Mari Bernegosiasi

Malam ini, aku memutuskan untuk pergi keluar mencari ketenangan setelah berdebat dengan kakek. Kepalaku mau pecah. Ke mana aku akan mencari pria yang mau menjadi kekasihku sementara waktu? Kenapa aku harus berbohong pada kakek?

Mobil melaju tanpa tujuan, hingga sampai di sebuah keramaian malam yang sudah sering ku lihat. Namun, aku tidak berani untuk keluar dari mobil dan bergabung bersama mereka. Aku takut kebiasaan ini akan mengubah kehidupan mewahku di istana Syalem. Namun, setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya aku mencoba merasakan kebahagiaan itu. Ku ambil sandal flat dari jok belakang, kemudian mengikat tinggi rambutku ke atas. Aku keluar dari dalam mobil.

Ah, aku bisa merasakannya. Malam yang indah, bisikku dalam hati. Aku berjalan lurus dan masuk ke dalam keramaian. Ada perasaan takjub saat melihat beberapa wahana permainan yang mirip dengan permainan yang pernah ku naiki saat berada di Hongkong tiga bulan yang lalu, tetapi di sini lebih sederhana. Senyumku mengembang memerhatikan sekelilingku. Sampai akhirnya, mataku tertuju pada seseorang. Bukankah dia pria yang menolongku kemarin? tanyaku dalam hati.

Aku berjalan dengan cepat dan menghampiri pria itu. Dia sedang memainkan gitarnya di hadapan beberapa pasang muda-mudi yang sedang duduk santai di sebuah kafe.

“Maaf, apakah kau pria yang menolongku kemarin?” tanyaku langsung tanpa basa-basi padanya setelah lagu yang dinyanyikannya berakhir.

Pria itu menoleh ke arahku. Dahinya mengerut.

“Kau yang memperbaiki mobilku yang mogok malam itu. Ya, kan?” tanyaku menjelaskan kembali dan berharap dia mengingatnya.

Pria itu melepaskan tangannya dari gitar dan pergi begitu saja.

Aku mengejarnya. “Hei, aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya….”

“Pergilah! Kau sudah mengangguku,” ucap pria itu tanpa berhenti.

Aku terus mengejarnya. “Aku hanya ingin tahu namamu. Itu saja,” ucapku.

Tiba-tiba, dia berhenti dan membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Dengan cepat, pria itu menahan tanganku agar tidak terjatuh.

“Untuk apa?” tanya pria itu dengan posisi masih memegang tanganku.

Aku bingung. Dia benar juga untuk apa aku mengenalnya? tanyaku dalam hati.

Pria itu melepaskan tangannya setelah aku berdiri kembali. Kemudian, dia pergi.

“Sepertinya aku masih membutuhkan bantuanmu!” seruku. Kalimat ini keluar dari mulutku begitu saja. Aku tidak memikirkannya sama sekali.

Pria itu berhenti kembali. Dia membalikkan tubuhnya ke belakang. “Bawa saja mobilmu ke bengkel!” serunya.

Aku tercengang. “Bukan… bukan. Ini bukan tentang mobilku,” sanggahku dengan cepat.

Pria itu mengerutkan dahinya kembali sembari menatapku dengan tajam.

Aku mendekatinya dengan perlahan-lahan karena takut dia akan pergi lagi. “Aku Alesha. Saat ini aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa mengeluarkanku dari masalah.”

Pria itu memandangku lekat-lekat. “Kau bangkrut?”

Aku mendelik. “Apa? Bangkrut? Memangnya tampangku menunjukkan hal seperti itu?”

Pria itu hanya mengulum bibirnya tanpa berkata apa-apa.

Aku menghela napas. Sepertinya pria ini tidak suka basa-basi. “Bu-bukan begitu. Aku akan dijodohkan oleh kakekku.”

“Lalu, apa urusannya denganku?” tanyanya dengan nada cuek.

Aku kembali menarik napas panjang sebelum mengatakan semuanya pada pria ini. “Aku tidak ingin dijodohkan, apalagi aku tidak mengenal siapa orangnya.”

“Lalu?” Matanya yang tajam membuatku bergidik ngeri.

“Aku perlu kau untuk menjadi kekasih sewaan sampai kakekku melupakan perjodohan itu,” jawabku dengan lantang.

“Sewaan?” tanya pria itu dengan senyum sinis di waahnya.

Aku mengangguk.

“Wah, idemu cemerlang juga, ya!” seru pria itu sembari bertepuk tangan.

Aku mencoba tersenyum, tetapi merasa ada yang janggal.

“Sayangnya, aku tidak mau disewa!” serunya dan membalikkan tubuhnya kembali.

Dengan cepat, ku tarik tangan kanannya dan menahannya dengan kuat. “Ku mohon, aku akan membayarmu berapa pun itu, asalkan kau setuju.”

Pria itu mendengus. “Aku tidak ingin bayaran.”

“Lalu, apa yang kau inginkan? Katakanlah! Aku akan mengabulkannya,” tukasku.

“Aku tidak ingin apapun. Kau cari orang lain saja!” serunya dan mengempaskan tanganku dengan kasar.

Aku mulai meringis. “Aku memang wanita yang payah. Sudah setua ini belum juga menemukan lelaki yang tepat. Aku benar-benar payah. Lebih baik aku bunuh diri saja daripada harus menikah dengan orang yang tidak ku kenal,” ucapku dalam rengekan manja yang sedang ku buat-buat.

Pria itu berhenti sejenak.

Aku segera memasang kuda-kuda untuk melompat ke arah jalan raya yang ramai dengan kendaraan.

Tiba-tiba, sebuah suara menahanku. “Kau ingin mati?”

Aku tercengang. Kupikir dia akan berubah pikiran setelah melihat adegan ini, tetapi aku salah sangka.

“Aneh! Wanita kaya sepertimu ingin mati? Memangnya ada yang salah dengan perjodohan?” kata pria itu dengan kasar.

Aku diam. Aku harus tetap memainkan adegan ini sampai dia benar-benar menyetujui tawaranku.

“Baiklah,” ucap pria itu pada akhirnya.

Aku tersenyum. Ku lirik pria itu yang masih berdiri jauh dariku. “Kau setuju?” tanyaku tanpa melihatnya.

“Tidak juga,” jawabnya sembari mengangkat kedua bahunya.

“Lalu, apa maksudmu dengan kata ‘baiklah’?” tanyaku dengan sedikit geram.

Dia tertawa kecil. “Baiklah, kalau kau memang ingin mati. Silakan saja!” serunya, kemudian membalikkan tubuhnya kembali.

Aku menghela napas dengan kekesalan yang luar biasa. “Dasar kau!” seruku dan berlari ke arahnya. Ku tahan pundak kanannya dengan sekuat tenaga. Lalu, menarik lengannya agar wajahnya terlihat olehku.

“Hei, apa yang sedang kau lakukan?” tanya pria itu dengan sinis.

Ku lepaskan cengkeramanku dan berusaha tenang. “Aku tahu kau pasti sedang memerlukan pekerjaan. Ya, kan?” tanyaku sembari memerhatikannya dari ujung rambut sampai kakinya.

Pria itu diam.

“Bagaimana kalau aku memberimu pekerjaan?” tanyaku menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuknya.

Pria itu masih diam.

Namun, aku bisa membaca gerakan bibirnya. Aku tahu dia sedang memikirkan tawaranku. “Kalau kau butuh waktu untuk berpikir, silakan! Aku akan menunggunya, tetapi tidak bisa lama karena aku sangat membutuhkan bantuanmu.”

Pria itu melipat tangannya di dada.

Ah, masih sombong juga dia! ucapku ketus di dalam hati.

“Aku hanya ingin tahu pekerjaan apa yang akan kau berikan?” tanya pria itu setelah beberapa waktu diam tak bersuara.

“Aku akan memberimu jabatan di perusahaanku sebagai seorang manajer pemasaran, Bapak….”

“Fathir. Namaku Fathir Al-Faruq,” ucapnya memotong kalimatku.

Aku tersenyum lega. “Ya, Bapak Fathir Al-Faruq.”

“Lalu?”

“Kau bisa bekerja secepatnya setelah setuju dengan penawaranku di awal,” jawabku.

“Hanya sebagai kekasih sewaan, kan?” tanyanya.

“Ya. Hanya kekasih sewaan. Aku harap tidak ada perasaan apapun yang terjadi diantara kita nanti, bagaimana?” Aku menatapnya dengan tajam.

“Baiklah, aku setuju. Lagipula, aku tidak menyukai wanita kaya sepertimu.”

Aku mendelik. “Apa? Kau pikir aku juga menyukai pria sombong sepertimu? Aku hanya butuh bantuanmu saja.”

Dia tersenyum.

“Baiklah, ayo bernegosiasi, Mister Fathir!” seruku dan mengerucutkan bibirku di akhir kalimat.

Dia mengangguk.

Aku mengajaknya ke suatu tempat di mana hanya ada aku dan Fathir agar rahasia besar ini tetap terjaga dan terjamin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!