three

...•••...

Jika sedang kesal, biasanya Aeli menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Menyibukkan diri dengan latihan soal hingga bisa melupakan hal yang mengacaukan pikirannya.

Tujuan awal Aeli memang ke sana, tapi rasa kantuk dan lelah yang mendera membuatnya membelokkan langkah menuju UKS sekolah. Aeli butuh tidur siang, dengan begitu mungkin bisa memperbaiki suasana hatinya.

Saat hampir sampai di depan UKS, Aeli dikejutkan oleh seseorang yang baru keluar dari sana. Dia membulatkan mata, memperhatikan dahi yang kini ditutup oleh plester. Tanpa diminta kaki Aeli melangkah mendekat, dirinya bergerak impulsif.

“Dahi lo ... kenapa?” tanya Aeli pada orang itu. Sang empunya sempat terkejut melihat kemunculan Aeli secara tiba-tiba, namun dengan cepat rautnya kembali biasa.

“Tadi saya nggak sengaja kejedot ujung meja,” jawab Sky. Aeli masih memperhatikan dahinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kenapa bisa? Siapa yang jahatin lo?” Nada bicara Aeli sarat akan kekhawatiran.

Sky memasang senyum yang tanpa sadar membuat jantung Aeli jedag-jedug tidak karuan. Manis banget, tolong!

“Nggak ada yang jahatin saya. Saya-nya yang nggak hati-hati.”

Raut Aeli menjadi melas, dia ingin menyentuh dan mengusap dahi Sky yang terluka. Namun Aeli tahan sebisanya. Bisa-bisa Sky kabur melihat sikap anehnya itu.

“Lain kali jangan terluka, ya.”

Ucapan Aeli menciptakan kerutan tipis di dahi Sky. Aeli yang ditemuinya sekarang benar-benar berbeda dengan sosok Aeli saat di kantin sekolah tadi. Ternyata benar, manusia memang memiliki banyak sisi yang belum tentu diketahui semua orang.

“Iya.” Sky menjawab pelan. Dia akan pamit pergi tetapi tertahan duluan oleh ucapan Aeli.

“N-nama lo siapa? Kita belum kenalan.”

Dengan senang hati Sky menyebutkan nama lengkapnya. “Saya Sky Lazaro, kelas 11-5. Panggil Sky aja.”

Aeli memanggut. Meski dia sudah mengetahui nama cowok itu dari Clara, tetap saja Aeli ingin mendengar Sky memperkenalkan diri secara langsung.

“Sky, ya?” Aeli bertanya lagi. Padahal Sky sudah menyebutkan namanya dengan sangat jelas.

Cowok berwajah manis campur imut itu mengangguk. Setiap gerak geriknya selalu tampak lucu di mata Aeli. Sepertinya Aeli benar-benar tertarik dengan cowok ini.

“Kalau gitu saya pamit dulu,” kata Sky mengundurkan diri sembari memasang senyum. Dibalas anggukan pelan oleh Aeli.

Gadis itu menatap kepergian Sky sambil menggumam takjub dalam hati. Jujur saja, selama Aeli berada di sebelah Sky tadi, dirinya merasa seperti kerdil karena terlalu pendek.

“Aeli bego! Kenapa lo nggak minta nomor HP-nya sih?!” rutuk Aeli begitu menyadari kebodohannya barusan.

Dia berdecak, dirinya telah melewati satu kesempatan berharga untuk selangkah lebih dekat dengan Sky. Seharusnya otaknya bisa berpikir lebih cepat.

“Masa gue susulin cuma buat minta nomer HP? Tapi gue pengen deket sama dia ... Gimana dong?” Aeli cemberut.

“Pokoknya gue harus dapetin nomor dia. Gue harus bisa jadian sama dia.” Aeli membulatkan tekad. Tersenyum lebar kemudian masuk ke dalam UKS untuk tidur siang.

Untuk ke sekian kalinya, Aeli melewatkan jam pelajaran tanpa merasa berdosa.

...•••...

Semakin ke sini, Aeli menjadi semakin sering memperhatikan Sky. Entah saat cowok itu berkumpul bersama teman-temannya atau tengah sendiri, Aeli tetap memperhatikan.

Sky memiliki senyum yang manis, dan itu seolah menghipnotis Aeli untuk jangan berpaling. Sekali saja Aeli melihat senyum itu, dia akan memandanginya terus menerus hingga dirinya merasa puas. Bagi Aeli, senyum Sky itu mirip koala. Lucu dan menggemaskan. Dan Aeli tidak tahan melihat yang gemas-gemas.

Aeli bahkan tidak peduli jika Sky maupun teman-temannya yang lain sadar jika Aeli tengah memandang ke arah Sky. Dia malah dengan senang hati melempar senyum. Padahal selama ini, Aeli benar-benar anti dengan apapun yang berhubungan dengan Dipta.

Cerita berlebihan Clara yang membuatnya ilfeel duluan. Clara terlalu membanggakan Dipta, memujanya seolah manusia itu adalah dewa. Bagaimana Aeli tidak gregetan coba?

Ditambah kejadian kemarin, Aeli makin ogah membiarkan bola matanya sedetik pun menatap cowok itu. Tatapannya hanya untuk Sky, khusus untuk Sky.

“Aeli, Bu Nita titip pesan. Katanya lo sekarang ditunggu Bu Nita di ruang BK,” beritahu teman sekelas Aeli tepat dirinya akan beranjak dari tempat duduk.

Aeli menyorot datar. Dia langsung tahu penyebab dirinya dipanggil begitu mendengar kata ruang BK. Yang pasti tidak jauh-jauh dari kejadian kemarin.

“Bu Nita kayanya nge-fans banget sama lo, Li. Manggil-manggil mulu perasaan,” kata Clara di tempat duduknya.

Aeli tersenyum sinis, menyahut. “Biasa. Kapan lagi berurusan sama orang penting.”

Setelahnya, Aeli langsung berlalu keluar kelas. Dirinya sudah sangat siap mendengar ceramah panjang Bu Nita karena kemarin kembali membuat ulah di kantin sekolah.

Aeli mengetuk pintu ruangan satu kali sebelum masuk. Kurang ajar begini Aeli juga masih punya sopan santun. Ya, walaupun benar-benar minus.

“Masuk, Aeli,” kata Bu Nita. Nada bicaranya tidak ramah sama sekali. Mungkin karena sudah terlalu bosan terus menerus berhadapan dengan Aeli.

“Oh, ada Clau juga ternyata,” tutur Aeli begitu melihat figur Claudia tengah duduk di sofa ruangan sambil menunduk. Dengan santainya Aeli langsung ikut bergabung di sebelah gadis itu, membuat tubuh Claudia spontan menegang takut.

“Baru selesai nulis skrip ya lo?” tebak Aeli. “Gue harap kali ini nggak ngawur-ngawur banget deh. Biar gue gak ngetawain lo lagi kaya minggu lalu.” Aeli tersenyum miring.

Bu Nita yang mendengar jelas ucapan Aeli langsung menggelengkan kepala. Anak muridnya yang satu ini memang sedikit unik dibanding murid-muridnya yang lain. Aeli senang berucap dengan bebas, tidak peduli apa ucapannya menyakiti orang lain atau tidak.

Dia juga sangat suka meremehkan bahkan memancing emosi orang lain. Saking sukanya, Aeli sampai menganggap itu sebagai hobi. Setiap ada yang berdebat dengannya pasti keburu emosi karena perkataan nyeleneh yang dia lontar. Entahlah, Bu Nita sendiri tidak tahu mengapa Aeli bisa memiliki hobi aneh seperti itu.

“Tujuan saya manggil kalian ke sini untuk—”

“Skors saya, kan? Kali ini berapa hari? Satu bulan? Satu tahun? Satu windu? Atau satu abad?” sela Aeli memotong ucapan Bu Nita dengan sangat tidak sopan.

Bahkan sekarang, Aeli sudah memposisikan duduk sambil menumpu satu kaki di atas kaki satunya. Bu Nita menghela nafas panjang melihat tingkah Aeli.

“Kamu nggak akan saya skors.”

“Wow.” Aeli takjub. Menoleh ke arah Claudia yang masih terdiam tanpa kata. “Bu Nita habis lo ruqyah? Atau lo sogok?”

“Aeliya,” tegur Bu Nita. Berusaha bersabar.

Aeli kembali ke posisi awal, wajahnya kembali datar.

“Sekarang saya tanya, kenapa kamu masih terus merundung Claudia? Apa hukuman yang saya kasih selama ini belum cukup bikin kamu kapok?” Bu Nita bertanya. Aeli memutar bola mata sebelum menjawab.

“Gimana saya bisa kapok kalau saya nggak pernah ngerasa Ibu lagi hukum saya?” balas Aeli begitu tenang. “Skors? Saya nyebutnya libur cuma-cuma.”

“Kamu meremehkan hukuman saya?”

“Ibu mikirnya gitu? Saya iyain deh biar Ibu seneng.”

“Aeli, sekali lagi saya tanya. Apa tujuan kamu terus merundung Claudia? Kenapa kamu membenci saudara kamu sendiri?”

Aeli berdecih, bergerak mencari posisi ternyaman. Dia belum menyahut ucapan Bu Nita. Malas lebih tepatnya.

“Kalau sampai berita seperti ini didengar oleh ayah kalian, kamu bisa dihukum, Aeli. Seharusnya kamu berterima kasih pada Claudia karena tidak membeberkan kejadian kemarin pada ayah kalian.”

Aeli tertawa sumbang. Berterima kasih? Dua kata yang bikin Aeli ingin muntah. Dia lantas menatap Claudia yang kini pucat pasi. Aeli benar-benar geram melihat tingkah sok lemah gadis itu.

“Oke, terima kasih banyak.”

Aeli mengatakannya penuh penekanan. Claudia bahkan bisa merasakan sebesar apa dendam yang tersirat dalam kalimat Aeli barusan.

“Gitu kan, Bu? Berarti saya udah nggak ada urusan di sini.” Aeli berdiri dari duduk, menyorot Bu Nita dengan tatapan datar.

“Kamu belum meminta maaf, Aeli. Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah dengan perbuatanmu?”

“Kenapa saya harus ngerasa bersalah? Emangnya saya bikin salah?” tanya Aeli balik. Tentunya dengan nada bicara yang cukup menguji kesabaran Bu Nita.

“Kamu pikir ulah kamu kemarin bukan sebuah kesalahan?”

“Bukanlah. Malahan yang saya lakuin kemarin masih kurang dibandingin kelakuan cewek setan ini.”

Tangan Claudia makin mendingin. Hatinya seperti diremas mendengar segala kalimat yang Aeli lontar. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menyahut.

“Aeli, minta maaf ke Claudia. Saya nggak mau dengar bantahan apapun.” Bu Nita menutur tegas.

Aeli mengepalkan tangan, berusaha mengontrol emosi yang sudah melejit sampai ubun-ubun. Dia tidak ingin meledak di sini dan berakhir membuat kekacauan. Aeli malas membuat urusannya menjadi tambah panjang.

Lantas, gadis itu memasang senyum paling manis. Menatap lembut ke arah Claudia yang masih menunduk dengan perasaan bercampur.

“Gue minta maaf ya, Clau.” Sekali lagi, Aeli mengatakannya dengan penuh penekanan.

“Liat, Bu? Saya bahkan nggak ngebantah sesuai perintah Ibu, kan? Kurang baik apa coba saya?”

Bu Nita memilih diam. Tujuannya memanggil Aeli ke sini memang untuk meminta maaf pada Claudia atas kelakuannya kemarin. Tetapi cara gadis itu meminta maaf benar-benar seperti orang yang menyimpan dendam kesumat. Bu Nita yakin, Aeli tidak mungkin diam saja setelah ini.

“Ibu tau? Ibu itu selalu ganggu jam belajar saya. Saya jadi sering ketinggalan pelajaran gara-gara Ibu.” Aeli berujar ketus. Berlalu keluar dari ruangan begitu saja. Padahal jelas-jelas sekarang sudah memasuki jam istirahat.

Bu Nita mengelus dada. Menghadapi murid bandel seperti Aeli memang tidak mudah. Dia harus punya stok kesabaran lebih jika tidak ingin berakhir adu mulut.

“M-maafin ucapan kak Aeli ya, Bu. Mungkin dia lagi kesel sama saya,” tutur Claudia takut-takut.

Raut wajah Bu Nita yang tadinya kesal langsung berubah begitu menghadap Claudia. Guru muda itu memasang senyum hangat yang begitu menenangkan.

“Kamu tidak perlu meminta maaf, Dia. Lain kali kalau Aeli berulah lagi, langsung bilang ke saya, ya. Jangan sungkan.”

Claudia tersenyum tipis, mengangguk pelan. Bu Nita sendiri tidak habis pikir mengapa Aeli begitu membenci saudaranya yang baik hati ini. Bahkan untuk dimusuhi pun, Claudia tidak pantas.

...•••...

Sejak tadi Dipta mencari keberadaan Claudia namun tak kunjung dia temukan. Hingga saat dia sampai di kelas gadis itu, seorang murid berkata bahwa Claudia tengah berada di ruang BK.

Lantas, tanpa babibu Dipta langsung berjalan menuju tempat yang dituju. Dia harus segera menemui Claudia. Namun siapa sangka jika dirinya malah bertemu dengan Aeli yang baru keluar dari ruangan dengan wajah tertekuk masam.

Ketika Aeli mendongak, mata mereka tak sengaja bertabrakan. Keduanya diam selama beberapa saat dengan pandangan terkunci. Raut Aeli berubah datar. Matanya spontan bergerak malas.

“Pahlawan kesiangan datang lagi,” gumamnya muak.

“Maksud lo apa?” ketus Dipta.

“Lo nanya maksud gue apa? Kalau gue nggak mau jawab gimana?” balas Aeli dengan raut paling menyebalkan seantero bumi.

Dipta sendiri heran, mengapa bisa ada manusia semenyebalkan Aeli di dunia ini. Seumur-umur, baru kali ini dia menemukan gadis bermulut ringan spesies Aeli. Selain berisik, ucapan gadis itu juga benar-benar memancing emosi.

“Pasti lo lagi nyariin peliharaan baru lo, kan? Tuh orangnya di dalem lagi casting.” Aeli kembali menutur.

“Bantu cariin produser buat rekrut dia deh, aktingnya menjiwai banget tuh. Sayang kan kalau bakatnya disia-siain gitu aja.”

Setelah berbicara panjang lebar, Aeli berlalu dari hadapan Dipta. Melewati cowok jangkung itu begitu saja tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya yang sang empu pasang.

“Cih, cewek aneh.” Dipta menggumam kemudian.

Baru dia menoleh ke arah pintu masuk, Claudia muncul. Memandangnya terkejut.

“K-kak Dipta? Kok di sini?”

Dipta berdecak. “Nyariin lo lah. Kalau mau ke mana-mana bilang kek, bikin repot gue banget.” Cowok itu malah mengomel.

Claudia mengedip dua kali, ini kali pertama dia melihat Dipta jadi banyak omong padanya. Biasanya hanya satu dua kata yang keluar dari mulut cowok itu. Semarah apapun dirinya.

“Kakak kenapa nyariin aku?”

“Lo udah lupa sama tugas lo?” Dipta balik bertanya.

Claudia teringat jika dirinya sudah membuat perjanjian dengan Dipta sebagai balasan kesalahan yang dia perbuat. Dan salah satu kesepakatannya, setiap masuk jam istirahat Claudia harus menemani Dipta makan di kantin.

“Maaf, Kak. Tadi aku dipanggil Bu Nita. Aku lupa buat bilang ke Kakak.” Claudia menunduk, tatapan Dipta membuatnya takut.

“Kenapa dipanggil?”

“Em, karena kejadian kemarin. Bu Nita udah tau dan nyuruh kak Aeli buat minta maaf.” Claudia menjelaskan.

“Lo yang bilang?”

Claudia menggeleng cepat. Dia tidak ingin Dipta salah paham. “Bukan aku, Kak. Bu Nita tau sendiri dari anak-anak lain. Aku juga nggak tau bakal ditemuin sama kak Aeli.”

Dipta menyorot Claudia dalam. Claudia yang ditatap begitu tentu kembali menunduk. Dia lemah melakukan eye contact dengan orang lain.

Namun detik berikutnya, Claudia dibuat terkejut begitu merasakan sebuah tangan di pergelangannya. Dia menatap Dipta yang tanpa aba-aba sudah menggandeng tangannya.

“Lain kali kalau mau ke mana-mana bilang. Biar gue gak kelimpungan nyariin lo.”

Claudia seperti dihipnotis dengan tatapan Dipta. Dirinya merasakan debaran tak biasa dan tanpa sadar menganggukkan kepala. Dipta tersenyum tipis, sangat tipis sampai tidak ada yang menyadari. Dia kemudian membawa Claudia menjauh dari sana, dengan tetap menggenggam tangan gadis itu seolah Claudia adalah barang berharga yang harus selalu dijaga.

...•••...

“Gue bilang juga apa, Li. Si Claudia tuh mukanya dua—”

“Mukanya banyak!” potong Aeli tidak santai.

Langsung menyesap minumannya hingga tersisa setengah gelas. Kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja dengan kasar. Membuat beberapa murid yang berada di kantin menoleh bingung ke arah mereka.

“Kalem-kalem. Cewek cantik gak boleh marah-marah.” Clara menenangkan. Dibalas tatapan tajam oleh Aeli.

“Gue tau gue cantik. Tapi kalau lo yang bilang malah bikin gue gumoh, anjir!” Aeli beneran batuk-batuk setelah mengatakan itu.

Clara geleng-geleng. Tingkah sahabatnya yang satu ini kadang-kadang memang suka bikin kepala pusing. Adaaaa ... saja.

“Daripada bahas adek lo mending—”

“Kapan nyokap gue ngelahirin anak babi sih?!” pekik Aeli tidak terima sambil terus berusaha menormalkan rasa perih di tenggorokannya. Padahal dia juga tidak tersedak minuman, tapi entah kenapa malah terbatuk hebat seperti ini.

“Emang bukan mak lo yang lahirin. Tapi bibitnya kan murni dari bapak lo!” geram Clara.

“Bodo amat. Jangan pernah sebut dia adek gue. Karena gue gak punya adek selain Gita.”

“Heran gue. Ketimbang manusia ternyata lo lebih milih monyet jadi adek lo, ya?” Clara berdecak tiga kali.

“Karena monyet gue jauh lebih mulia dari dia.”

Sudahlah, Clara memang tidak akan pernah menang jika melawan Aeli dalam hal perbacotan. Gadis itu terlalu jago membalas setiap kata yang dia lontar.

“Oh ya, sepupu gue ada chat lo nggak?”

Pertanyaan Clara menimbulkan kernyitan di dahi Aeli. “Ngapain sepupu lo chat gue?”

“Katanya mau minta prediksi UTS matematika kelas sepuluh.”

“Ngapain minta ke gue?”

“Ya kan lo yang punya salinannya, Dongo!”

Clara hampir saja menampol wajah songong Aeli jika tidak ingat bahwa manusia ini adalah seorang Faye Aeliya. Selain menyebalkan, Aeli juga punya kelebihan bikin orang lain emosi tingkat tinggi.

Lantas gadis itu mengedikkan bahunya tak acuh. “Nggak tau. Dari tiga hari lalu gue belum buka sosmed,” jawabnya enteng.

Mata Clara membelalak. “Lo ngapain aja gak buka sosmed tiga hari, anjir? Lagi simulasi jadi manusia purba lo?” Clara terheran-heran.

“Belajar lah! Gini-gini juga gue masih mendambakan jadi lulusan terbaik.”

“Belajar ya belajar, tapi minimal buka sosmed lah, Li! Pantesan chat gue dari zaman batu gak lo bales-bales.”

Aeli nyengir, mengangkat satu tangan membentuk tanda peach. Meski Aeli lebih menakutkan dari Clara, tetap saja Aeli langsung angkat tangan jika Clara sudah mengomel panjang. Cocot gadis itu, berbahaya.

“Wi-fi lo aktifin. Buru,” suruh Clara sambil mengotak-atik ponselnya.

“Buat apa?” tanya Aeli kemudian menyuap nasi ke dalam mulut.

“Gue hospotin. Kan lo nggak punya kuota,” balas Clara sarkas.

“Semiskin-miskinnya gue pun gue masih inget buat beli kuota, Beruk.” Aeli memutar bola mata muak.

“Beli kuota doang, on sosmed kagak. Keburu bangkotan sepupu gue nungguin balesan lo.”

Aeli berdecak. “Kalau nggak mau ribet suruh aja sepupu lo itu dateng buat temuin gue. Kalau emang butuh banget ntar gue siapin salinannya.”

“Eh iya juga ya? Ntar deh gue suruh dia buat temuin lo.”

Aeli memanggut saja. Tidak terlalu peduli. Dan seperti biasa, mata Aeli langsung tertuju pada Sky begitu melihat cowok itu muncul di kantin. Sudut bibirnya tertarik menciptakan senyum tipis. Tentu saja Clara menyadari arah pandang Aeli.

“Samperin sana. Masa seorang Aeli beraninya ngeliatin dari jauh doang?”

Perkataan Clara bikin Aeli menatap, kembali meletakkan sendoknya ke piring.

“Lah, malah melas nih orang. Takut lo?” tanya Clara. Dibalas gelengan lemah tentunya.

“Gue suka sama Sky,” aku Aeli, menyorot Clara dalam-dalam. “Sukaaaaa ... banget.”

“Ya terus?” Clara menyahut tidak minat.

“Yaudah gitu aja,” ceplos Aeli sambil kembali melanjutkan acara makannya yang tertunda. Seolah yang dikatakannya barusan tidak memiliki makna apa-apa.

Clara sampai tidak bisa menutup mulut melihat kelakuan random Aeli. Meski sudah bersahabat hampir lima tahun, bahkan sampai saat ini Clara belum bisa mengerti Aeli sepenuhnya. Sahabatnya itu, kelewat membingungkan. Tingkahnya sulit ditebak dan kadang berbanding terbalik dengan dirinya yang asli.

“Li, gue nggak tau ya lo beneran suka sama si Sky atau cuma main-main. Yang jelas gue gak pernah liat lo bertingkah kaya gini sebelumnya.” Clara mulai menyerocos. Aeli manggut-manggut sambil mengunyah makanan seraya memperhatikan Clara.

“Kalau lo emang beneran suka sama dia, gue dukung. Tapi ada yang mau gue sampaiin.”

“Apaan tuh?” tanya Aeli penasaran.

“Lo harus gerak.”

“Ck, dari masih jadi zigot juga gue udah gerak,” sahut Aeli asal.

Entah sudah berapa kali Clara dibuat mengelus dada mendengar balasan Aeli yang selalu sukses menyulut emosinya.

“Gak gitu maksudnya, Sayangku.” Clara coba bersabar. Aeli malah hampir muntah mendengar kata terakhir yang Clara lontar. Namun gadis itu mengabaikan dan tetap melanjutkan siraman kalbunya.

“Maksud gue lo harus deketin dia duluan. Tipe cowok kaya Sky itu mana peka kalau cuma lo liatin. Paling malah temen-temennya yang kege'eran. Lo kode aja belum tentu peka apalagi cuma lo liatin doang. Yang ada mata lo copot ngeliatin dia mulu.”

Aeli manggut, membenarkan pernyataan Clara dalam hati. Meskipun gadis itu tolol dalam pelajaran, tapi kalau soal cowok dia jagonya. Maklum, selain terkenal sebagai sahabat Aeli satu-satunya, Clara juga terkenal sebagai orang yang paling sering gonta-ganti pacar.

“Jadi kesimpulan omongan lo barusan, gue harus agresif gitu?”

“Singa lo? Agresif segala,” ceplos Clara.

“Gue serius.” Aeli mulai kesal.

“Gue dua rius.”

Jika sekali lagi Clara berani menguji emosi Aeli, sudah bisa dipastikan minuman Aeli yang masih tersisa setengah gelas akan tumpah ke wajahnya. Atau mungkin gelasnya pun akan ikut mendarat di wajah Clara.

“Canda oi! Muka lo kaya udah mau makan orang aja lama-lama,” celetuk Clara lagi. Aeli masih menatapnya horor.

“Ya lo tau lah maksud gue. Tapi jangan agresif-agresif banget. Yang ada si Sky ngibrit pas liat lo.”

Raut Aeli kembali tenang, kini mata bulatnya malah berkedip-kedip. Entah sejak kapan manusia setan ini bisa bertingkah sok menggemaskan.

“Pokoknya lo harus mulai deketin dia pelan-pelan. Bikin dia nyaman. Kalau lo nggak mulai mah tuh cowok juga gak bakal mulai. Mana tau dia lo suka sama dia. Kata Fabian sih, Sky itu gak pernah pacaran. Sebenarnya banyak yang mau deketin Sky, tapi Sky-nya bodo amat.” Clara mengambil nafas setelah berucap panjang lebar. Kembali melanjutkan.

“Pernah dulu ada yang nyoba nyatain perasaannya ke Sky, tapi ditolak. Mana nolaknya pakai hati, apa nggak makin baper itu cewek. Lo tau kan Sky lembutnya kaya apa? Ujung-ujung gamon deh. Tapi manusianya sekarang udah pindah sekolah gak tau ke mana.”

Aeli masih diam mendengarkan.

“Kalau lo perhatiin secara rinci, Sky itu wajahnya emang manis banget. Senyumnya candu bentuk mukanya bulet, imut, gemesin, pokoknya yang lucu-lucu diembat semua sama dia. Gak heran banyak yang diam-diam suka sama tuh cowok.” Clara yang bicara Clara juga yang gemas.

“Gausah lo perjelas. Gue aja udah hampir pingsan ngagumin kelucuan dia,” protes Aeli.

“Asli. Kalau tipe gue yang lucu-lucu mungkin gue juga bakal gila kaya lo.”

Aeli terkekeh. Tidak membantah ucapan Clara karena kenyataannya memang begitu.

“Oke, gue bakal mulai deketin dia. Gue pastiin dia bakal jatuh sejatuh-jatuhnya sama gue.” Aeli menyunggingkan senyum miring.

“Sekedar info sih. Kelewat pede itu gak bagus.”

“Btw, buat permulaan, gue minta informasi Sky dong. Malu mau nanya-nanya sendiri.” Aeli nyengir, menunjukkan deretan gigi rapinya.

“Lo punya malu gue langsung sungkem di kaki monyet lo, Li.”

...•••...

Terpopuler

Comments

miyura

miyura

cewek badas gini yg saya suka..

2023-10-09

0

Erni Fitriana

Erni Fitriana

sangat astaghfirullah ucapan faye😇😇😇😇😇😇😇...ceplas cepl9s gemesin😁😁😁😁😁😁

2023-08-28

0

♞ ;3

♞ ;3

cerita ini memicu imajinasiku, aku merasa seakan-akan hidup di dunia lain ketika membacanya.

2023-08-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!