Aku masih mendekam pilu di apartemen sembari memeriksa berita terbaru di sosial media perusahaan Syalem. Aku takut berita tentang Fathir beredar luas, sementara kebenarannya juga belum pasti. Aku juga takut citranya semakin buruk di mata dunia. Entahlah, aku juga tidak tahu harus percaya pada siapa saat ini.
Ku pandang jam di dinding. Sudah pukul delapan malam. Sepertinya aku lupa makan malam. Dengan malas, ku angkat tubuhku dan berjalan menuju dapur.
Tiba-tiba, bel dari depan berbunyi dengan keras. Siapa yang datang malam-malam begini? tanyaku dalam hati. Aku berjalan menuju pintu dengan penuh tanda tanya. Ku dekatkan wajahku ke lubang kecil yang ada di pintu untuk melihat siapa yang datang.
Deg. Itu Fathir. Seketika jantungku berdetak dengan kencang. Ada Fathir di luar. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Boleh aku masuk?" tanya Fathir saat pintu sudah ku buka.
Aku mengangguk. Kemudian, aku membuka pintu semakin lebar dan membiarkan Fathir masuk ke dalam.
Dia duduk di sofa yang berada dekat dengan jendela. Tangannya terkepal dan wajahnya tampak gelisah.
Aku menghampiri Fathir dan duduk tak jauh darinya. "Ada apa?" tanyaku sembari memasang wajah penuh kekecewaan.
"Aku ingin minta maaf," ucap Fathir dengan lembut. Dia mengangkat kepalanya dan memandangku.
Aku terkejut. "Untuk apa minta maaf? Kau tidak ada salah, kan?" jawabku tetap berusaha tenang.
"Aku sudah melukai hatimu. Seharusnya aku bisa menahan emosi dan mencari jalan keluar dari masalah ini bersama-sama," ucap Fathir dengan menunjukkan wajah memelas.
Aku menghela napas panjang. "Siapapun akan menjadi emosi saat menghadapi masalah besar."
Fathir mengangguk. "Kau benar."
Aku mengulum bibir sambil menunggu Fathir membuka percakapan ini kembali.
"Aku ke sini untuk menjelaskan bahwa aku tidak akan membatalkan kontrak kita." Fathir tersenyum.
Aku menahan senyum di wajahku. Aku senang mendengar pernyataannya. Itu berarti duniaku masih bisa diselamatkan. "Kau yakin?" tanyaku.
Fathir mengangguk lagi. "Kita harus memperbaiki semuanya. Duniamu lebih berarti dari masalah ini."
Kali ini senyumku mengembang. Aku tidak bisa menahannya lagi karena terlalu senang. "Um, aku juga ingin minta maaf karena sudah menyakiti perasaanmu dengan kata-kata kasarku. Kau mau memaafkanku, kan?"
Fathir menatapku lekat-lekat. Kemudian, dia mendekatiku dengan perlahan-lahan. Tangannya menyentuh pundak sebelah kananku.
Aku bisa merasakan sebuah rangkulan yang hangat. Namun, aku tidak bisa menolak sentuhan itu.
Fathir tak menjawab. Dia masih menatapku tanpa berkedip, bahkan sekarang tatapan itu menjalar ke seluruh tubuhku dan membuatku bergidik geli.
Mendadak jantungku pun ikut berdetak semakin kencang. Embusan napas yang menyerbu wajahku membuat bulu romaku berdiri.
Fathir kembali melingkarkan tangannya ke pinggangku. Kemudian, dia menarik tubuhku merapat ke tubuhnya. Kami ambruk di atas sofa. Mata Fathir masih menatapku dengan tajam.
Tak butuh waktu lama, sebuah ciuman mendarat di bibirku dengan mulus. Bibir Fathir terasa hangat. Aku sangat menikmatinya. Bahkan, tak ingin menyudahinya sampai akhirnya kami melupakan segalanya. Kami telah melanggar semua poin dari perjanjian itu.
Mataku terbuka lebar. Aku ingin keluar dari ******* ganas ini, tetapi batinku menolaknya dengan keras. Apakah ini pertanda aku sedang menantikan adegan ini sekian lama? Aku tak bisa menutup mataku kembali.
Sudah cukup. Lima belas menit adalah waktu yang terlalu lama untuk terbuai dalam kemesraan penuh erotis ini. Aku mendorong dada Fathir dan bangkit dari atas tubuhnya.
Fathir menelan ludahnya. Sepertinya dia menyadari kesalahan yang baru saja kami lakukan.
"Ka-kau mau minum apa?" tanyaku sembari memperbaiki rambutku yang tampak acak-acakan.
"Apa saja," jawab Fathir tanpa melihatku.
Aku bangkit dan berjalan menuju dapur. Sesampainya di sana, aku menarik napas panjang dan perlahan-lahan mengembuskannya. Ini adalah ciuman pertamaku dengan seorang pria. Aku tak bisa mengelak bahwa aku sangat mendambakan ciuman ini sejak lama. Namun, mengapa harus dengan Fathir?
Fathir membuka pintu menuju balkon. Seketika angin malam menyentuh tengkuk dan membuatku menggeliat. Dia melihatku sambil tersenyum.
"Dingin, ya?" tanya Fathir.
Aku mengangguk.
Fathir mendekatiku dan mendekapku tanpa meminta izin.
Aku tertegun. Apa yang sedang dilakukannya?
"Kau tidak terbiasa dengan angin malam, ya?" tanya Fathir.
"Tidak juga. Kadang-kadang aku mencarinya di saat masalahku terlalu banyak," jawabku dengan sedikit grogi karena dekapan yang diberikan Fathir.
"Jangan sering-sering! Nanti kau bisa sakit," ucap Fathir, kemudian tertawa dengan keras.
Aku meninju lengannya. "Itu tidak perlu kau katakan!" seruku dengan wajah kesal.
Fathir berhenti tertawa. Dia menoleh ke arahku. "Kau percaya padaku, Alesha?"
Aku diam.
"Aku tidak melakukan kecurangan di perusahaanmu. Aku bekerja dengan jujur dan keras karena ini adalah impianku. Aku ingin melanjutkan hidupku di masa depan." Wajah Fathir tampak sendu.
Aku masih diam. Otakku mulai berpikir untuk menentukan pada siapa aku akan memberi kepercayaan ini.
"Sejak awal aku hanya meminta imbalan pekerjaan darimu. Aku tidak ingin apapun. Kalau aku bekerja, maka keluargaku di panti juga dapat melanjutkan hidup mereka," ungkap Fathir sembari menahan kesedihan di wajahnya.
"Aku mengerti," ucapku.
"Aku tidak mencuri uang perusahaan dan tidak ada wanita lain dalam hidupku," aku Fathir sekali lagi.
Aku memandangnya.
"Ak-aku... aku...."
Aku masih memandangnya dan menunggu kelanjutan kalimatnya yang terpotong.
"Ah, kupikir aku sangat mengantuk. Sepertinya aku harus pulang," ujar Fathir dan melepaskan rangkulannya dari pundakku.
"Kau yakin akan pulang jam segini? Ini sudah lewat tengah malam," kataku menahan langkahnya.
"Memangnya kenapa? Apa aku harus menginap di sini?" tanya Fathir dengan heran.
"Um, kupikir tidak masalah, kan, kalau kau menginap saja?" jawabku tanpa berpikir panjang.
Fathir tersenyum. Dia masuk ke dalam dan meninggalkanku di balkon sendirian.
Oh, Tuhan. Apa yang ku katakan? Aku menahan seorang pria agar tidak pulang, bahkan menyuruhnya menginap. Wanita seperti apa aku ini? gerutuku sembari memukul dahiku berkali-kali.
Kepalaku sedikit pusing. Aku bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Aku terkejut saat melihat pintu kamarku terbuka lebar. Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang, aku keluar dari dalam kamar.
Aku tertegun melihat Fathir tertidur di atas sofa dengan televisi yang masih menyala. Apakah dia benar-benar tidak pulang tadi malam? tanyaku dalam hati. Aku mendekatinya dan memandang wajah tampannya sambil tersenyum. Ah, sayang sekali, dia hanyalah seorang gelandangan tanpa orang tua, kataku lagi di dalam hati.
Ku singkirkan pikiran nakal dari otakku saat melihat pria itu mengulum bibirnya. Dengan cepat, aku meninggalkan Fathir dan membiarkannya tetap tidur.
"Um, harum sekali. Kau sedang masak apa?" Suara Fathir mengagetkan pagi cerahku yang berkutat di dapur.
"Kau sudah bangun?" tanyaku.
Fathir mengangguk.
"Aku membuatkan sarapan untukmu. Sebelum berangkat ke kantor, sebaiknya sarapan dulu."
Fathir menyunggingkan senyum. "Aku sudah dipecat, Alesha. Kau tidak ingat, Tuan Syalem sudah mengusirku dari perusahaannya?"
Aku mendengus. "Ah, aku lupa."
"Tapi rasanya tidak masalah. Aku juga harus mengemasi barang-barang yang masih ada di sana," ucap Fathir lagi.
Aku tersenyum.
Wajah Fathir tampak berseri saat duduk di sampingku untuk menyantap sarapan kami pagi ini. "Kau suka masak?" tanya Fathir.
Aku menggeleng. "Aku tidak bisa memasak."
"Lalu, apa yang kau masak ini?"
Aku melongo. "Itu hanya omelette," jawabku.
Fathir mengernyitkan dahinya. "Omelette?"
Aku tersenyum. "Telur dadar."
Fathir mengangguk. "Oh, aku baru tahu, kalau telur dadar punya nama gaul juga."
Aku tertawa sembari memukul lengan Fathir. Kadang-kadang kepolosannya membuatku merindukannya dan mengagumi pribadinya. Apakah aku sedang jatuh cinta sekarang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments