...•••...
Jika kemarin Aeli terlihat menghindari Sky, hari ini gadis itu malah tidak hadir ke sekolah. Mobil merah cerah yang biasa terparkir di satu tempat kini sama sekali tidak terlihat.
Sky yang sejak tadi duduk di jok motornya menunggu kemunculan Aeli menarik nafas dalam lalu dihembuskan. Sepertinya Aeli memang tidak akan muncul. Secara jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima. Yang artinya, bel masuk sudah berbunyi sejak lima menit lalu.
Iya, Sky memilih tetap berada di parkiran hanya karena ingin melihat kedatangan Aeli. Seperti yang dia lakukan biasanya.
“Sky,” panggil seseorang tepat saat Sky akan beranjak.
“Dip, lo muncul dari mana?” tanya Sky heran. Pasalnya dia tidak melihat kedatangan Dipta sebelumnya.
“Pager belakang. Gue telat. Lo sendiri ngapain masih di sini?”
Tidak mungkin kan Sky bilang jika dirinya tengah menunggu Aeli. “Gue juga telat.”
“Motor lo bisa masuk,” tunjuk Dipta.
“Iya, nyogok,” balas Sky asal. Malas mikir.
Masalahnya setahu Dipta satpam Flourst itu tidak bisa disogok loh. Sky nyogoknya pakai apa coba? Pahala?
“Jam pertama pelajaran siapa sih? Gue lupa,” tanya Dipta.
“Mandarin class. Miss Huang Shao Lei.”
Dipta sempat mengatupkan bibir sejenak sebelum berujar. “Masuk lo? Gue sih mendingan bolos daripada kena semprot. Males banget.”
“Gue ... masuk aja.”
“Lo serius, Sky?” Bukan apa-apa. Masalahnya itu guru killer abis.
“Iya. Duluan.”
Dipta berdeham. Setelahnya Sky benar-benar melangkah memasuki gedung sekolahan. Dia tidak tahu deh apa yang Sky pikirkan sampai berani menyerahkan diri ke kandang singa. Tidak ada ngeri-ngerinya pula.
“Semoga selamet deh lo, Sky.” Dipta mematri langkah menuju kantin.
...•••...
Aeli masih setia berada di sebelah Mahesa. Menggenggam tangan dingin pria itu sembari menatap lamat wajah pucat yang sebagian ditutup oleh masker oksigen. Keadaan pria itu kritis. Aeli bahkan baru tahu jika papanya itu mengidap penyakit jantung kronis.
Sejak kemarin, Aeli terus bertahan di rumah sakit ini. Dia hanya pulang sebentar lalu kembali lagi. Aeli tidak ingin meninggalkan Mahesa terlalu lama, mengingat kondisi pria itu terus memburuk.
Aeli terus berdo'a dan berharap semoga Mahesa bisa melewati masa kritisnya. Sungguh, Aeli tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Mahesa. Dia tidak siap merasakan kehilangan untuk kali kedua.
“Pa, Eli di sini buat Papa. Tolong liat Eli, Pa.”
Aeli mengecup punggung tangan itu. Setitik air mata kembali menetes, dan Aeli membiarkannya tanpa diseka. Aeli sudah tidak memiliki siapapun lagi selain Mahesa, dia bahkan sulit untuk mengakui Ashila dan Claudia sebagai anggota keluarga. Sangat sulit.
“Li,” panggil Ashila yang baru masuk ke dalam ruangan. Aeli menyeka air matanya dengan pelan tanpa mengubah posisinya sama sekali.
“Aeli, makan dulu, ya. Dari kemarin kamu belum makan apa-apa loh, biar Mama yang ganti jagain papa. Ya?” bujuk wanita itu lembut.
“Nggak.” Aeli membalas dingin. Dia sudah tidak bisa mempercayai siapapun sekarang.
“Kasian perut kamu, Li. Seenggaknya diisi sedikit. Mama ada bawa makanan dari rumah. Makan ya, Sayang?”
“Aku nggak laper.”
“Atau mau Mama beliin aja di bawah?” Ashila tidak menutup mata bahwa Aeli tidak pernah ingin menyentuh makanan buatannya.
“Tante berisik. Ganggu istirahat papa.”
“Mama janji nggak berisik lagi kalau Aeli mau makan. Nanti kalau Aeli ikutan sakit, siapa yang ngasih semangat buat papa?”
Aeli diam, matanya tak henti-hentinya memandangi Mahesa. Aeli ingin melihat mata itu terbuka lagi, menatapnya, tetapi bukan tatapan penuh benci melainkan penuh cinta dan kasih sayang.
“Li, tolong sekali ini aja dengerin Mama. Setelah itu Mama janji nggak akan maksa Aeli lagi.”
Aeli memejamkan mata sejenak, kembali mengecup punggung tangan Mahesa dan meletakkan tangan itu dengan hati-hati ke atas brankar. Aeli berdiri, mengusap rambut Mahesa pelan lalu mengecup dahinya penuh kelembutan. Aeli tersenyum tipis setelahnya.
“Eli keluar sebentar ya, Pa. Nanti Eli balik lagi.”
Dengan berat hati Aeli berbalik badan. Tatapan datarnya jatuh ke Ashila yang masih berdiri di sana.
“Jagain papa. Aku nggak akan pernah maafin Tante kalau terjadi sesuatu yang buruk ke papaku selama aku pergi,” tegas Aeli. Tidak bisa dibantah sama sekali.
Ashila mengukir senyum hangat. “Mama akan jagain papa.”
Tanpa merespon lebih, Aeli berjalan keluar ruangan. Meninggalkan papanya dengan orang yang paling dia benci di dunia ini.
Jangan pikir akhir-akhir ini Aeli mulai luluh dan menerima kehadiran Ashila. Itu salah besar. Sampai mati pun Aeli tidak akan pernah menerima wanita itu beserta ekornya dalam hidup Aeli. Karena bagaimana pun, kehancuran Aeli saat ini berasal dari mereka.
Bagi Aeli, mereka hanyalah orang asing yang dengan lancang merenggut kebahagiaan dan keharmonisan keluarganya. Bahkan tidak segan merebut cahaya paling terang dalam hidupnya.
...•••...
Pesan dari Clara muncul paling atas begitu Aeli membuka aplikasi chat yang belum dibukanya sejak kemarin. Saat ini Aeli tengah berada di kantin rumah sakit, mengisi perutnya yang mulai nyeri. Dia juga baru sempat membuka ponsel karena dari kemarin memang tidak kepikiran untuk mengecek benda tersebut.
Kelar dah
Durururu
Hoiiiii!
Lo ke mana?!
Kenapa nggak masuk?
Lo sakit?
Papa lo ngulah lagi?!
Bales nyet!
Jangan bikin gue khawatir!
Aeli geleng-geleng. Clara jika dikabari endingnya pasti bakal nyepam.
Aeliya
Papa gue masuk rs, keadaannya kritis. Gue gak bisa ninggalin dia gitu aja
Tiga menit kemudian, muncul balasan dari Clara.
Kelar dah
Hah? Sakit apa? Sejak kapan?
Aeliya
Jantung. Sejak kemarin
Kelar dah
Jadi karena itu kemarin lo pulang cepet? Kenapa nggak bilang sih?!
Aeli mendesis panjang. Bagaimana cara bilangnya, ya?
Aeliya
Bukan. Pas gue pulang itu gue liat papa gue jatuh dari ranjang
Kelar dah
Lah mak tiri lo mane njir? Dia nggak jagain?
Aeliya
Tau deh
Eh lo di mana sih? Bukannya sekarang jam pelajaran? Santai banget main hp
Kelar dah
Iya ini gue mainnya diem-diem. Miss Jennice lagi ceramah tuh di depan
Ntar pulang sekolah gue langsung ke sana yak?
Rs mana btw?
Aeliya
Rs. Kusumajaya
Kelar dah
Sip udahan dulu. Bye sayangku
Aeliya
Najong!
Aeli keluar dari roomchat-nya dan Clara. Detik itulah matanya menangkap sebuah pesan dari seseorang yang membuat Aeli membatu sejenak. Jantungnya lagi-lagi berdebar kencang melihat beberapa pesan yang belum dibacanya sejak kemarin.
Aeli penasaran, tapi ragu untuk membukanya. Aeli takut dirinya menjadi lemah dan malah dengan sengaja membiarkan rasa sakit itu menggerogoti hatinya lagi.
Bodo amat. Aeli penasaran.
Punya gue
Selamat pagi, Li.
Tadi kenapa kamu buru-buru pulang?
Li, jangan lupa makan ya. Tadi saya liat wajah kamu agak pucat.
Maaf ya kalau saya ada salah.
Hari ini kamu nggak masuk, Li? Saya nggak liat mobil kamu di parkiran.
Saya harap kamu baik-baik aja, Aeli.
Aeli menggigit bibir bawahnya pelan. Sama sekali tidak menyangka jika Sky akan mengirimkannya pesan sebanyak itu. Terkesan mengkhawatirkan dirinya pula. Mata Aeli mendadak berkaca-kaca, perhatian kecil itu tanpa sadar menyentil hati mungilnya.
“No, Aeliya. Lo gak boleh baper. Inget, dia nggak suka sama lo. Dia cuma lagi beramal.” Aeli kembali mengingatkan diri sendiri.
Buru-buru dia keluar dari roomchat tersebut dan mematikan ponsel. Bisa-bisa pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya runtuh begitu saja melihat betapa manisnya cowok imut bernama Sky Lazaro itu.
Tidak boleh! Aeli tidak akan pernah membiarkan dirinya terluka lagi. Sudah cukup luka yang dia dapat selama ini dan Aeli amit-amit menambah luka baru.
...•••...
Sejam lalu, dokter mengabarkan bahwa Mahesa sudah berhasil melewati masa kritisnya. Detik itulah Aeli bisa bernafas dengan baik, setidaknya sedikit lebih baik dari yang dia rasakan sebelumnya. Dia lega, senang karena Mahesa ternyata mendengarkan kalimatnya untuk terus berjuang.
Mahesa sudah dipindahkan ke ruang rehabilitasi untuk pemulihan. Namun pria itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Untuk saat ini, Aeli berada di depan ruangan. Sedang Ashila pulang sebentar.
“Li!” Suara Clara terdengar. Aeli menoleh dan mendapati sahabatnya itu berjalan mendekat. Masih dengan seragam sekolah. Mengernyit, sekarang baru jam sepuluh pagi tetapi Clara sudah sampai di sini.
“Akhirnya ketemu juga nih ruangan bapak lo. Repot anying nyarinya. Mana lo nggak ngasih tau tempatnya di sebelah mana,” cerocos Clara langsung tanpa briefing. Ikut mendudukkan diri sebelah Aeli.
“Kenapa lo nggak nanya ke resepsionis?”
Clara menyengir. “Hehe lupa. Saking semangatnya gue langsung gas aja tanpa nanya.”
“Pinter sih lo.”
“Jelas.” Clara melepas ransel yang dari punggungnya dan diletakkan ke atas paha. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Nih, gue bawain kesukaan lo.” Clara menyerahkan se-kresek yoghurt rasa stroberi dan beberapa jenis snack.
“Gue nggak nyuruh lo bawa ginian.”
“Gue yang mau. Biar mood lo bagus lagi.”
Aeli berdeham panjang. “Makasih. Harusnya nggak perlu repot-repot.”
“Nggak repot gue mah.” Clara menyunggingkan senyum manis. “Oh ya, kondisinya papa lo gimana?”
Aeli balas tersenyum. “Makin baik. Papa udah berhasil lewatin masa kritisnya.”
“Syukur deh. Awas aja kalau dia bangun terus marah-marah lagi sama lo. Gue potong infusannya.”
Aeli geleng-geleng. “Sadis banget lo sama papa gue.”
“Papa lo nyebelin.”
Tujuan Clara ke sini tentu bukan untuk menjenguk Mahesa, melainkan menemani sahabatnya yang mungkin sangat kacau. Clara tahu, semarah apapun Aeli pada Mahesa, dia tetap menyayangi pria itu layaknya seorang anak pada umumnya. Aeli tidak pernah benar-benar membenci Mahesa seperti yang selalu dia katakan. Dia hanya, kecewa.
“Lo bolos apa gimana, Clar? Bukannya sekarang masih jam sekolah?” tanya Aeli.
“Disuruh pulang cepet, njir. Gurunya rapat.”
Aeli ber-oh panjang sambil manggut-manggut.
“Eh gila lo tau nggak tadi Sky kena jemur di bawah tiang bendera selama dua jam pelajaran karena telat masuk kelasnya Miss Shao Lei.”
“Hah? Kok bisa?” tanya Aeli. Tanpa sadar membulatkan mata.
“Gue denger-denger sih karena telat.”
“Kenapa telat?”
“Mana gue tau anjir. Kesiangan kali.”
Aeli terdiam. Menyadari ada yang salah dalam dirinya. Mengapa juga dia harus ambil tahu? Toh Sky bukan siapa-siapanya.
“Oh.”
Clara mengerjap melihat respon Aeli. Cuma begitu doang nih? Seriusan?
“Lo kaya nggak ada khawatir-khawatirnya. Nggak pengen nanya keadaan dia gimana?”
“Ngapain?”
“Hah?” Clara cengo. Ini dia tidak salah menemui orang, kan?
“Lo serius nggak pengen tau? Mukanya tadi pucet banget loh. Si Fabian bilang Sky dari kecil emang—”
“Apasih, Clar? Ngapain lo jelasin ke gue?” Aeli terlihat sebal dan itu membuat Clara makin kebingungan.
Matanya menyipit penuh selidik. “Kalian berantem?”
Aeli menggeleng cuek. “Nggak.”
“Halah nggak mungkin. Berantem nih pasti.”
“Nggak Clar, enggak. Udah deh gausah bahas dia terus. Kalau lo masih ngotot pengen bahas dia mending balik deh.”
Clara tersenyum jahil. Tidak perlu dijelaskan pun dia sudah tahu jika sahabatnya ini sedang punya masalah dengan Sky. Clara penasaran sih, tetapi bertanya pada Aeli saat ini pasti tidak ada gunanya. Aeli tidak mungkin menjawab, yang ada dia malah disuruh pulang. Bukannya sudah, ya?
“Iya deh iya. Gue gak bahas dia lagi.”
Tepat setelah Clara menyelesaikan ucapannya. Seseorang datang mendekat, berhenti di sebelah mereka.
“Li,” panggilnya membuat Aeli maupun Clara ikut menengok. Mata Clara membulat melihat kehadiran Dipta.
“Loh, Dip. Lo ngapain di sini?” tanya Aeli, bingung. Apalagi Dipta hanya sendiri, tidak bersama Claudia seperti kemarin.
“Mampir. Pengen tau perkembangan papa lo. Sekalian liat keadaan lo juga.”
Kini bukan hanya mata Clara yang terbuka lebar-lebar, mulutnya pun turut serta.
“Keadaan papa gue udah lumayan membaik kok. Dia berhasil lewatin masa kritisnya,” jelas Aeli. Tersenyum tipis.
“Syukurlah. Gue lega dengernya,” balas Dipta. “Lo sendiri? Udah makan?”
Aeli mengangguk. “Udah tadi di kantin.”
“K-kalian ... akur?” tanya Clara terkejut. Otaknya sedikit sulit mencerna keadaan.
“Emangnya selama ini kita nggak akur?” balas Aeli enteng. Ingin rasanya Clara berteriak di wajahnya dan mengatakan,
Kalian kan musuh bebuyutan, bodoh!
Tetapi bukan itu yang lolos dari mulutnya. “Sejak kapan njir?! Gue baru keluar goa apa gimana sih?!”
“Iya, baru keluar goa lo emang.” Dipta yang menyahut. Mendudukkan diri di kursi tunggu tepat di sebelah Aeli dengan santainya.
“Astaga naga kuda onta!” Kali ini Clara beneran kaget mampus. “Dipta ngomong sama gue, Li!” Gadis itu heboh sendiri.
“Nggak, dia ngomong sama setan,” ceplos Aeli gregetan. Dipta terkekeh dibuatnya.
“Sumpah, ya! Hari ini ada apaan sih sebenarnya? Dari tadi gue dibikin kaget mulu perasaan. Eh, kalian kok bisa akur sih? Gimana ceritanya?” Jiwa penasaran Clara meronta-ronta.
“Kepo ish.”
“Ye pelit banget gak mau berbagi.” Clara cemberut. Namun ekspresinya berubah dalam sekejap. “Ini serius kalau anak-anak Flourst tau bakal heboh banget sih. Siap-siap diserbu lo, Li.”
“Bodo amat nggak peduli. Ya nggak, Dip?”
“Yap.”
Hari ini, benar-benar hari yang penuh kejutan untuk Clara. Untung dia tidak punya riwayat penyakit jantung. Jika iya, mungkin dia sudah ikut terbaring bersama Mahesa.
Ya nggak gitu juga sih.
...•••...
Karena pagi tadi Sky sempat berjemur di bawah sinar matahari selama sembilan puluh menit, maka kini dia terpaksa tiduran sepulang sekolah. Untungnya murid-murid Flourst dipulangkan lebih awal karena seluruh guru-guru diharuskan mengikuti rapat. Jadi Sky bisa segera beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Sky itu tidak boleh terlalu lama berada di bawah sinar matahari langsung. Dia akan langsung merasa lemas, pusing, dan berkeringat dingin. Sky akan sedikit bisa meminimalisir rasa-rasa itu jika kepalanya dilindungi topi atau penutup kepala lain. Asal tidak terpapar secara langsung.
“Ck, ck, ck. Ini nih akibatnya anak bandel.”
Rey yang tiba-tiba membuka pintu kamar Sky langsung menyeletuk begitu melihat kondisi kembarannya. Sky menoleh, mata sayunya menatap penuh tanya pada Rey.
“Kenapa?”
Rey masuk tanpa disuruh. Ikut rebahan di kasur Sky seenak jidat.
“Lo bego. Ngapain juga masuk telat pas pelajaran Miss Shao Lei? Kepengen banget ngerasain hukuman?” ceplos Rey sesukanya.
“Berisik lo, Rey.” Sky dongkol juga lama-lama diejek terus.
“Lagian udah diajak bolos Dipta malah milih masuk. Aneh lo suwer.”
Sky sudah lelah untuk menggerakkan mulut. Maka dia memilih diam sambil menutup mata.
Rey tiba-tiba menemukan memorinya. “Lahiya, tadi pagi lo kan nggak telat, njir. Bahkan kita berangkatnya barengan perasaan. Lo nyangkut di mana dulu?”
“Di mana aja,” sahut Sky asal.
“Jangan bilang lo nyamperin Aeli di kelasnya? Eh, Aeli kan nggak masuk, ya? Terus lo ke mana?”
“Nggak ke mana-mana.”
“Gue gampar ya, Sky.” Rey gondok setengah mati. Tapi otaknya sambil berpikir.
“Ohhhh i see. Lo pasti nungguin Aeli, kan? Kan kan? Serius? Wah sampai segitunya lo, ya?” Rey menggeleng takjub. Padahal Sky belum membenarkan tebakannya. Tapi memang benar sih.
“Bang Reeeey! Katanya mau nemenin Mey main!” Teriakan Mey melengking nyaring menembus kamar Sky. Tapi wujudnya tidak ada.
“Ah elah si bocil ganggu banget,” gerutu Rey. Kembali menatap Sky. “Urusan kita belum selesai.”
“Urusan aja nggak ada,” cibir Sky.
“Baik-baik lo. Jangan maksain diri ngelakuin apapun.”
“Hmm.”
Setelahnya, Rey benar-benar enyah dari kamar bernuansa starry night itu. Sky membuka mata setelahnya. Pandangannya terpusat pada langit-langit kamar. Perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Untungnya pusing di kepala Sky sudah agak mereda, tidak separah tadi.
Ponsel Sky yang tergeletak di nakas samping ranjang tiba-tiba bergetar. Segera cowok itu meraihnya dan melihat nama Clara terpampang di sana. Beberapa waktu lalu Clara memang menyuruh Sky menyimpan nomornya, mungkin saja sewaktu-waktu Sky butuh.
“Halo,” sapa Sky setelah mengangkat panggilan.
“Sky, lo di mana?”
“Di rumah, Clar. Ada apa?”
“Enggak, ini gue cuma mau nanya. Lo lagi berantem sama Aeli ya, Sky?”
Pertanyaan Clara menciptakan kerutan di kening Sky. “Enggak, saya nggak berantem sama Aeli. Memangnya kenapa?”
“Ish si Aeli dari tadi aneh banget tau. Kaya nggak mau gitu denger soal lo. Kan tadi gue nemuin dia di rumah sakit, terus gue kasih tau kalau tadi lo dihukum. Eh si Aeli cuek bebek kaya nggak peduli. Makanya gue pikir kalian lagi berantem.”
“Aeli sakit?” tanya Sky yang tiba-tiba salfok.
“Eh bukan. Yang sakit bapaknya. Dia dari kemarin di rumah sakit jagain om Mahes, tadi juga nggak masuk karena itu.” Clara menjelaskan.
“Kalau lo mau ke sini dateng aja, Aeli kayanya sendirian. Tadi sempet ada Dipta sih, tapi tuh cowok udah cabut soalnya mendadak ada urusan.”
“Dipta ada di sana juga?”
“Iya dan lo tau, Aeli sama Dipta bisa akur banget woi! Nggak tau deh kapan baikannya. Gue aja syok berat liat mereka bisa damai.”
Sky bungkam sejenak. Dia bahkan tidak tahu jika Aeli dan Dipta sudah akur.
“Dateng ya, Sky. Di RS. Kusumajaya. Kasian Aeli nggak ada yang nemenin.”
“Iya. Makasih udah ngasih tau saya, Clar.”
“Sans. Gue tutup, ya. Bye Sky!”
Setelahnya, sunyi. Tapi tak lama Sky langsung beranjak dari tempat tidur untuk segera bersiap menghampiri Aeli. Mengabaikan rasa lemas yang masih bersemayam di tubuhnya.
Untuk saat ini, yang ingin Sky lakukan hanya menemui Aeli. Entah atas dasar apa yang jelas dia ingin melihat wajah gadis itu. Meski rasanya sedikit ragu karena penjelasan Clara tadi.
...•••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
miyura
hah.. dasar cinta anak muda..
2023-10-09
0
Erni Fitriana
ehmmmmm....kira"..alili bakal ngomong ke sky gak yaj???🤭🤭🤭
2023-09-05
0