BAB 6.

Setelah mengetahui sikap Rafatar yang dingin padanya, Naura mulai sadar bahwa sang putra telah kecewa padanya.

Naura sangat sedih mendapati semua ini, selama ini tidak pernah berpikir bahwa Rafatar juga bisa kecewa terhadapnya bahkan sampai mengacuhkannya.

Entah kapan pun Naura akan kembali menemui Rafatar, beranggapan Rafatar akan menyambut kedatangannya dengan hangat, tapi ternyata tidak seperti itu.

Rafatar cuek tidak mau bicara, Naura merasa seperti bukan ibunya, padahal Naura ingat betul bahwa dahulu Rafatar adalah anak yang manja, yang apa pun itu selalu dikit-dikit Mama. Tapi sekarang telah berubah seratus delapan puluh derajat.

Tapi Naura tidak tinggal diam begitu saja, sebagai ibu yang menyadari akan kesalahannya, ia mau terus berusaha mencairkan hati yang beku itu.

Naura berharap besar bahwa Rafatar bisa seperti dulu lagi. Dan selama Naura menemui Rafatar, ia selalu di temani Keenan, tapi apa bila Keenan sedang sibuk, maka Dila yang akan menemani Naura.

Satu hari yang lalu Keenan mengajak Naura dan Rafatar melihat kebun binatang.

Rafatar yang biasanya senang dan banyak bicara saat bertemu hewan-hewan di kebun binatang, tidak seperti hari kemarin yang ternyata banyak diam.

"Rafatar, tahu gak nama binatang itu?" tanya Naura sembari menunjuk burung yang bulunya bagus dan bulu ekornya panjang.

Rafatar hanya menatap sekilas burung yang di tunjuk ibunya, setelah itu ia kembali milih melihat binatang monyet, yang dimana ada orang memberi makan buah pisang.

Naura hanya bisa tersenyum kecil, Keenan menyemangati Naura untuk sabar.

Namun ada kejadian yang membuat Naura merasa bingung dan tidak percaya jika sedalam itu rasa kecewa Rafatar terhadapnya.

Kejadiannya saat makan bersama di restoran, sepulang dari kebun binatang.

"Sayang, ini Mama pesankan ayam goreng kesukaan kamu," ucap Naura lengkap dengan senyum di bibir.

"Om Keenan, aku di pesankan makanan yang lain aja," ucap Rafatar pada Keenan dan jawaban ini langsung menampar hati Naura, sakit sekali rasanya.

Dan ahirnya ayam goreng yang sudah di pesan itu di bungkus di bawa pulang, Naura berharap Rafatar di rumah mau memakannya, gak harus malam itu tapi bisa buat sarapan pagi hari, tapi ternyata tidak juga, dan ahirnya dimakan oleh Dila.

"Begini rasanya dijauhi sama anak sendiri," batin Naura waktu itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, mau marah juga tidak bisa, karena sikap Rafatar seperti itu adalah kesalahannya sendiri, dan Naura sangat merasa menyesal.

berlanjut ke hari esok dan esoknya lagi, tidak terasa Naura sudah satu Minggu tinggal di rumah Keenan. Dan selama satu Minggu ini ia selalu berusaha mengambil hati Rafatar lagi, meski belum membuahkan hasil, Rafatar masih saja tetap dingin sikapnya.

Sore ini saat Naura sedang memasak untuk makan malam nanti, tiba-tiba ia mendengar suara lantunan musik piano yang terdengar merdu dan indah.

Bukan hanya merdu dan indah saja yang membuat Naura seketika menghentikan aktivitasnya.

Tapi musik yang dimainkan saat ini adalah musik yang sering ia dengar saat keluarganya masih utuh, sewaktu belum bercerai.

Tanpa terasa mata Naura memanas dan tidak lama dari itu ia meneteskan air mata.

Teringat bagaimana ia dulu sangat mencintai keluarga kecilnya, dan sekarang tinggallah cerita saja.

Naura menghapus air matanya segera, tidak lupa mematikan kompor sebelum ahirnya berjalan menuju ruang tengah tempat alat musik piano berada.

Hatinya langsung bagai teriris sembilu begitu matanya melihat sosok kecil yang tengah duduk dan tangannya dengan lincah memainkan tut piano.

"Rafatar anakku, Mama tidak menyangka kamu masih ingat saja dengan musik kesukaan papa kamu dulu," gumam Naura, pipinya kini sudah basah akan air mata.

Kesukaan papanya yang artinya kesukaan mereka berdua juga.

Dan setelah menguasai diri tidak menangis lagi, Naura berjalan mendekati Rafatar yang tengah asik memainkan musik piano.

Bersamaan tangan Naura menyentuh bahu Rafatar, suara bunyi musik piano pun juga berhenti seketika.

Rafatar menoleh untuk melihat siapa yang tengah mengganggunya, dan ternyata saat mata keduanya bertemu, kini wajah Rafatar nampak kesal, setelah tahu ternyata ibunya.

"Rafatar, tunggu," cegah Naura saat Rafatar mau beranjak dari tempat duduknya.

Rafatar mengurungkan niatnya saat pergelangan tangannya digenggam oleh ibunya, Rafatar membuang muka saat melihat wajah sedih nan memohon Naura.

Sebenarnya Rafatar juga tidak tega bersikap dingin seperti ini terhadap ibunya, namun mau bagaimana lagi, karena ia pikir ibunya tetap sama akan membuatnya kecewa.

Sebelum makin menambah sakit hatinya, lebih baik bersikap biasa aja, itu lah yang dipikirkan Rafatar, bocah yang saat ini berusia tujuh tahun.

"Mama minta maaf ... Mama mau bicara sebentar saja ... Rafatar duduk lagi ya?" bujuk Naura dengan lembut.

Rafatar tidak menjawab, tapi ia kembali duduk lagi, dan Naura tetap di posisinya yang tetap berdiri.

"Rafatar, mau apa dari Mama. Akan Mama lakukan," ucap Naura setelah beberapa saat hanya terdiam, memilih kata-kata yang pas untuk memulai bicara.

Terdengar helaan nafas panjang sebelum ahirnya Rafatar angkat bicara, "Gak usah, Ma. Terimakasih, begini saja Rafatar sudah bahagia, Mama juga kan?"

Nyut.

Sakit rasanya hati Naura mendengar jawaban penolakan Rafatar yang tidak menginginkan apa pun lagi darinya.

"Rafatar, maafkan Mama, Nak?" batin Naura.

"Baiklah, Mama tidak akan memaksamu." Naura tersenyum sedih.

Rafatar sama sekali tidak mau menatap ke arah ibunya, ia milih menatap ke arah lain, seolah lebih menarik di matanya.

"Satu hal yang harus Rafatar tahu."

Rafatar seketika menoleh saat mendengar ibunya berkata seperti itu, ia menatap ibunya sembari menunggu kelanjutan yang akan ibunya ucapkan.

"Mama tidak akan pergi lagi, Nak." Naura suara tercekat di tenggorokan, ia menangis terisak. "Mama minta maaf ..." Naura kemudian memeluk Rafatar.

Rafatar merasakan punggung ibunya bergetar, ia jadi merasa bersalah sudah membuat ibunya menangis seperti ini.

"Apa Mama tidak berbohong?"

Mendengar suara Rafatar, Naura melerai pelukannya dan berganti menatap lekat wajah putranya. "Mama tidak bohong ." Naura mengusap puncak kepala Rafatar. "Maafkan Mama, karena Mama kamu jadi sakit, Sayang." Naura kembali memeluk Rafatar.

Bisa memeluk putranya adalah kebahagiaan tersendiri yang ia rasakan, sangat menyesal selama ini hanya ikutin ego dan milih ninggalin anaknya.

Saat Naura sedang meresapi memeluk punggung kecil putranya, tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya, dan tangan itu milik Rafatar.

Naura bahagia dalam menangis ia tersenyum, ahirnya putranya bisa luluh juga hatinya.

"Maafkan Mama ya, Nak?" Naura melepas pelukannya dan menciumi wajah Rafatar.

Rafatar pun juga tersenyum, walau hanya tersenyum kecil, ia bahagia karena ibunya tidak akan pergi lagi.

Meski cuma hanya ibunya saja, Rafatar sudah senang, setidaknya ia bukan lagi anak yang diabaikan oleh kedua orang tuanya. Masih ada sosok ibu yang mau menemaninya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!