Pria Itu Hadir Kembali

Aku membiarkan tumpukan berkas tak beraturan di atas meja kerjaku. Aku mendengus pelan dan memandang keluar jendela.

"Sudah hampir sejam aku menunggumu di luar, Sayang. Kau tidak lapar?" tanya Panji sembari membelai rambutku dengan lembut.

Perasaan tak enak segera menghampiri dan membuatku menjauh dari Panji. "Ak-aku... aku akan pergi makan siang sebentar lagi," ucapku terbata-bata.

"Kita akan makan siang bersama."

Aku memandang Panji dengan lama. Rasanya aku tidak ingin bersama pria ini, tetapi semua orang tahu bahwa dia adalah tunanganku.

Tiba-tiba, pintu ruanganku terbuka. Fiska masuk dengan sebuah map di tangannya.

"Maaf, aku tidak mengetuk pintunya terlebih dulu," ucap Fiska dan menundukkan kepalanya.

Aku mencoba tenang. "Tidak apa-apa, Fis. Ada apa?" tanyaku saat mataku tertuju pada map yang sedang dipegangnya.

"Aku ingin menunjukkan hasil laporan keuangan bulan ini. Aku taruh di sini saja, ya," ucap Fiska sembari meletakkan map berwarna biru itu di atas meja.

Aku mengangguk. "Terima kasih, ya."

Fiska tersenyum padaku. Namun, matanya melirik ke arah Panji dengan sangat cepat.

"Oh, ya, kau sudah makan siang, Fis?" tanyaku sebelum Fiska keluar dari ruangan ini.

Fiska menggeleng. "Aku baru saja menyelesaikan laporan yang kau minta."

"Kalau begitu, ayo makan siang bersama kami!" seruku dan bangkit dari kursi yang ku duduki.

"Apa? Makan siang bersama kalian?" Fiska melotot.

Aku mengangguk. Dengan cepat, ku tarik tangan Fiska untuk meninggalkan ruangan.

Panji mengikutiku dari belakang. Dia sedikit kesal karena aku mengabaikan kehadirannya. Namun, ini semua memang sengaja ku lakukan. Aku tidak ingin terlalu dekat dengannya karena aku takut akan jatuh cinta lagi. Lagipula, sosok Fathir masih terus membayangiku sampai sekarang.

"Aku tidak ingin merusak makan siang kalian, Lea," ucap Fiska saat kami tiba di restoran dekat dengan perusahaan.

"Tidak ada yang salah, Fis. Kau ini seperti bukan temanku saja," jawabku sembari menyenggol lengannya.

"Alesha benar. Aku juga tidak keberatan, kok, kalau kau ikut dengan kami. Kau ini, kan, sahabatnya. Sahabat Alesha berarti sahabatku juga," sahut Panji yang duduk di sampingku sambil menoleh ke arahku.

Fiska tersenyum. "Terima kasih banyak, Pan. Aku pikir kau tidak peduli dengan Alesha, ternyata kau sangat peduli."

"It's okay. Selama kekasihku ini bahagia, aku juga akan sangat bahagia."

Aku melirik Panji dengan rasa ketidakpercayaan. Kami baru sebulan bertunangan, bahkan dia sudah bicara tentang bahagiaku. Memangnya dia tahu aku bahagia atau tidak sekarang. Aku sangat tidak bahagia.

Setelah Bu Kartika menyebut namaku beberapa waktu yang lalu, akhirnya Fathir mencoba untuk mencariku. Siang ini, dia berada di luar kafe, tempat biasa kami makan siang saat bekerja sama dulu. Dia mengintipku dari balik pohon beringin indah di depan sana.

Fathir mendengus saat melihatku dan Panji ada di dalam kafe. Dia tahu bahwa tak ada tempat lagi untuknya di hatiku. Namun, dia salah. Bahkan, tak sedetikpun aku berusaha melupakannya.

Dengan tatapan sendu, Fathir membisikkan sebuah niat dalam dirinya untuk kembali membangun kehancurannya dengan mencoba sebuah keberuntungan. Dia percaya bahwa dengan bekalnya selama bekerja di perusahaan Syalem akan menuntunnya menjadi seorang pengusaha yang sukses di kemudian hari.

"Kek, sepertinya ada sesuatu yang salah di anak perusahaan kita di Korea. Aku harus memeriksanya secepat mungkin," ungkapku sebelum makan malam kami berakhir di meja makan.

Kakek menatapku dengan heran. "Kau yakin?"

Aku mengangguk. "Masalah laporan keuangan yang tidak stabil. Mereka bilang mereka sedang bersaing keras dengan sebuah brand lokal baru di sana," jawabku dengan cepat.

"Kapan kau mengetahui hal ini?" tanya Kakek tanpa melihat wajahku.

"Seminggu sebelumnya. Aku tidak menyangka bahwa laporan yang Syalem Korea kirimkan sangat amburadul. Keuntungan yang didapat juga sangat tipis. Aku rasa ada yang salah dan aku mencoba menghubungi kepala keuangan di sana," jawabku dengan lugas.

Kakek meletakkan sendok dan garpunya. "Kita bertemu besok pagi di ruangan Kakek."

"Baik, Kek," ucapku.

Setelah makan malam berakhir, aku masuk ke dalam kamar. Perlahan-lahan, aku membuka laptop yang sudah sebulan tak pernah ku pegang. Tatapanku tertuju pada foto Fathir yang sedang berdiri dengan gagah di depan rapat bulanan yang selalu kami laksanakan. Ah, bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia masih menjadi pengamen yang aku temui dulu? Aku merindukannya, ucapku dalam hati.

Pagi itu, suasana kantor sedikit mencekam. Kakek yang beberapa minggu ini tak pernah datang, terlihat dengan wajah tak bersahabat memasuki ruangannya.

"Kau sudah siapkan semua bukti-buktinya, Alesha?" tanya Kakek padaku yang sudah setengah jam berada di dalam ruangannya.

"Sudah, Kek. Mereka mengirimkan beberapa buktinya padaku," jawabku seraya menunjukkan laporan keuangan yang ku terima tadi malam.

Kakek memerhatikan semua berkas dengan seksama. Wajahnya semakin memerah saat mengetahui bahwa pendapatan di bulan ini menurun drastis.

Ayah mengambil selembar kertas yang ku pegang dan ikut mengamatinya.

"Ini tidak bisa dibiarkan. Kita akan kehilangan pelanggan dan akan mengakibatkan Syalem di Korea bangkrut," ucap Kakek sembari melihatku.

"Kakek benar. Aku juga merasakan hal yang sama," ujarku.

"Kau harus segera menanganinya. Kau harus berangkat ke Korea dan mencari akar masalah dari semuanya." Kakek memberikan berkas itu kembali padaku.

"Aku?" tanyaku dengan rasa tak percaya.

"Siapa lagi? Hanya kau yang berkompeten di perusahaan ini. Kakek tidak bisa membiarkan orang lain mengatasi masalah besar ini," kata Kakek dengan sangat tegas.

Ayah yang berdiri dan diam sejak tadi membuka suaranya. "Aku yang akan mengatasinya, Ayah."

Kakek tertawa sinis. "Kau? Kau ingin mengatasinya? Tidakkah kau ingat siapa yang sudah merusak perusahaanku di sana? Bagaimana aku harus membayar semua kerugian akibat sikap tololmu itu? Coba kau ingat lagi!" serunya dengan ketus.

Ayah menghela napas. "Aku tidak melakukan apapun. Aku juga tidak tahu tentang penipuan itu," bantahnya dengan suara yang mulai meninggi.

"Jangan mengelak! Kau yang sudah melakukannya!" seru Kakek dengan suara yang lebih keras lagi.

"Berapa kali harus ku jelaskan pada Ayah bahwa aku tidak berada di sana saat penipuan itu terjadi. Mereka meneleponku setelah si penipu lari dan membawa uang perusahaan," ungkap Ayah dengan lirih.

"Kau ada atau tidak di tempat itu, kau tetap saja tolol bagiku!" seru Kakek dengan ketus.

"Ya, aku memang tolol. Aku juga tidak bisa diandalkan. Ayah hanya mengukur kemampuanku sampai di situ?" Ayah mulai menjawab Kakek dengan lantang.

Aku berlari dan berhenti di depan ayah. "Kalian tidak perlu berdebat tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku akan mengurus semuanya," ucapku.

"Nak, kau sudah terlalu banyak berkorban untuk Ayah. Ayah tahu bahwa kau juga cukup lelah untuk melakukannya." Ayah memegang kedua pundakku.

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Semuanya akan baik-baik saja, Yah."

Aku berjalan menyusuri pinggiran gedung perusahaan. Siang ini aku ingin menikmati makan siangku sendiri tanpa Panji. Aku mulai muak dengan hubungan yang tak sedikitpun ku inginkan. Sepertinya keputusan kakek menyuruhku untuk terbang ke Korea sangat tepat. Dengan begitu, aku akan berpisah dengan Panji selama beberapa waktu.

Aku melongo. Sebuah plang nama toko baju membuyarkan lamunanku. "Kedai Baju Alesha", seperti namaku. Kakiku mengubah arahnya tanpa ku komandoi. Aku berjalan ke arah toko baju itu dengan sangat hati-hati.

What? Seseorang yang tak asing lagi di mataku berdiri di dalam sana. Dengan cepat, aku membalikkan tubuhku dan berlari menjauh dari tempat itu. Aku tidak salah lihat, kan? Dia Fathir, bukan? Aku terus bertanya-tanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!