Between Love And Lie
Setelah melewati dua musim muson di Singapura, akhirnya aku bisa kembali dengan tenang ke tanah air. Kakek sudah menyiapkan sambutan yang luar biasa untukku. Aku tahu ini sangat berlebihan, tetapi bagi kakek ini adalah hal yang biasa. Ku sandarkan tubuhku di sofa empuk yang baru saja dibeli olehnya dari Dubai sebulan yang lalu. Menurutku, tidak begitu berbeda dari sofa yang lama. Mungkin harganya yang lebih mahal membuat sofa ini tampak istimewa.
"Ibu sangat merindukanmu," ucap Ibu sembari membawa segelas air berwarna merah di tangannya.
Aku tersenyum, kemudian meraih gelas itu dari tangan ibu. "Ibu masih ingat dengan minuman kesukaanku?" tanyaku.
Ibu mendelik. "Tentu saja, Sayang. Sirup merah dingin dicampur air gula sedikit supaya rasanya semakin manis, semanis putri Ibu ini."
Aku tertawa geli. "Ibu bisa saja."
"Bagaimana keadaan di sana? Baik-baik saja, kan? Kau bisa mengatasi masalah perusahaan dengan baik, kan?" Pertanyaan beruntut dari ibu membuatku kehilangan konsentrasi.
"Semuanya baik-baik saja, Bu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawabku dengan cepat.
Ibu mengangguk pelan. "Kau tidak lelah? Sebaiknya kau istirahat dulu sebelum kakek pulang. Ibu takut kakek akan membuatmu tidak bisa istirahat dengan cukup," ucapnya.
"Ya, aku juga sedikit pusing setelah turun dari pesawat. Aku ke kamar dulu, ya, Bu?" pintaku sembari menunjukkan ekspresi manja pada ibu.
Ibu mengangguk sembari tersenyum.
Aku bangkit dari sofa dan berjalan menaiki tangga menuju ke kamarku yang berada di lantai dua. Ku pandangi taman belakang yang tampak indah dari anak tangga sembari tersenyum. Bunga-bunga itu semakin banyak. Ibu sangat pintar merawat mereka, tidak seperti aku. Ah, sudahlah. Mungkin aku tidak ahli dalam bidang perkebunan, setidaknya aku dapat diandalkan untuk mengurus anak perusahaan kakek yang berada di Singapura.
Malam ini, Fiska dan Mira, sahabatku, mengajakku untuk bertemu di kafe favorit kami. Saat pintu kafe terbuka, aku mulai mencari kedua wanita lajang itu dengan mata elang yang ku punya. Oh, ternyata mereka ada di ruang VIP.
"Hai," sapaku dengan lembut.
Fiska membalikkan tubuhnya dan memelotot ke arahku. "Alesha!" serunya. Dia bangkit dan langsung menerkamku bak singa yang sedang kelaparan.
Aku menahan sesak di bagian leher saat kedua tangan Fiska melingkar di sana. Wanita yang suka olahraga ini benar-benar berotot seperti seorang lelaki. Tak lama kemudian, Mira juga ikut melompat dari kursinya dan memelukku di bagian pinggang. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menahan sesak di beberapa bagian tubuhku dan menunggu mereka selesai memangsaku.
Fiska melepaskan cengkeramannya dan menarik tanganku untuk segera duduk. "Aku ingin bertanya beberapa hal padamu, Lea."
Aku mengerutkan dahi. "Tentang apa?" tanyaku.
Mira pun ikut merapat ke tubuhku.
"Kau sudah mengenalnya?" tanya Fiska.
Aku bingung. Bola mataku berputar seakan mencari jawaban yang sebenarnya aku tidak tahu sama sekali.
"Katanya dia anak orang kaya," sambung Mira.
Aku menatap Mira dengan heran.
"Kau pasti akan sangat bahagia, kalau menikah dengannya," ucap Fiska dengan senyum semringah.
"Menikah? Aku? Maksud kalian apa, sih?" Ku pandangi satu persatu wajah mereka.
Fiska menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan-lahan. "Jangan pura-pura tidak tahu! Kau pikir ini kejutan untuk kami? Kami sudah tahu semuanya, Lea."
Aku menganga. "Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian bicarakan. Lebih baik pesankan makanan yang enak untukku sekarang karena aku sangat lapar!" seruku dan menekan bel untuk memanggil pelayan kafe.
Tidak terasa pertemuanku dengan dua sahabatku ini harus segera berakhir. Ku lihat jam di tangan, sudah pukul sepuluh malam. Aku harus pulang karena ibu dan yang lainnya akan sangat khawatir.
"Sudah hampir larut malam, kita sudahi pertemuan hari ini, ya? Besok atau lain waktu aku akan menyusun rencana untuk kita bertiga, bagaimana?" tanyaku pada Fiska dan Mira yang sedang bersiap-siap untuk pulang juga.
"Aku setuju. Kita buat rencana liburan ke Eropa, ya?" kata Mira memberi ide yang cemerlang.
Fiska melirik Mira dengan senyum kecut. "Kau tidak ingat, kalau Mister Johnson sedang memperbaiki manajemen keuangan perusahaan kalian karena ulahmu?" tanyanya dengan ketus.
Aku melihat ke arah Mira. "Ada apa, Mir?" tanyaku.
Mira menunduk. "Aku menggunakan kartu kredit yang diberikan oleh papa secara sembarangan. Sampai akhirnya, berimbas ke perusahaan," jawabnya.
"Jangan bohong lagi!" seru Fiska.
Aku mendelik. "Ada apa, sih, sebenarnya? Dua tahun aku berpisah dari kalian dan aku tidak tahu apapun yang terjadi di sini."
Mira menggeleng. "Nanti akan ku ceritakan," jawabnya sembari tersenyum.
Aku masuk ke dalam mobil dan memberi salam perpisahan kepada kedua sahabatku.
Di tengah perjalanan, hujan pun turun dengan deras. Air sudah menutup permukaan aspal. Aku merinding. Pikiranku kacau. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?
Benar saja. Mesin mobil mati dengan tiba-tiba. Ku coba untuk menstater mobil berkali-kali, tetapi tidak juga menyala. Jantungku mulai tidak aman. Aku harus keluar dan melihat keadaannya. Dengan berbekal sebuah payung, aku mengangkat kap mobil dan berusaha mencari sumber kerusakannya. Namun, aku sama sekali tidak mengerti. Hawa dingin mulai menyelimutiku. Ku perhatikan sekelilingku dengan seksama. Tidak ada yang mencurigakan, tetapi aku masih waspada. Aku mengulum bibir dan berdoa di dalam hati, semoga ada yang datang dan membantuku.
Tuhan mendengar doaku. Seorang pria dengan wajah yang tampan dan berpakaian lusuh menghampiriku. Aku masih berhati-hati dari kejauhan.
"Mogok?" tanya pria itu dengan nada tak bersahabat.
Aku menelan ludah dan tetap menjaga jarak darinya. "Ya," jawabku.
Tanpa aba-aba, dia membuka kap mobil dan mulai memperbaikinya.
Ku perhatikan caranya memperbaiki mobil sampai selesai. Wajahnya tampan, tetapi tidak dengan penampilannya. Apakah pria seperti ini pantas disebut tunawisma? Ah, mana mungkin. Namun, setelah ku lihat-lihat, sepertinya dia memang seorang tunawisma.
"Sudah selesai. Coba hidupkan!" seru pria itu dan menyuruhku masuk ke dalam mobil.
Aku menurutinya. Ku putar kunci dengan perlahan-lahan sembari menekan pedal kopling. Mesin mobil menyala kembali. Wajah tegangku berubah menjadi tenang. Aku tersenyum bahagia.
Setelah mematikan mesinnya kembali, aku keluar dari dalam mobil dan menghampiri pria itu. "Terima kasih banyak atas bantuanmu," ucapku dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu padanya.
Pria itu menggeleng. "Simpan saja!" jawabnya menolak pemberianku dengan tegas.
"Tidak... tidak. Kau pantas menerimanya karena sudah membantuku," ucapku dan menarik tangan kanannya agar menerima pemberianku.
Pria itu menarik tangannya kembali dan pergi tanpa sepatah kata pun.
"Aku benar-benar tulus memberikannya untukmu!" ucapku setengah berteriak.
Pria itu menoleh sejenak, tetapi kembali melanjutkan langkahnya.
"Hei, paling tidak beritahu aku siapa namamu!" seruku sembari mencoba menembus hujan.
Pria itu tak peduli dengan kalimat-kalimatku. Dia terus berjalan di gelapnya malam.
Aku ingin mengejarnya, tetapi segera sadar saat hujan semakin deras. Dengan cepat, aku masuk ke dalam mobil dan mulai melaju dengan kencang menuju rumah.
Pikiranku masih terus berputar tentang pertemuanku dengan Fiska dan Mira. Mulai dari pertanyaan mereka tentang pernikahan dan masalah yang sedang dihadapi oleh Mira. Apa yang sebenarnya terjadi selama aku pergi ke Singapura? Yang tidak aku habis pikir, berita ini tidak pernah mereka bicarakan setiap kami melakukan video call bertiga. Sangat aneh. Sepertinya aku harus mencari tahu yang sebenarnya.
Ah, aku jadi teringat sesuatu. Tentang pria yang menolongku tadi. Siapa dia? Kenapa aku sangat penasaran dengannya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Indaria_ria
Aku mampir nih kak....lanjut...baca juga karyaku yuk....
2023-08-31
1