BAB 10

Aaaaaa!

Naura terus menjerit untuk menyalurkan rasa sakit di kepalanya, karena sedari sore tadi Naura terus menangis tanpa henti, saat ini sakit mental Naura kambuh, ia kembali stres dan merasakan kepalanya sakit.

Naura menjerit sembari menjambak rambutnya sendiri, ingin rasanya sakit ini cepat hilang tapi seolah malah semakin bertambah, bahkan obat dosis tinggi miliknya sudah tidak mempan membuatnya tenang.

Dan sekuat apa pun Naura menjerit, para orang di luar kamar itu tidak akan bisa mendengar, karena kamarnya yang kedap suara.

"Aaa ... pergilah dari pikiran aku Abraham ... Jangan muncul lagi di pikiran aku!" teriak Naura sembari tangannya terus memukuli kepalanya sendiri.

Air matanya terus mengalir tanpa mau berhenti.

Sedalam itu dan sesakit itu luka yang ditinggalkan Abraham sampai membuat Naura akan menyakiti diri sendiri jika sakitnya kambuh.

Dan keadaan Naura yang seperti ini belum pernah diketahui oleh orang, baik orang lain maupun keluarganya.

Naura bisa menyembunyikan sakitnya itu, bahkan juga menyembunyikan dari Rafatar, tapi tidak mungkin bisa disembunyikan untuk selamanya.

Karena Rafatar akan tumbuh dewasa, ia pasti akan tahu arti dari ibunya yang tiba-tiba marah.

Dan mengingat hal ini Naura semakin kencang menangisinya. Air matanya banjir seperti air sungai yang mengalir deras.

"Rafatar ..." panggilnya pada sang putra dengan perasaan tak menentu di rasakannya.

*

*

*

Di dalam kamar sebelah, Rafatar baru saja menyelesaikan p.r dari sekolah, tugas belajar hari ini.

"Wah ... hebat, udah selesai," puji Dila pada Rafatar sembari bertepuk tangan dan bibir tersenyum.

Rafatar menarik sudut bibirnya sedikit. "Biasa aja kali."

"His, dipuji itu harusnya senang, Den ...." Dila menatap Rafatar yang sedang merapihkan buku yang barusan dipakai yang berada di atas meja belajarnya.

Dan mendengar ucapan Dila, Rafatar hanya mengedikan bahu.

Ya, seperti itu lah Rafatar, meski masih kecil tapi gayanya cool seperti pria dewasa.

Sekarang tidak begitu mengerikan di mata Dila, karena semenjak ibunya kembali, Rafatar sedikit-sedikit sudah mau tersenyum dan yang pasti sakit trauma Rafatar sudah jarang kambuh, dan meski pun begitu, Rafatar tetap harus kontrol ke dokter psikiater.

Karena sakitnya itu belum sembuh seratus persen.

"Eh, Den. Mau puding coklat tidak? Tadi Sus buat puding loh," tanya Dila begitu melihat Rafatar bangkit dari duduknya.

Rafatar menoleh menatap Dila dengan posisi berdiri. "Boleh, bawa ke kamar ya?"

Setelah berkata begitu, Rafatar berjalan menuju ranjang king size miliknya. Dan Dila pun keluar dari kamar untuk mengambil puding coklat di dapur.

Tidak lama kemudian Dila sudah kembali ke kamar Rafatar, ia membawa sepiring puding coklat yang sudah dipotong-potong.

"Ayo, Den Rafatar makan," ucapnya setelah duduk di pinggiran ranjang sembari memberikan sendok ke tangan Rafatar.

"Bagaimana?" Dila menghentikan ucapannya sejenak, "Enak tidak?"

"Emmm." Rafatar mengunyah sembari berpikir. "Enak," ucapnya kemudian menyuap puding lagi.

Dila tersenyum mendengar ucapan Rafatar. "Syukurlah kalau enak, dan Den Rafatar suka, jadi tidak sia-sia Dila membuatnya."

Rafatar menjawab dengan anggukan kepala dengan mulut masih mengunyah.

"Habiskan ya, Den. Jagan sampai ada yang tersisa," ucap Dila sekaligus memperingatkan.

Rafatar mengangkat satu ibu jarinya tanda setuju.

Dan tidak lama kemudian piring berisi puding coklat itu kini telah kosong, Dila yang melihat hal itu hatinya langsung merasa senang.

"Aku haus mau minum," ucap Rafatar sembari mau beranjak turun dari ranjang.

"Eh, Den. Biar saya yang ambilkan," cegah Dila sembari tangan kanannya menggapai tangan Rafatar.

Rafatar menoleh. "Gak usah, aku mau ke dapur," ucapnya dan terus keluar dari kamar.

Dila ahirnya mengikuti langkah kaki Rafatar dari belakang, meski pun Rafatar berkata mau ambil minuman sendiri, tapi Dila harus pastikan Rafatar tidak kenapa-napa, takut aja batinnya.

"Ini salad buah siapa?" tanya Rafatar ketika sudah sampai di dapur dan membuka lemari pendingin.

Dila yang berdiri di wastafel sedang menaruh piring kotor tadi pun menjawab saat mendengar pertanyaan itu, "Punya, Om. Den."

Rafatar yang sedang meneguk air minum mendengar jawaban Dila, tapi belum bisa menjawab.

Setelah cukup minumnya, Rafatar menaruh lagi botol minum yang masih ada sisa air ke dalam lemari pendingin.

"Aku makan boleh ya? Nanti Sus bilang ke, Om," ucapnya dan tanpa mendengar jawaban dari Dila lebih dulu, Rafatar sudah mengambil salad buah dalam mika itu ke meja makan, ia nikmati sambil duduk di sana.

Dila hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Den, saya ke kamar dulu ya? sebentar saja."

Karena ada hal yang harus segera Dila lakukan ahirnya wanita itu meninggalkan Rafatar sendiri di ruang makan.

*

*

*

Naura yang saat ini merasa sedikit lebih baik, sudah bisa mengendalikan diri, mulai teringat bahwa saat ini ia tinggal di rumah Keenan dan di rumah ini ada putranya juga.

Naura juga ingat tujuannya sekarang untuk membantu putranya sembuh dari sakit trauma, meski dirinya dalam keadaan sakit juga.

Air matanya sudah berhenti, Naura berusaha berdiri meski saat ini tubuhnya terasa lemas, karena ada tiga jam lebih ia menangis.

Naura merasa haus, langkah kakinya membawanya keluar kamar untuk menuju ke dapur.

Baru saja Naura masuk ke ruang makan, matanya kini sudah melihat wajah yang sedari tadi terbayang di pikirannya.

Wajah Rafatar, namun di mata Naura berubah wajah Abraham, bahkan saat ini sedang duduk dan menikmati salad buah adalah Abraham di mata Naura, bukan Rafatar.

Naura mau memaki namun dalam sekejap wajah itu berubah wajah Rafatar, seorang anak kecil yang sedang duduk menikmati salad buah.

Naura memejamkan matanya sesaat, dan membuka matanya lagi, wajah itu berubah wajah Abraham lagi dan begitu terus berganti-ganti sampai membuat kepala Naura sakit.

Dan yang kali ini yang dilihatnya adalah wajah Abraham tak berganti-ganti meski Naura sudah berkedip.

Naura langsung mendekati Rafatar yang dilihatnya adalah Abraham. "Kamu ba-ji-ngan kamu bre-ngsek! Kamu sudah menyakiti aku!"

"Ma," lirih Rafatar, ia merasa ketakutan saat ini karena ibunya mengguncang bahunya kuat sampai terasa sakit, serta mata ibunya yang menyala tajam siap mau menerkamnya.

Mata tajam yang pernah Rafatar lihat saat dahulu ibunya sering marah-marah padanya.

Naura terus mengguncang kuat bahu kecil Rafatar, dengan cengkraman tangan yang terasa menusuk di bahu Rafatar.

Saat ini Naura dalam keadaan tidak sadar bahwa yang ia sakiti saat ini adalah putranya, dimatanya adalah Abraham.

Dila yang baru keluar dari kamarnya dan menyusul Rafatar ke ruang makan, matanya langsung terkejut melihat pemandangan itu.

Naura yang mengguncang bahu Rafatar dan bocah kecil itu kini sudah menangis minta tolong, tapi seolah Naura sudah tuli, suara Rafatar tidak mampu menyadarkannya.

"Ibu hentikan ..." teriak Dila.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!