Seminggu berlalu setelah pertemuan Fathir dengan keluargaku. Aku masih tidak menyangka pria itu dengan mulusnya masuk ke dalam istana Syalem tanpa penolakan dari kakek. Apakah itu artinya kakek sudah mengalah? Atau jangan-jangan kakek sedang merencanakan sesuatu? Ah, lebih baik aku berpikir positif saja.
"Mira tidak jadi datang," ucap Fiska sembari berjalan ke tempat duduknya.
Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa? Bukannya dia bilang sudah di jalan?" tanyaku dengan rasa penasaran yang besar.
Fiska mengangkat bahunya. "Aku baru menerima pesannya," jawabnya.
Aku diam dan memerhatikan Fiska memberikan handphone-nya padaku.
Ku raih handphone itu dan mulai membaca pesan di layarnya. "Memangnya Mira ada masalah apa, sih?"
"Kau benar-benar tidak tahu, Lea?"
Aku menggeleng.
"Dia sudah dibohongi oleh seorang pria tak dikenal," jawab Fiska dengan sorot matanya yang tajam.
"Dibohongi pria tak dikenal? Masa, sih, Mira bisa setolol itu?" ucapku dengan sedikit keraguan.
Fiska mengangkat bahunya lagi. "Aku juga tidak tahu. Dia bilang dia berkenalan dengan pria itu melalui aplikasi blind date," jawabnya.
Aku mendengus. "Ada-ada saja. Kenapa, sih, dia harus pakai aplikasi seperti itu? Bukannya banyak pria yang sedang mengejarnya?"
Fiska tersenyum. "Dia terlalu polos, Lea."
"So, what's her problem now?" tanyaku melanjutkan rasa penasaran yang belum terjawab.
"Mira bilang dia merasa tersihir oleh kata-kata manis pria itu. Sampai akhirnya dia memberikan semua yang diinginkan pria itu. Namun, dia tidak pernah bertemu dengan kekasihnya. Aneh, kan?" ujar Fiska.
"Are you sure? Memangnya ada wanita yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya? Atau paling tidak, dia tidak penasaran seperti apa pria yang sudah mengencaninya lewat aplikasi blind date?" tanyaku beruntun karena sangat penasaran dengan cerita Mira yang sebenarnya.
"Aku sudah membuka pikirannya tentang itu, tetapi dia menyanggah semua yang ku katakan. Menurutnya lebih baik seperti itu, tidak perlu bertemu. Ah, aku juga bingung," jawab Fiska. Kemudian, dia mengangkat gelas yang berisi air minum dari atas meja.
"Sudah berapa lama mereka berkencan?"
"Um, kalau tidak salah, sekitar setengah tahun ini," jawab Fiska.
Aku tercengang. Kedua bola mataku membesar. "Dalam waktu setengah tahun Mira sudah ditipu ratusan juta oleh pria itu?" tanyaku.
Fiska mengangguk.
"Oh, My God. Aku tidak habis pikir," kataku sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Fiska tersenyum sinis.
Makan siangku bersama Fiska hari ini menambah deretan pertanyaan di dalam benakku. Bagaimana mungkin Mira sepolos itu menerima cinta dari seorang pria yang tidak dikenalnya? Lalu, mengapa Fiska tidak berusaha keras menyadarkan sahabatnya? Mengapa Fiska seolah-olah tidak peduli pada Mira dan membiarkannya terbuai terus-menerus?
Handphone-ku berdering. Sebuah nomor kontak kantor terpampang di layar. Aku mengangkat panggilan tersebut.
"Halo," sapaku.
"Bu Alesha, mobilnya sudah siap. Apakah saya bisa mengantarnya sekarang?" tanya seseorang dari seberang.
"Oh, ya, akan saya hubungi lagi nanti. Saya masih di kantor," jawabku.
Telepon terputus setelah si penelepon membalas pernyataanku. Aku berlari menuju ruang kerja Fathir. Aku harus memberitahunya tentang berita gembira ini.
Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, aku masuk ke dalam.
"Oh, Tuhan. Bisakah kau mengetuk pintu itu terlebih dahulu? Kau sudah mengejutkanku!" seru Fathir sembari mengelus dadanya dengan perlahan-lahan.
Aku tersenyum lebar. "Itu tidak penting karena aku membawa kabar penting untukmu."
"Apa?"
"Mobilmu sudah datang. Kita akan menjemputnya sekarang." Aku menghampiri Fathir yang sedang duduk di balik meja kerjanya.
Fathir menelan ludahnya. "Um, apakah itu tidak berlebihan? Aku hanya meminta pekerjaan darimu, bukan kemewahan," jawabnya.
Aku diam sejenak. Ku pandang wajah tampan ini lekat-lekat. "Aku minta maaf. Namun, seharusnya kau tahu bahwa kau adalah seorang manajer. Bagaimana keluargaku percaya bahwa seorang manajer tidak memiliki kendaraan dan menumpang padaku?"
Fathir mengulum bibirnya. "Kau tidak perlu sampai membelinya, kan?"
Aku menggigit bibirku. "Begini saja, setelah kontrak kita selesai aku akan mengambil mobil itu kembali. Jadi, anggap saja ini adalah salah satu fasilitas untuk menunjang keberhasilan kerja sama kita," jawabku.
Fathir tersenyum. "Baiklah, Nona Alesha."
Aku mengalihkan pandanganku saat beradu dengan pandangan Fathir. Beberapa hari ini, dia sudah membuatku sedikit kehilangan kewarasan dan tidur malamku. Entah mengapa bisa terjadi seperti itu.
Menjadi seorang Alesha Syalem bukanlah hal yang mudah. Identitas diriku sudah dikenal banyak orang ternama di dunia ini karena kakek sudah mengumumkan bahwa aku adalah pewaris Syalem selanjutnya. Bahkan, banyak dari mereka juga menginginkanku menjadi menantu untuk anak-anaknya. Namun, aku tidak menanggapi hal itu. Bagiku pilihan hidup itu penting karena aku yang akan menjalaninya.
Suasana istana Syalem terlihat tenang. Mobil ayah terparkir di halaman depan, tetapi aku tidak melihat mobil kakek. Mungkin kakek masih sibuk di luar.
Aku berjalan menyusuri beberapa ruangan dan koridor di dalam rumah. Sampai mataku tertuju pada pemandangan yang tidak pernah ku temukan sebelumnya.
Ibu tertawa dengan lepas. Wajahnya semakin cantik di usianya yang sudah memasuki kepala 6. Dia memegang setangkai anggrek putih dan gunting taman di kedua tangannya.
Aku berjalan mendekati ibu. Namun, setelah beberapa langkah aku berhenti dan tercengang. Ini semua di luar dugaan. "Fathir!" seruku dengan keras.
Fathir membalikkan tubuhnya.
Sementara itu, ibu menoleh ke arahku. "Kau sudah pulang, Nak?" ucap Ibu.
Aku mengangguk. "Ya, Bu."
Fathir hanya diam.
Aku menghampiri keduanya. "Bagaimana kau bisa datang ke sini?" tanyaku pada kekasih kontrakku itu.
Fathir mengubah posisinya dan memandangku dengan tajam. "Kalau ku bilang aku merindukanmu, bagaimana?"
Aku tersentak. Apa-apaan dia? Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu di depan ibu? ucapku dalam hati. Ku lirik ibu yang sedang menahan senyum dengan telapak tangannya.
"Um, sepertinya Ibu harus meninggalkan kalian berdua," ucap Ibu dengan malu-malu.
"Tidak, Nyonya. Anda tidak perlu meninggalkan kami karena sebenarnya saya datang ke sini juga karena ingin melihat Nyonya," ujar Fathir menahan ibu pergi.
Aku menahan tangan ibu dengan cepat. "Jangan dengarkan apa yang dia katakan, Bu! Dia memang sangat pandai merayu, tetapi sayangnya aku sudah kebal dengan rayuannya."
Ibu tertawa. "Kalian ini! Jangan pikir Ibu tidak mengerti dengan cinta. Ibu dan ayahmu juga pernah merasakannya, Alesha."
Aku menelan ludah dan salah tingkah. Bukan karena kalimat ibu, tetapi karena pandangan Fathir yang tak berhenti menatapku.
"Seharusnya kau bahagia memiliki seorang kekasih seperti Fathir, Nak," ucap Ibu sambil mengelus pipi Fathir dengan lembut.
Fathir tersenyum dengan bangga, sementara aku mengerucutkan bibirku padanya.
"Pria yang selalu merayumu, bukan berarti dia seorang perayu yang hebat. Namun, dia sedang terbuai dengan cinta dan pesonamu, Nak," ucap Ibu melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. "Kalau itu, aku setuju, Bu."
Fathir memandangku dan ibu secara bergantian.
"Hahaha... baiklah, Ibu masuk dulu. Harinya sudah panas," ujar Ibu, kemudian masuk ke dalam rumah.
Aku melirik Fathir yang masih berdiri di depanku.
"Apa kau tidak ingin membuatkan secangkir kopi atau susu untukku, Alesha?" Suara Fathir mengejutkanku.
"Ingat, kita hanya pura-pura! Jangan coba-coba mengambil kesempatan dariku," paparku kembali untuk mengingatkan Fathir tentang status kami yang sebenarnya.
"Aku tidak akan mengambil kesempatan, tetapi aku sedang melaksanakan tugasku sebagai kekasih kontrakmu," sanggah Fathir yang membuatku tertegun.
Sambil mendengus pelan, aku berjalan masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Fathir. Kali ini akan ku maafkan, tetapi lain kali dia akan menerima akibatnya karena terlalu banyak sandiwara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments