibu, kan? Kurang baik apa coba saya?”

Bu Nita memilih diam. Tujuannya memanggil Aeli ke sini memang untuk meminta maaf pada Claudia atas kelakuannya kemarin. Tetapi cara gadis itu meminta maaf benar-benar seperti orang yang menyimpan dendam kesumat. Bu Nita yakin, Aeli tidak mungkin diam saja setelah ini.

“Ibu tau? Ibu itu selalu ganggu jam belajar saya. Saya jadi sering ketinggalan pelajaran gara-gara Ibu.” Aeli berujar ketus. Berlalu keluar dari ruangan begitu saja. Padahal jelas-jelas sekarang sudah memasuki jam istirahat.

Bu Nita mengelus dada. Menghadapi murid bandel seperti Aeli memang tidak mudah. Dia harus punya stok kesabaran lebih jika tidak ingin berakhir adu mulut.

“M-maafin ucapan kak Aeli ya, Bu. Mungkin dia lagi kesel sama saya,” tutur Claudia takut-takut.

Raut wajah Bu Nita yang tadinya kesal langsung berubah begitu menghadap Claudia. Guru muda itu memasang senyum hangat yang begitu menenangkan.

“Kamu tidak perlu meminta maaf, Dia. Lain kali kalau Aeli berulah lagi, langsung bilang ke saya, ya. Jangan sungkan.”

Claudia tersenyum tipis, mengangguk pelan. Bu Nita sendiri tidak habis pikir mengapa Aeli begitu membenci saudaranya yang baik hati ini. Bahkan untuk dimusuhi pun, Claudia tidak pantas.

...•••...

Sejak tadi Dipta mencari keberadaan Claudia namun tak kunjung dia temukan. Hingga saat dia sampai di kelas gadis itu, seorang murid berkata bahwa Claudia tengah berada di ruang BK.

Lantas, tanpa babibu Dipta langsung berjalan menuju tempat yang dituju. Dia harus segera menemui Claudia. Namun siapa sangka jika dirinya malah bertemu dengan Aeli yang baru keluar dari ruangan dengan wajah tertekuk masam.

Ketika Aeli mendongak, mata mereka tak sengaja bertabrakan. Keduanya diam selama beberapa saat dengan pandangan terkunci. Raut Aeli berubah datar. Matanya spontan bergerak malas.

“Pahlawan kesiangan datang lagi,” gumamnya muak.

“Maksud lo apa?” ketus Dipta.

“Lo nanya maksud gue apa? Kalau gue nggak mau jawab gimana?” balas Aeli dengan raut paling menyebalkan seantero bumi.

Dipta sendiri heran, mengapa bisa ada manusia semenyebalkan Aeli di dunia ini. Seumur-umur, baru kali ini dia menemukan gadis bermulut ringan spesies Aeli. Selain berisik, ucapan gadis itu juga benar-benar memancing emosi.

“Pasti lo lagi nyariin peliharaan baru lo, kan? Tuh orangnya di dalem lagi casting.” Aeli kembali menutur.

“Bantu cariin produser buat rekrut dia deh, aktingnya menjiwai banget tuh. Sayang kan kalau bakatnya disia-siain gitu aja.”

Setelah berbicara panjang lebar, Aeli berlalu dari hadapan Dipta. Melewati cowok jangkung itu begitu saja tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya yang sang empu pasang.

“Cih, cewek aneh.” Dipta menggumam kemudian.

Baru dia menoleh ke arah pintu masuk, Claudia muncul. Memandangnya terkejut.

“K-kak Dipta? Kok di sini?”

Dipta berdecak. “Nyariin lo lah. Kalau mau ke mana-mana bilang kek, bikin repot gue banget.” Cowok itu malah mengomel.

Claudia mengedip dua kali, ini kali pertama dia melihat Dipta jadi banyak omong padanya. Biasanya hanya satu dua kata yang keluar dari mulut cowok itu. Semarah apapun dirinya.

“Kakak kenapa nyariin aku?”

“Lo udah lupa sama tugas lo?” Dipta balik bertanya.

Claudia teringat jika dirinya sudah membuat perjanjian dengan Dipta sebagai balasan kesalahan yang dia perbuat. Dan salah satu kesepakatannya, setiap masuk jam istirahat Claudia harus menemani Dipta makan di kantin.

“Maaf, Kak. Tadi aku dipanggil Bu Nita. Aku lupa buat bilang ke Kakak.” Claudia menunduk, tatapan Dipta membuatnya takut.

“Kenapa dipanggil?”

“Em, karena kejadian kemarin. Bu Nita udah tau dan nyuruh kak Aeli buat minta maaf.” Claudia menjelaskan.

“Lo yang bilang?”

Claudia menggeleng cepat. Dia tidak ingin Dipta salah paham. “Bukan aku, Kak. Bu Nita tau sendiri dari anak-anak lain. Aku juga nggak tau bakal ditemuin sama kak Aeli.”

Dipta menyorot Claudia dalam. Claudia yang ditatap begitu tentu kembali menunduk. Dia lemah melakukan eye contact dengan orang lain.

Namun detik berikutnya, Claudia dibuat terkejut begitu merasakan sebuah tangan di pergelangannya. Dia menatap Dipta yang tanpa aba-aba sudah menggandeng tangannya.

“Lain kali kalau mau ke mana-mana bilang. Biar gue gak kelimpungan nyariin lo.”

Claudia seperti dihipnotis dengan tatapan Dipta. Dirinya merasakan debaran tak biasa dan tanpa sadar menganggukkan kepala. Dipta tersenyum tipis, sangat tipis sampai tidak ada yang menyadari. Dia kemudian membawa Claudia menjauh dari sana, dengan tetap menggenggam tangan gadis itu seolah Claudia adalah barang berharga yang harus selalu dijaga.

...•••...

“Gue bilang juga apa, Li. Si Claudia tuh mukanya dua—”

“Mukanya banyak!” potong Aeli tidak santai.

Langsung menyesap minumannya hingga tersisa setengah gelas. Kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja dengan kasar. Membuat beberapa murid yang berada di kantin menoleh bingung ke arah mereka.

“Kalem-kalem. Cewek cantik gak boleh marah-marah.” Clara menenangkan. Dibalas tatapan tajam oleh Aeli.

“Gue tau gue cantik. Tapi kalau lo yang bilang malah bikin gue gumoh, anjir!” Aeli beneran batuk-batuk setelah mengatakan itu.

Clara geleng-geleng. Tingkah sahabatnya yang satu ini kadang-kadang memang suka bikin kepala pusing. Adaaaa ... saja.

“Daripada bahas adek lo mending—”

“Kapan nyokap gue ngelahirin anak babi sih?!” pekik Aeli tidak terima sambil terus berusaha menormalkan rasa perih di tenggorokannya. Padahal dia juga tidak tersedak minuman, tapi entah kenapa malah terbatuk hebat seperti ini.

“Emang bukan mak lo yang lahirin. Tapi bibitnya kan murni dari bapak lo!” geram Clara.

“Bodo amat. Jangan pernah sebut dia adek gue. Karena gue gak punya adek selain Gita.”

“Heran gue. Ketimbang manusia ternyata lo lebih milih monyet jadi adek lo, ya?” Clara berdecak tiga kali.

“Karena monyet gue jauh lebih mulia dari dia.”

Sudahlah, Clara memang tidak akan pernah menang jika melawan Aeli dalam hal perbacotan. Gadis itu terlalu jago membalas setiap kata yang dia lontar.

“Oh ya, sepupu gue ada chat lo nggak?”

Pertanyaan Clara menimbulkan kernyitan di dahi Aeli. “Ngapain sepupu lo chat gue?”

“Katanya mau minta prediksi UTS matematika kelas sepuluh.”

“Ngapain minta ke gue?”

“Ya kan lo yang punya salinannya, Dongo!”

Clara hampir saja menampol wajah songong Aeli jika tidak ingat bahwa manusia ini adalah seorang Faye Aeliya. Selain menyebalkan, Aeli juga punya kelebihan bikin orang lain emosi tingkat tinggi.

Lantas gadis itu mengedikkan bahunya tak acuh. “Nggak tau. Dari tiga hari lalu gue belum buka sosmed,” jawabnya enteng.

Mata Clara membelalak. “Lo ngapain aja gak buka sosmed tiga hari, anjir? Lagi simulasi jadi manusia purba lo?” Clara terheran-heran.

“Belajar lah! Gini-gini juga gue masih mendambakan jadi lulusan terbaik.”

“Belajar ya belajar, tapi minimal buka sosmed lah, Li! Pantesan chat gue dari zaman batu gak lo bales-bales.”

Aeli nyengir, mengangkat satu tangan membentuk tanda peach. Meski Aeli lebih menakutkan dari Clara, tetap saja Aeli langsung angkat tangan jika Clara sudah mengomel panjang. Cocot gadis itu, berbahaya.

“Wi-fi lo aktifin. Buru,” suruh Clara sambil mengotak-atik ponselnya.

“Buat apa?” tanya Aeli kemudian menyuap nasi ke dalam mulut.

“Gue hospotin. Kan lo nggak punya kuota,” balas Clara sarkas.

“Semiskin-miskinnya gue pun gue masih inget buat beli kuota, Beruk.” Aeli memutar bola mata muak.

“Beli kuota doang, on sosmed kagak. Keburu bangkotan sepupu gue nungguin balesan lo.”

Aeli berdecak. “Kalau nggak mau ribet suruh aja sepupu lo itu dateng buat temuin gue. Kalau emang butuh banget ntar gue siapin salinannya.”

“Eh iya juga ya? Ntar deh gue suruh dia buat temuin lo.”

Aeli memanggut saja. Tidak terlalu peduli. Dan seperti biasa, mata Aeli langsung tertuju pada Sky begitu melihat cowok itu muncul di kantin. Sudut bibirnya tertarik menciptakan senyum tipis. Tentu saja Clara menyadari arah pandang Aeli.

“Samperin sana. Masa seorang Aeli beraninya ngeliatin dari jauh doang?”

Perkataan Clara bikin Aeli menatap, kembali meletakkan sendoknya ke piring.

“Lah, malah melas nih orang. Takut lo?” tanya Clara. Dibalas gelengan lemah tentunya.

“Gue suka sama Sky,” aku Aeli, menyorot Clara dalam-dalam. “Sukaaaaa ... banget.”

“Ya terus?” Clara menyahut tidak minat.

“Yaudah gitu aja,” ceplos Aeli sambil kembali melanjutkan acara makannya yang tertunda. Seolah yang dikatakannya barusan tidak memiliki makna apa-apa.

Clara sampai tidak bisa menutup mulut melihat kelakuan random Aeli. Meski sudah bersahabat hampir lima tahun, bahkan sampai saat ini Clara belum bisa mengerti Aeli sepenuhnya. Sahabatnya itu, kelewat membingungkan. Tingkahnya sulit ditebak dan kadang berbanding terbalik dengan dirinya yang asli.

“Li, gue nggak tau ya lo beneran suka sama si Sky atau cuma main-main. Yang jelas gue gak pernah liat lo bertingkah kaya gini sebelumnya.” Clara mulai menyerocos. Aeli manggut-manggut sambil mengunyah makanan seraya memperhatikan Clara.

“Kalau lo emang beneran suka sama dia, gue dukung. Tapi ada yang mau gue sampaiin.”

“Apaan tuh?” tanya Aeli penasaran.

“Lo harus gerak.”

“Ck, dari masih jadi zigot juga gue udah gerak,” sahut Aeli asal.

Entah sudah berapa kali Clara dibuat mengelus dada mendengar balasan Aeli yang selalu sukses menyulut emosinya.

“Gak gitu maksudnya, Sayangku.” Clara coba bersabar. Aeli malah hampir muntah mendengar kata terakhir yang Clara lontar. Namun gadis itu mengabaikan dan tetap melanjutkan siraman kalbunya.

“Maksud gue lo harus deketin dia duluan. Tipe cowok kaya Sky itu mana peka kalau cuma lo liatin. Paling malah temen-temennya yang kege'eran. Lo kode aja belum tentu peka apalagi cuma lo liatin doang. Yang ada mata lo copot ngeliatin dia mulu.”

Aeli manggut, membenarkan pernyataan Clara dalam hati. Meskipun gadis itu tolol dalam pelajaran, tapi kalau soal cowok dia jagonya. Maklum, selain terkenal sebagai sahabat Aeli satu-satunya, Clara juga terkenal sebagai orang yang paling sering gonta-ganti pacar.

“Jadi kesimpulan omongan lo barusan, gue harus agresif gitu?”

“Singa lo? Agresif segala,” ceplos Clara.

“Gue serius.” Aeli mulai kesal.

“Gue dua rius.”

Jika sekali lagi Clara berani menguji emosi Aeli, sudah bisa dipastikan minuman Aeli yang masih tersisa setengah gelas akan tumpah ke wajahnya. Atau mungkin gelasnya pun akan ikut mendarat di wajah Clara.

“Canda oi! Muka lo kaya udah mau makan orang aja lama-lama,” celetuk Clara lagi. Aeli masih menatapnya horor.

“Ya lo tau lah maksud gue. Tapi jangan agresif-agresif banget. Yang ada si Sky ngibrit pas liat lo.”

Raut Aeli kembali tenang, kini mata bulatnya malah berkedip-kedip. Entah sejak kapan manusia setan ini bisa bertingkah sok menggemaskan.

“Pokoknya lo harus mulai deketin dia pelan-pelan. Bikin dia nyaman. Kalau lo nggak mulai mah tuh cowok juga gak bakal mulai. Mana tau dia lo suka sama dia. Kata Fabian sih, Sky itu gak pernah pacaran. Sebenarnya banyak yang mau deketin Sky, tapi Sky-nya bodo amat.” Clara mengambil nafas setelah berucap panjang lebar. Kembali melanjutkan.

“Pernah dulu ada yang nyoba nyatain perasaannya ke Sky, tapi ditolak. Mana nolaknya pakai hati, apa nggak makin baper itu cewek. Lo tau kan Sky lembutnya kaya apa? Ujung-ujung gamon deh. Tapi manusianya sekarang udah pindah sekolah gak tau ke mana.”

Aeli masih diam mendengarkan.

“Kalau lo perhatiin secara rinci, Sky itu wajahnya emang manis banget. Senyumnya candu bentuk mukanya bulet, imut, gemesin, pokoknya yang lucu-lucu diembat semua sama dia. Gak heran banyak yang diam-diam suka sama tuh cowok.” Clara yang bicara Clara juga yang gemas.

“Gausah lo perjelas. Gue aja udah hampir pingsan ngagumin kelucuan dia,” protes Aeli.

“Asli. Kalau tipe gue yang lucu-lucu mungkin gue juga bakal gila kaya lo.”

Aeli terkekeh. Tidak membantah ucapan Clara karena kenyataannya memang begitu.

“Oke, gue bakal mulai deketin dia. Gue pastiin dia bakal jatuh sejatuh-jatuhnya sama gue.” Aeli menyunggingkan senyum miring.

“Sekedar info sih. Kelewat pede itu gak bagus.”

“Btw, buat permulaan, gue minta informasi Sky dong. Malu mau nanya-nanya sendiri.” Aeli nyengir, menunjukkan deretan gigi rapinya.

“Lo punya malu gue langsung sungkem di kaki monyet lo, Li.”

...•••...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!