Setelah melewati dua musim muson di Singapura, akhirnya aku bisa kembali dengan tenang ke tanah air. Kakek sudah menyiapkan sambutan yang luar biasa untukku. Aku tahu ini sangat berlebihan, tetapi bagi kakek ini adalah hal yang biasa. Ku sandarkan tubuhku di sofa empuk yang baru saja dibeli olehnya dari Dubai sebulan yang lalu. Menurutku, tidak begitu berbeda dari sofa yang lama. Mungkin harganya yang lebih mahal membuat sofa ini tampak istimewa.
"Ibu sangat merindukanmu," ucap Ibu sembari membawa segelas air berwarna merah di tangannya.
Aku tersenyum, kemudian meraih gelas itu dari tangan ibu. "Ibu masih ingat dengan minuman kesukaanku?" tanyaku.
Ibu mendelik. "Tentu saja, Sayang. Sirup merah dingin dicampur air gula sedikit supaya rasanya semakin manis, semanis putri Ibu ini."
Aku tertawa geli. "Ibu bisa saja."
"Bagaimana keadaan di sana? Baik-baik saja, kan? Kau bisa mengatasi masalah perusahaan dengan baik, kan?" Pertanyaan beruntut dari ibu membuatku kehilangan konsentrasi.
"Semuanya baik-baik saja, Bu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawabku dengan cepat.
Ibu mengangguk pelan. "Kau tidak lelah? Sebaiknya kau istirahat dulu sebelum kakek pulang. Ibu takut kakek akan membuatmu tidak bisa istirahat dengan cukup," ucapnya.
"Ya, aku juga sedikit pusing setelah turun dari pesawat. Aku ke kamar dulu, ya, Bu?" pintaku sembari menunjukkan ekspresi manja pada ibu.
Ibu mengangguk sembari tersenyum.
Aku bangkit dari sofa dan berjalan menaiki tangga menuju ke kamarku yang berada di lantai dua. Ku pandangi taman belakang yang tampak indah dari anak tangga sembari tersenyum. Bunga-bunga itu semakin banyak. Ibu sangat pintar merawat mereka, tidak seperti aku. Ah, sudahlah. Mungkin aku tidak ahli dalam bidang perkebunan, setidaknya aku dapat diandalkan untuk mengurus anak perusahaan kakek yang berada di Singapura.
Malam ini, Fiska dan Mira, sahabatku, mengajakku untuk bertemu di kafe favorit kami. Saat pintu kafe terbuka, aku mulai mencari kedua wanita lajang itu dengan mata elang yang ku punya. Oh, ternyata mereka ada di ruang VIP.
"Hai," sapaku dengan lembut.
Fiska membalikkan tubuhnya dan memelotot ke arahku. "Alesha!" serunya. Dia bangkit dan langsung menerkamku bak singa yang sedang kelaparan.
Aku menahan sesak di bagian leher saat kedua tangan Fiska melingkar di sana. Wanita yang suka olahraga ini benar-benar berotot seperti seorang lelaki. Tak lama kemudian, Mira juga ikut melompat dari kursinya dan memelukku di bagian pinggang. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menahan sesak di beberapa bagian tubuhku dan menunggu mereka selesai memangsaku.
Fiska melepaskan cengkeramannya dan menarik tanganku untuk segera duduk. "Aku ingin bertanya beberapa hal padamu, Lea."
Aku mengerutkan dahi. "Tentang apa?" tanyaku.
Mira pun ikut merapat ke tubuhku.
"Kau sudah mengenalnya?" tanya Fiska.
Aku bingung. Bola mataku berputar seakan mencari jawaban yang sebenarnya aku tidak tahu sama sekali.
"Katanya dia anak orang kaya," sambung Mira.
Aku menatap Mira dengan heran.
"Kau pasti akan sangat bahagia, kalau menikah dengannya," ucap Fiska dengan senyum semringah.
"Menikah? Aku? Maksud kalian apa, sih?" Ku pandangi satu persatu wajah mereka.
Fiska menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan-lahan. "Jangan pura-pura tidak tahu! Kau pikir ini kejutan untuk kami? Kami sudah tahu semuanya, Lea."
Aku menganga. "Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian bicarakan. Lebih baik pesankan makanan yang enak untukku sekarang karena aku sangat lapar!" seruku dan menekan bel untuk memanggil pelayan kafe.
Tidak terasa pertemuanku dengan dua sahabatku ini harus segera berakhir. Ku lihat jam di tangan, sudah pukul sepuluh malam. Aku harus pulang karena ibu dan yang lainnya akan sangat khawatir.
"Sudah hampir larut malam, kita sudahi pertemuan hari ini, ya? Besok atau lain waktu aku akan menyusun rencana untuk kita bertiga, bagaimana?" tanyaku pada Fiska dan Mira yang sedang bersiap-siap untuk pulang juga.
"Aku setuju. Kita buat rencana liburan ke Eropa, ya?" kata Mira memberi ide yang cemerlang.
Fiska melirik Mira dengan senyum kecut. "Kau tidak ingat, kalau Mister Johnson sedang memperbaiki manajemen keuangan perusahaan kalian karena ulahmu?" tanyanya dengan ketus.
Aku melihat ke arah Mira. "Ada apa, Mir?" tanyaku.
Mira menunduk. "Aku menggunakan kartu kredit yang diberikan oleh papa secara sembarangan. Sampai akhirnya, berimbas ke perusahaan," jawabnya.
"Jangan bohong lagi!" seru Fiska.
Aku mendelik. "Ada apa, sih, sebenarnya? Dua tahun aku berpisah dari kalian dan aku tidak tahu apapun yang terjadi di sini."
Mira menggeleng. "Nanti akan ku ceritakan," jawabnya sembari tersenyum.
Aku masuk ke dalam mobil dan memberi salam perpisahan kepada kedua sahabatku.
Di tengah perjalanan, hujan pun turun dengan deras. Air sudah menutup permukaan aspal. Aku merinding. Pikiranku kacau. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?
Benar saja. Mesin mobil mati dengan tiba-tiba. Ku coba untuk menstater mobil berkali-kali, tetapi tidak juga menyala. Jantungku mulai tidak aman. Aku harus keluar dan melihat keadaannya. Dengan berbekal sebuah payung, aku mengangkat kap mobil dan berusaha mencari sumber kerusakannya. Namun, aku sama sekali tidak mengerti. Hawa dingin mulai menyelimutiku. Ku perhatikan sekelilingku dengan seksama. Tidak ada yang mencurigakan, tetapi aku masih waspada. Aku mengulum bibir dan berdoa di dalam hati, semoga ada yang datang dan membantuku.
Tuhan mendengar doaku. Seorang pria dengan wajah yang tampan dan berpakaian lusuh menghampiriku. Aku masih berhati-hati dari kejauhan.
"Mogok?" tanya pria itu dengan nada tak bersahabat.
Aku menelan ludah dan tetap menjaga jarak darinya. "Ya," jawabku.
Tanpa aba-aba, dia membuka kap mobil dan mulai memperbaikinya.
Ku perhatikan caranya memperbaiki mobil sampai selesai. Wajahnya tampan, tetapi tidak dengan penampilannya. Apakah pria seperti ini pantas disebut tunawisma? Ah, mana mungkin. Namun, setelah ku lihat-lihat, sepertinya dia memang seorang tunawisma.
"Sudah selesai. Coba hidupkan!" seru pria itu dan menyuruhku masuk ke dalam mobil.
Aku menurutinya. Ku putar kunci dengan perlahan-lahan sembari menekan pedal kopling. Mesin mobil menyala kembali. Wajah tegangku berubah menjadi tenang. Aku tersenyum bahagia.
Setelah mematikan mesinnya kembali, aku keluar dari dalam mobil dan menghampiri pria itu. "Terima kasih banyak atas bantuanmu," ucapku dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu padanya.
Pria itu menggeleng. "Simpan saja!" jawabnya menolak pemberianku dengan tegas.
"Tidak... tidak. Kau pantas menerimanya karena sudah membantuku," ucapku dan menarik tangan kanannya agar menerima pemberianku.
Pria itu menarik tangannya kembali dan pergi tanpa sepatah kata pun.
"Aku benar-benar tulus memberikannya untukmu!" ucapku setengah berteriak.
Pria itu menoleh sejenak, tetapi kembali melanjutkan langkahnya.
"Hei, paling tidak beritahu aku siapa namamu!" seruku sembari mencoba menembus hujan.
Pria itu tak peduli dengan kalimat-kalimatku. Dia terus berjalan di gelapnya malam.
Aku ingin mengejarnya, tetapi segera sadar saat hujan semakin deras. Dengan cepat, aku masuk ke dalam mobil dan mulai melaju dengan kencang menuju rumah.
Pikiranku masih terus berputar tentang pertemuanku dengan Fiska dan Mira. Mulai dari pertanyaan mereka tentang pernikahan dan masalah yang sedang dihadapi oleh Mira. Apa yang sebenarnya terjadi selama aku pergi ke Singapura? Yang tidak aku habis pikir, berita ini tidak pernah mereka bicarakan setiap kami melakukan video call bertiga. Sangat aneh. Sepertinya aku harus mencari tahu yang sebenarnya.
Ah, aku jadi teringat sesuatu. Tentang pria yang menolongku tadi. Siapa dia? Kenapa aku sangat penasaran dengannya?
Sarapan pagi ini, aku bertemu dan duduk di satu meja dengan kakek. Sejak pulang dari Singapura dua hari yang lalu, kakek sangat sulit untuk ditemui. Kata ayah, jadwal kakek sangat padat untuk dua bulan ke depan. Banyak investor asing ingin bertemu dengannya guna membicarakan saham perusahaan. Kalau mendengar hal itu, hatiku sedikit terenyuh. Mengingat perjuangan kakek membangun perusahaan ini dari sebuah kedai baju sampai menjadi sebuah merek terkenal di internasional. Siapa yang tidak mengenal brand SYALEM, brand fashion terbaik di tanah airku.
“Kakek minta maaf karena tidak menyambut kepulanganmu kemarin,” ucap Kakek setelah menyelesaikan suapan
terakhirnya.
Aku tersenyum. “It’s okay. Lea tahu, kok, Kakek sangat sibuk.”
Kakek mengangguk pelan. “Kau sudah ke kantor?” tanyanya tanpa melihat wajahku.
Aku mengulum bibir. “Um, mungkin hari ini.”
Kakek mengangkat gelas yang berisi air putih dan meneguknya sampai habis. “Jangan sampai terlambat! Kakek
menunggumu di sana,” tukasnya.
Aku mengangguk pelan. “Semoga tidak, Kek,” jawabku.
Aku berjalan menuju mobil. Sementara itu, ibu mengikuti langkahku dari belakang.
“Aku harus ke kantor sekarang, Bu. Kakek akan marah, kalau aku terlambat. Ibu dengar, kan, tadi?” ujarku saat berhenti di depan pintu mobil.
“Ibu tahu. Makanya Ibu sudah menyiapkan beberapa cemilan sehat dan air putih ini untuk kau bawa ke kantor. Ibu tidak ingin kau sakit karena terlalu lelah bekerja.” Ibu menyodorkan sebuah tas bekal kepadaku.
Aku tersenyum. “Aku sudah besar, Bu. Kalau lapar, tinggal pesan saja, kan?”
Ibu menggeleng. “Makanan seperti itu kurang bergizi. Lagipula, Ibu suka memasak untuk kalian.”
Aku menghela napas sembari tersenyum. “Baiklah. Akan ku habiskan nanti,” ucapku.
Ibu tersenyum malu-malu.
Tidak lebih dari empat puluh lima menit, aku sampai di kantor. Ku lempar kunci mobil pada sekuriti yang berada di depan lobi. Aku berlari menuju lift dan masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian, aku sudah sampai di lantai sepuluh. Setelah pintu lift terbuka, aku berlari menuju ruangan kakek. Sekretaris Jihan tersenyum menyambutku. Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam tanpa persetujuannya terlebih dulu.
“Aku tidak terlambat, kan, Kek?” tanyaku dengan semringah.
Kakek melihat jam tangannya. “Hampir saja.”
“Ah, syukurlah,” ucapku dan duduk di atas sofa yang berada di depan meja kerja kakek.
Kakek berjalan ke arahku sambil membawa tumpukan berkas di tangannya. Setelah duduk di sampingku, dia melempar berkas itu tepat di hadapanku. “Periksa kembali dan tunjukkan hasilnya dua hari lagi pada Kakek!”
Aku mengangguk pelan dan terpaksa. Semua perintah kakek tidak bisa ditolak ataupun ditawar. Baginya waktu adalah uang dan uang adalah kebahagiaan. Kupikir ini akan terus berakar di keluargaku, di mana uang adalah puncak kehidupan yang sesungguhnya. Namun, tidak untukku. Aku sangat terusik dengan kalimat itu karena bagiku kebebasan tanpa aturan Ahmad Ghad Syalem adalah kebahagiaan. Ah, sudahlah, aku tidak boleh berharap banyak dalam keluarga ini.
Makan malam bersama orang-orang yang ku sayang menjadi sebuah momen yang selalu ku rindukan. Kali ini aku dapat melihat wajah kakek, ayah, dan ibu di hadapanku. Aku benar-benar merindukan suasana seperti ini.
“Sudah lama aku tidak merasakan makan malam yang luar biasa seperti ini,” ujarku sambil memandang kakek, ayah, dan ibu secara bergantian.
Ibu tersenyum dan mengusap pipiku dengan lembut.
“Kakek tidak akan mengirimku ke luar negeri lagi, kan?” tanyaku dengan sedikit rengekan.
Kakek hanya diam.
“Kau sudah berhasil mengatasi satu masalah di Singapura. Itu berarti waktunya kau istirahat dari pekerjaan ini,” jawab Ayah dan menatapku dengan sendu.
“Masih banyak yang harus kita selesaikan, Han. Kau pikir masalah yang kau timbulkan di Korea Selatan sudah selesai? Belum sempurna,” sela Kakek dan memandang ayah dengan tatapan tajam.
“Aku minta maaf, Ayah,” ucap Ayah dengan lirih.
Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan-pelan. “Aku akan membantu Ayah untuk menyelesaikannya,” jawabku dan tersenyum pada ayah.
Kakek mengangguk.
Sementara itu, Ibu memegang pundakku seakan-akan tidak memberi izin untuk pergi jauh lagi darinya. “Ibu tidak ingin kau pergi lagi,” ucapnya.
Aku tersenyum.
“Kau sudah memberitahu Alesha, Han?” tanya Kakek pada ayah yang duduk di sampingku.
Ayah menggeleng. “Lebih baik Ayah saja yang mengatakannya.”
“Kau memang tidak pernah bisa diandalkan!” seru Kakek dengan nada keras.
“Bukan seperti itu, Yah. Aku tidak cukup berani untuk mengatakannya. Alesha adalah putriku satu-satunya, aku tidak ingin menjadi musuhnya hanya karena perjodohan ini,” bantah Ayah berusaha tetap tenang.
Aku tersentak. Perjodohan? tanyaku dalam hati.
Kakek mendengus. “Kalian semua, dengarkan baik-baik! Terutama kau, Alesha!” serunya sembari menatapku dengan tajam.
Aku bergidik ngeri dan hanya menunduk.
“Usiamu sudah 27 tahun dan sudah terlalu lama hidup sendiri. Kakek juga tidak pernah melihatmu dekat dengan seorang pria. Sehingga, Kakek dan ayahmu sepakat dan sangat menginginkan kau segera menikah. Apalagi, Kakek sudah semakin tua, ayah dan ibumu juga seperti itu. Kami memerlukan penerus untuk mewarisi perusahaan ini,” ucap Kakek sembari menahan napasnya pelan-pelan.
Sudah ku duga, ini pasti akan terjadi. Lalu, apa yang akan kalian inginkan lagi? bisikku dalam hati.
“Kakek sudah memilih pria yang pantas untuk menjadi suamimu. Keluarganya terpandang dan serba berkecukupan. Kakek rasa kau tidak akan merasa kekurangan apapun setelah menjadi istrinya.” Bola mata kakek bertemu dengan bola mataku.
“Maksudnya Kakek sudah menjodohkanku tanpa sepengetahuanku?” tanyaku berusaha meyakinkan keraguan ini.
Ayah mengangguk. “Ayah juga sangat mengenal keluarganya. Pilihan kakek tidak akan salah, Lea.”
Dengan spontan, aku menghentakkan kakiku. Kemudian, memandang ke arah kakek. “Kakek tidak bertanya lebih dulu padaku?”
Kakek menggeleng. “Untuk apa?”
Aku menggigit bibirku.
“Dia yang terbaik untukmu,” tukas Kakek dengan tegas.
“Aku tidak mengenalnya, Kek,” bantahku dengan suara yang lebih keras.
Ibu terus menggenggam tanganku dan aku bisa merasakan kekhawatirannya yang sangat besar.
“Kau tidak perlu mengenalnya karena Kakek sangat mengenalnya. Kau hanya akan menikah dengannya, dengan pilihan Kakek.” Sorot mata kakek membuatku hampir runtuh mempertahankan penolakan ini.
“Aku yang akan menjalani kehidupanku, Kek. Kenapa Kakek tidak mengerti juga?” tanyaku dengan air mata yang masih bertahan untuk tidak menetes.
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin mencari pria lain?” tanya Ayah yang saat itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Aku menoleh ke arah ayah. Sepertinya ayah sedang mengisyaratkan sesuatu padaku. “Ak-aku… aku… aku sudah punya pilihan,” ucapku dengan terbata-bata.
Ayah terkejut, sementara ibu menggenggam tanganku dengan kuat dan berharap aku berhenti melakukan penolakan ini.
“Aku punya pilihan sendiri untuk masa depanku.”
“Alesha,” ucap Ibu dengan lirih.
“Aku sudah memilihnya untuk menjadi suamiku nanti. Aku tahu kalian pasti bertanya-tanya siapa dia, di mana aku bertemu dengannya. Aku hanya butuh waktu untuk mengenalkannya pada kalian.” Aku menjelaskan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada sama sekali dan berharap semua orang yang ada di ruangan ini menerima jawabanku.
Kakek menghapus sisa air di bibirnya. “Oh, ya? Bawa dia ke hadapan Kakek! Kakek akan menilai pilihanmu itu,” ucapnya sembari tersenyum sinis.
Aku menelan ludahku. Bagaimana ini? Aku harus membawa seorang pria yang ku sebut kekasih dan menunjukkannya pada kakek? Apa yang sedang ku lakukan sekarang? ucapku dalam hati.
Malam ini, aku memutuskan untuk pergi keluar mencari ketenangan setelah berdebat dengan kakek. Kepalaku mau pecah. Ke mana aku akan mencari pria yang mau menjadi kekasihku sementara waktu? Kenapa aku harus berbohong pada kakek?
Mobil melaju tanpa tujuan, hingga sampai di sebuah keramaian malam yang sudah sering ku lihat. Namun, aku tidak berani untuk keluar dari mobil dan bergabung bersama mereka. Aku takut kebiasaan ini akan mengubah kehidupan mewahku di istana Syalem. Namun, setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya aku mencoba merasakan kebahagiaan itu. Ku ambil sandal flat dari jok belakang, kemudian mengikat tinggi rambutku ke atas. Aku keluar dari dalam mobil.
Ah, aku bisa merasakannya. Malam yang indah, bisikku dalam hati. Aku berjalan lurus dan masuk ke dalam keramaian. Ada perasaan takjub saat melihat beberapa wahana permainan yang mirip dengan permainan yang pernah ku naiki saat berada di Hongkong tiga bulan yang lalu, tetapi di sini lebih sederhana. Senyumku mengembang memerhatikan sekelilingku. Sampai akhirnya, mataku tertuju pada seseorang. Bukankah dia pria yang menolongku kemarin? tanyaku dalam hati.
Aku berjalan dengan cepat dan menghampiri pria itu. Dia sedang memainkan gitarnya di hadapan beberapa pasang muda-mudi yang sedang duduk santai di sebuah kafe.
“Maaf, apakah kau pria yang menolongku kemarin?” tanyaku langsung tanpa basa-basi padanya setelah lagu yang dinyanyikannya berakhir.
Pria itu menoleh ke arahku. Dahinya mengerut.
“Kau yang memperbaiki mobilku yang mogok malam itu. Ya, kan?” tanyaku menjelaskan kembali dan berharap dia mengingatnya.
Pria itu melepaskan tangannya dari gitar dan pergi begitu saja.
Aku mengejarnya. “Hei, aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya….”
“Pergilah! Kau sudah mengangguku,” ucap pria itu tanpa berhenti.
Aku terus mengejarnya. “Aku hanya ingin tahu namamu. Itu saja,” ucapku.
Tiba-tiba, dia berhenti dan membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Dengan cepat, pria itu menahan tanganku agar tidak terjatuh.
“Untuk apa?” tanya pria itu dengan posisi masih memegang tanganku.
Aku bingung. Dia benar juga untuk apa aku mengenalnya? tanyaku dalam hati.
Pria itu melepaskan tangannya setelah aku berdiri kembali. Kemudian, dia pergi.
“Sepertinya aku masih membutuhkan bantuanmu!” seruku. Kalimat ini keluar dari mulutku begitu saja. Aku tidak memikirkannya sama sekali.
Pria itu berhenti kembali. Dia membalikkan tubuhnya ke belakang. “Bawa saja mobilmu ke bengkel!” serunya.
Aku tercengang. “Bukan… bukan. Ini bukan tentang mobilku,” sanggahku dengan cepat.
Pria itu mengerutkan dahinya kembali sembari menatapku dengan tajam.
Aku mendekatinya dengan perlahan-lahan karena takut dia akan pergi lagi. “Aku Alesha. Saat ini aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa mengeluarkanku dari masalah.”
Pria itu memandangku lekat-lekat. “Kau bangkrut?”
Aku mendelik. “Apa? Bangkrut? Memangnya tampangku menunjukkan hal seperti itu?”
Pria itu hanya mengulum bibirnya tanpa berkata apa-apa.
Aku menghela napas. Sepertinya pria ini tidak suka basa-basi. “Bu-bukan begitu. Aku akan dijodohkan oleh kakekku.”
“Lalu, apa urusannya denganku?” tanyanya dengan nada cuek.
Aku kembali menarik napas panjang sebelum mengatakan semuanya pada pria ini. “Aku tidak ingin dijodohkan, apalagi aku tidak mengenal siapa orangnya.”
“Lalu?” Matanya yang tajam membuatku bergidik ngeri.
“Aku perlu kau untuk menjadi kekasih sewaan sampai kakekku melupakan perjodohan itu,” jawabku dengan lantang.
“Sewaan?” tanya pria itu dengan senyum sinis di waahnya.
Aku mengangguk.
“Wah, idemu cemerlang juga, ya!” seru pria itu sembari bertepuk tangan.
Aku mencoba tersenyum, tetapi merasa ada yang janggal.
“Sayangnya, aku tidak mau disewa!” serunya dan membalikkan tubuhnya kembali.
Dengan cepat, ku tarik tangan kanannya dan menahannya dengan kuat. “Ku mohon, aku akan membayarmu berapa pun itu, asalkan kau setuju.”
Pria itu mendengus. “Aku tidak ingin bayaran.”
“Lalu, apa yang kau inginkan? Katakanlah! Aku akan mengabulkannya,” tukasku.
“Aku tidak ingin apapun. Kau cari orang lain saja!” serunya dan mengempaskan tanganku dengan kasar.
Aku mulai meringis. “Aku memang wanita yang payah. Sudah setua ini belum juga menemukan lelaki yang tepat. Aku benar-benar payah. Lebih baik aku bunuh diri saja daripada harus menikah dengan orang yang tidak ku kenal,” ucapku dalam rengekan manja yang sedang ku buat-buat.
Pria itu berhenti sejenak.
Aku segera memasang kuda-kuda untuk melompat ke arah jalan raya yang ramai dengan kendaraan.
Tiba-tiba, sebuah suara menahanku. “Kau ingin mati?”
Aku tercengang. Kupikir dia akan berubah pikiran setelah melihat adegan ini, tetapi aku salah sangka.
“Aneh! Wanita kaya sepertimu ingin mati? Memangnya ada yang salah dengan perjodohan?” kata pria itu dengan kasar.
Aku diam. Aku harus tetap memainkan adegan ini sampai dia benar-benar menyetujui tawaranku.
“Baiklah,” ucap pria itu pada akhirnya.
Aku tersenyum. Ku lirik pria itu yang masih berdiri jauh dariku. “Kau setuju?” tanyaku tanpa melihatnya.
“Tidak juga,” jawabnya sembari mengangkat kedua bahunya.
“Lalu, apa maksudmu dengan kata ‘baiklah’?” tanyaku dengan sedikit geram.
Dia tertawa kecil. “Baiklah, kalau kau memang ingin mati. Silakan saja!” serunya, kemudian membalikkan tubuhnya kembali.
Aku menghela napas dengan kekesalan yang luar biasa. “Dasar kau!” seruku dan berlari ke arahnya. Ku tahan pundak kanannya dengan sekuat tenaga. Lalu, menarik lengannya agar wajahnya terlihat olehku.
“Hei, apa yang sedang kau lakukan?” tanya pria itu dengan sinis.
Ku lepaskan cengkeramanku dan berusaha tenang. “Aku tahu kau pasti sedang memerlukan pekerjaan. Ya, kan?” tanyaku sembari memerhatikannya dari ujung rambut sampai kakinya.
Pria itu diam.
“Bagaimana kalau aku memberimu pekerjaan?” tanyaku menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuknya.
Pria itu masih diam.
Namun, aku bisa membaca gerakan bibirnya. Aku tahu dia sedang memikirkan tawaranku. “Kalau kau butuh waktu untuk berpikir, silakan! Aku akan menunggunya, tetapi tidak bisa lama karena aku sangat membutuhkan bantuanmu.”
Pria itu melipat tangannya di dada.
Ah, masih sombong juga dia! ucapku ketus di dalam hati.
“Aku hanya ingin tahu pekerjaan apa yang akan kau berikan?” tanya pria itu setelah beberapa waktu diam tak bersuara.
“Aku akan memberimu jabatan di perusahaanku sebagai seorang manajer pemasaran, Bapak….”
“Fathir. Namaku Fathir Al-Faruq,” ucapnya memotong kalimatku.
Aku tersenyum lega. “Ya, Bapak Fathir Al-Faruq.”
“Lalu?”
“Kau bisa bekerja secepatnya setelah setuju dengan penawaranku di awal,” jawabku.
“Hanya sebagai kekasih sewaan, kan?” tanyanya.
“Ya. Hanya kekasih sewaan. Aku harap tidak ada perasaan apapun yang terjadi diantara kita nanti, bagaimana?” Aku menatapnya dengan tajam.
“Baiklah, aku setuju. Lagipula, aku tidak menyukai wanita kaya sepertimu.”
Aku mendelik. “Apa? Kau pikir aku juga menyukai pria sombong sepertimu? Aku hanya butuh bantuanmu saja.”
Dia tersenyum.
“Baiklah, ayo bernegosiasi, Mister Fathir!” seruku dan mengerucutkan bibirku di akhir kalimat.
Dia mengangguk.
Aku mengajaknya ke suatu tempat di mana hanya ada aku dan Fathir agar rahasia besar ini tetap terjaga dan terjamin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!