Satu Minggu kemudian.
Tepat hari ini Keenan mengajak Naura dan Rafatar pergi berobat ke Amerika. Keputusan Keenan sudah bulat, untuk membawa mereka berdua ke Amerika. Apa lagi setelah kejadian Naura masuk rumah sakit dan sakit trauma Rafatar kambuh di sekolah.
Membuat Keenan ahirnya mengambil tindakan besar ini.
Meski dengan begitu, Keenan juga akan meninggalkan perusahaan karena harus menemani dan menjaga Naura juga Rafatar di sana.
Sementara perusahaan Keenan percayakan pada sang Asisten, yaitu Ares.
Miranda tentu juga tahu Keenan yang akan pergi ke Amerika untuk mengobatkan keponakannya.
Dan tentu hati Miranda tidak rela, karena ia dan Keenan pasti tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.
Dan hari ini Miranda juga ikut ke bandara hanya untuk mengantar Keenan.
Miranda memeluk Keenan di depan Naura dan Rafatar. "Pokonya sampai di sana jangan lupa kabari aku," ucap Miranda dengan manja.
"Aku pasti kabari kamu, jangan marah ya?"
Miranda melerai pelukannya. "Kamu jaga hati kamu, jangan sampai tertarik dengan wanita lain," ucapnya seraya menunjuk-nunjuk dada Keenan.
Padahal Miranda sedang menyindir Naura.
Keenan terkekeh mendengar ucapan Miranda yang mengkhawatirkan perasaannya.
"Apa kamu meragu, Hem?" Keenan tersenyum seraya mengusap rambut Miranda.
Miranda kembali memeluk Keenan. "Tentu," ucapnya manja.
"Jangan-,"
Belum sempat Keenan melanjutkan ucapannya, namun kini sudah terdengar pemberitahuan bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi sebentar lagi akan lepas landas.
Keenan segera mengajak Naura dan Rafatar untuk memasuki pesawat, pergi meninggalkan Miranda, bahkan dalam sekejap lupa jika ada Miranda di sana, karena terburu-buru harus segera masuk ke dalam pesawat.
Dan benar saja tidak kurang dari lima belas menit, pesawat yang Keenan tumpangi bersama Naura juga Rafatar kini lepas landas.
Miranda yang melihat penerbangan pesawat itu matanya langsung menangis, ternyata meski berusaha kuat melihat tunangan pergi bersama wanita lain, hal itu tetap saja meninggalkan rasa sakit dalam hatinya.
Miranda pergi meninggalkan bandara dan kembali memasuki mobilnya, Miranda masih terus menangis sembari mengemudikan mobilnya.
*
*
*
Satu bulan berlalu.
Tidak terasa Keenan sudah satu bulan pergi meninggalkan Miranda, wanita itu kini hanya tersenyum miris, mengingat hubungannya dengan Keenan yang terasa jauh.
Tidak hanya jarak yang memang jauh, tapi dalam komunikasi, Keenan jarang memberi kabar.
Bahkan tiap kali Miranda menelpon nomor hp Keenan selalu tidak aktif, dan pasti selalu berakhir Miranda yang menangis.
Miranda yang malam ini tengah duduk menikmati angin di balkon kamar apartemennya, tiba-tiba mendapat panggilan telepon dari resepsionis dan mengatakan ada kiriman paket untuk Miranda.
Wanita cantik itu segera turun ke bawah, untuk melihat paket yang dimaksud oleh resepsionis tadi.
Setelah tiba di lobby, ternyata paket yang dikatakan untuk Miranda, adalah sebuah buket bunga mawar yang besar.
"Silahkan tanda tangan atas penerimanya, Nona." Ucap kurir pengantar buket bunga tersebut.
Miranda memberikan tanda tangan pada secarik kertas itu. Kemudian ia membawanya masuk buket bunga itu ke dalam lift.
Miranda menangis sembari menciumi buket bunga itu, karena tahu siapa pengirimnya, yaitu Keenan.
Antara senang sedih juga kecewa, karena yang Miranda mau adalah kehadiran pria itu, bukan hadiah buket bunga dengan tulisan berkata rindu.
Setibanya masuk ke dalam kamar apartemennya, Miranda melempar buket bunga itu ke sofa, ia lanjut menangis sejadi-jadinya.
"Keenan kamu terlalu egois sampai tidak punya waktu untukku hanya sekedar menelpon..." teriak Miranda sekuatnya dalam ruangan itu.
Aaaaa!
Miranda menjerit kesal.
*
*
*
Di Amerika.
"Ken, jika aku tidak bisa sembuh dan ahirnya mati, aku titip Rafatar ya, jaga dia anggap dia putramu sendiri."
Suuttt.
Keenan menutup bibir Naura dengan jari telunjuknya. "Jangan berkata seperti itu, kamu harus yakin pasti kamu bisa sembuh."
"Tapi dokter berkata sakitku sangat parah, dan itu hanya akan membuat kita lama di sini."
Keenan memegang bahu Naura, menatap lekat wajah panik itu. "Tidak masalah kita akan lama tinggal di sini, yang penting kamu dan Rafatar harus sembuh."
Selama berobat satu bulan ini, penanganan sakit trauma Rafatar sangat bagus, kini sudah ada harapan untuk sembuh.
Berbeda dengan Naura, karena yang dirasakan wanita itu berasal dari hatinya yang disakiti, untuk kesembuhan lebih sulit.
Bahkan Naura harus lebih banyak menginap di rumah sakit, tidak seperti Rafatar yang sudah boleh berobat jalan, dan saat ini tinggal di penginapan bersama Keenan.
"Ma."
Obrolan mereka berdua teralihkan saat Rafatar datang.
"Sayang kemari, Mama kangen." Naura melambaikan tangan untuk Rafatar segera mendekat.
Rafatar mendekati ranjang pasien itu kemudian naik dan seketika langsung di peluk Naura.
"Mama kapan pulang?" tanya Rafatar yang kini merasakan ibunya tengah menciumi puncak kepalanya.
"Kalau sama dokter sudah diperbolehkan." Keenan yang menjawab.
Dan seolah keinginan Rafatar langsung terkabul, tidak lama kemudian Dokter yang menangani Naura datang.
Dokter Edo namanya, saat ini ia sedang memeriksa keadaan Naura.
"Apa, Nyonya Naura masih merasa tertekan, mungkin di jam-jam tertentu?"
"Iya, Dok. Masih saya rasakan hal seperti itu," jawab Naura.
"Baiklah, Nyonya tidak boleh stress jika ingin segera sembuh."
"Dokter, apa boleh Naura saya ajak jalan-jalan di kota ini, mungkin dia merasa bosan juga." Keenan yang bertanya.
"Hem, itu ide yang bagus. Silahkan Tuan ajak Nyonya Naura jalan-jalan mencari hiburan, tapi ingat jangan capek-capek, itu juga kurang bagus," jelasnya dengan tersenyum.
"Ye ... Mama boleh pulang." Rafatar yang menyahut.
Keenan mengusap kepala Rafatar yang saat ini ceria. "Terimakasih, Dokter."
Dokter Edo mengangguk, dan setelah selesai memeriksa Naura, Dokter Edo pun keluar dari sana.
Saat ini juga, Keenan membantu Naura untuk bersiap, sebelum hari petang, Keenan mau ngajak Naura dan Rafatar jalan-jalan melihat indahnya kota di Amerika.
Setelah mereka masuk ke dalam mobil, mobil pun melaju sedang, Rafatar duduk di belakang bersama Naura.
Rafatar terus memeluk lengan ibunya dan menyandarkan kepalanya di sana.
"Rafatar, coba kamu lihat ke jalanan." Keenan yang sedang mengemudikan mobilnya bicara.
Rafatar mengikuti saran Om nya itu, dan seketika ia tersenyum saat melihat salju turun ke jalan.
Ya, saat ini sedang hujan salju, yang dimana di Indonesia tidak ada hujan salju.
"Om, apa Rafatar boleh keluar mobil, Rafatar ingin merasakan diguyur hujan salju," ucapnya dengan mata tak teralihkan terus menatap ke arah jalanan.
"No, Sayang. Mama tidak mau kamu sakit." Naura yang bicara.
Rafatar tidak bicara lagi, ia tidak mau melawan ibunya.
Keenan melihat Rafatar dari kaca dalam mobil. "Kita ke restoran ya, makan dulu. Rafatar boleh pegang salju di sana nanti, tapi tidak boleh hujan-hujanan salju, ok."
"Siap, Om." Jawab Rafatar penuh semangat.
Sore menjelang petang ini, mereka tampak seperti keluarga yang bahagia, makan bersama di sebuah restoran mewah, sesekali tersenyum juga tertawa bersama, yang entah sedang membicarakan hal apa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments