Fathir sudah menyetujui kontrak kerja sama dengan perusahaan Tuan Song Hee Chul. Itu berarti tak ada lagi strata sosial diantara kami dan kakek juga akan menyetujui hubungan ini. Semua pertimbangan sudah kupikirkan dengan baik. Aku akan memberitahu kakek untuk membatalkan pertunanganku dengan Panji sesegera mungkin.
Kepulanganku dari Korea disambut dengan hangat oleh ibu dan ayah. Mereka memelukku dengan erat. Sudah hampir lima bulan aku berpisah dengan mereka. Membuat kerinduan ini semakin memuncah.
"Sudah selesai?" tanya Ayah padaku saat kami sedang bersantai di ruang keluarga.
"Sudah, dong, Ayah!" jawabku dengan manja.
"Putriku yang hebat!" seru Ayah sembari mengacak-acak rambutku bak anak kecil.
Aku memberikannya sebuah ciuman kecil di pipi. Ayah tersenyum dan merangkulku dengan hangat.
Pagi ini aku bergegas ke kantor untuk menemui kakek di ruangannya. Namun, tanpa ku sadari, aku melewati ruangan Fiska yang tampak gelap seolah-olah tak ada siapapun di dalam sana. Ku lirik jam tanganku. Sudah pukul sembilan lewat, mana mungkin Fiska belum datang.
Aku berjalan menuju ruangannya. Pintunya tak terkunci. Tanpa mengetuknya terlebih dulu, aku membuka pintu tersebut. Ku hidupkan lampu dan... jantungku hampir berhenti berdetak. Sepasang mata yang tak asing lagi.
"Panji?" ucapku dengan bibir yang bergetar.
Dengan cepat, Fiska mengikat rambutnya dan merapikan blazer hitamnya.
"Ada apa ini?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi.
Panji memasang wajah marah, padahal seharusnya aku yang marah pada mereka. "Fiska adalah kekasihku," jawabnya dengan lantang.
Aku tertegun. "Kalian sepasang kekasih?"
"Kupikir sudah saatnya kau tahu. Aku dan Fiska saling mencintai, tetapi kau hadir dalam hubungan kami. Aku terpaksa mengikuti perintah ayah untuk menikah denganmu. Mau bagaimana lagi? Ini semua demi perusahaan," ungkap Panji tanpa henti.
"Benar itu, Fis?" tanyaku sembari berjalan ke arah Fiska.
Fiska tak menjawab. Dia hanya menunduk.
"Kalau itu benar, kenapa kau membohongiku? Kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya?" tanyaku dengan nada yang tinggi pada sahabatku itu.
"Ak-aku tidak punya keberanian, Lea."
Aku menampar wajah Fiska dengan penuh emosi. Aku tak percaya dia melakukan ini padaku.
"Hei, kau menampar kekasihku?" Panji berteriak dengan cukup keras di telingaku.
"Kalian sudah membohongiku!" seruku melawan Panji yang juga tampak emosi.
Sebuah pukulan yang sangat kuat menghantam pelipis bawah mataku. Aku kehilangan keseimbangan dan tak sadarkan diri.
Perlahan-lahan, aku membuka mata. Ku lihat sebuah cahaya yang terang di atas kepalaku. Suara tangisan orang-orang yang berada di dekatku. Ku miringkan kepalaku dan mencari ibu.
"Ibu," ucapku dengan perlahan-lahan.
"Alesha, kau sudah sadar?" Ibu menggenggam tanganku dengan erat.
"Kepalaku sakit, Bu."
"Pelan-pelan saja, Sayang. Pelan-pelan saja membuka mata. Pelipismu terluka dan bengkak. Mungkin itu yang membuat kepalamu menjadi sakit," jawab Ibu sambil terus membelai rambutku.
Aku mengangguk.
"Semuanya sudah selesai. Ayah sedang bertemu dengan keluarga Panji. Ibu berharap pertunangan kalian dibatalkan," ucap Ibu sembari meneteskan air mata.
Sehari setelah aku keluar dari rumah sakit, aku mengundang Fathir dan Fiska makan malam bersama di rumah. Aku ingin kakek mengetahui semua yang telah dilakukan oleh Panji dan Fiska. Aku tidak ingin kakek menganggap bahwa Panji adalah pria terbaik untukku.
Fiska masih terus menunduk. Dia bungkam sejak datang ke acara ini. Aku tahu ini adalah kesalahannya sehingga dia tak bisa berkata apa-apa.
"Aku dijebak oleh Fiska. Kupikir dia adalah sahabat baikmu, tetapi dia adalah seseorang yang menusukmu dari belakang," kata Panji dan membuatku terkejut.
Fiska mengangkat kepalanya saat mendengar ucapan Panji. "Ap-apa maksudmu, Ji?" tanyanya.
"Kau ingin menghancurkan reputasi Alesha karena cemburu dengan kesuksesannya dan memanfaatkan aku. Kau juga yang sudah memfitnah Fathir menggelapkan uang perusahaan dan membongkar identitasnya setelah Alesha memberitahumu kebenarannya. Iya, kan?" ucap Panji sambil menunjukkan senyum kecutnya pada Fiska.
Fiska menoleh ke arahku seakan-akan meminta pertolonganku. "Ti-tidak... tidak... tidak seperti itu!" serunya.
"Memangnya seperti apa yang benar?" tanyaku ingin memberi kesempatan pada Fiska untuk membela dirinya.
Fiska mulai bercerita. "Aku dan Panji sudah berhubungan sejak dua tahun yang lalu, tetapi keluarganya tidak menyetujui hubungan kami. Lalu, Panji bilang bahwa dia akan dijodohkan denganmu. Aku kaget dan mengatakan padanya bahwa kita adalah sahabat, tetapi aku merasa iri dengan semua kesuksesan yang kau miliki. Panji memulai rencananya untuk membalaskan rasa sakit hatiku. Aku memang sudah memfitnah Fathir, aku juga mengungkap identitasnya di depan kakek. Awalnya Panji berjanji hanya sementara saja dan tidak mungkin jatuh cinta padamu. Namun, nyatanya dia sedang menghindariku sekarang. Apalagi, aku juga sedang mengandung anaknya," ungkapnya dengan meneteskan air mata.
"Dia berbohong, Alesha. Jangan percaya padanya!" seru Panji sembari menunjuk wajah Fiska dengan geram.
"Aku tidak berbohong. Aku mengatakan yang sebenar-benarnya," ucap Fiska dengan tegas.
Kakek hanya diam. Kemudian, dia bangkit dari kursi dan masuk ke dalam kamar.
Aku memandang Fathir. Aku tak menemukan jawaban apapun dari reaksi kakek. Apakah kakek akan tetap melanjutkan pertunangan ini atau membatalkannya.
"Apakah sebaiknya kita berdua menemui kakek saja?" tanyaku pada Fathir di tengah makan malam kami.
"Kau yakin Tuan Syalem dalam keadaan baik-baik saja? Aku takut waktu kita tidak tepat untuk bertemu dengannya," jawab Fathir.
Aku menggeleng. "Kupikir kakek sudah memikirkannya setelah pengakuan Fiska malam itu."
Fathir tak menjawab.
Handphone-ku berdering. Mira meneleponku.
"Ada apa, Mir?" tanyaku setelah mengangkat teleponnya.
"Fiska meninggal, Lea."
"Apa?"
Berita buruk yang tak bisa ku lupakan. Fiska memilih mengakhiri hidupnya karena Panji tak ingin bertanggung jawab dengan apa yang sudah terjadi pada hubungan mereka. Aku mengelus dadaku dengan pelan. Mengapa Panji tega menyiksa batin Fiska dengan cara seperti ini? Namun, apapun yang sudah dilakukannya, Fiska tetaplah sahabat terbaikku.
"Aku akan mengantarmu pulang, Lea." Fathir menarik tanganku saat keluar dari dalam kafe.
"Oh, tidak usah. Aku akan meminta supir untuk menjemputku," jawabku menolak tawaran Fathir dengan halus.
"Tidak apa-apa. Aku masih ingin mendengar ceritamu," ujar Fathir sambil tersenyum.
Akhirnya aku tak bisa menolak lagi. Fathir mendorong tubuhku masuk ke dalam mobil. Belum lama berada di dalam perjalanan, sebuah mobil sedan berwarna hitam dari arah kanan kehilangan keseimbangan dan hampir menabrak kami.
"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Fathir padaku sembari memeriksa bagian kepalaku.
Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."
"Siapa mereka? Mengapa mereka ingin mencelakai kita?" tanya Fathir dengan tetap konsentrasi.
Aku mulai menduga apakah ini ada hubungannya dengan Panji? Apakah Panji tidak menerima kenyataan bahwa pertunangan mereka akan dibatalkan dan akhirnya membalas dendam?
Aku duduk di meja makan bersama kakek, ayah, dan ibu. Setelah selesai, aku mulai membuka suaraku.
"Aku ingin pertunanganku dan Panji dibatalkan, Kek," ucapku dengan sangat hati-hati.
"Kenapa?" Kakek menatapku dengan tajam.
"Aku tidak mencintainya dan aku juga tidak bisa menerima kebohongan yang telah dilakukannya," jawabku.
"Apapun yang sudah ku putuskan tidak akan pernah dibatalkan!" seru Kakek dengan marah.
Aku terkejut. Badanku gemetar mendengar ucapan kakek.
"Ayah, Alesha tidak mencintai Panji. Tolong, mengertilah! Lagipula, pria itu sudah melakukan kejahatan yang merusak mental dan fisik Alesha. Mengapa Ayah masih mempertahankannya?" sambung Ayah sembari melirikku.
Aku mendapat bantuan dari ayah. Semoga kakek memikirkannya kembali.
"Apa bedanya dengan Fathir? Sama-sama pembohong, kan? Namun, aku lebih memilih Panji, walaupun dia sudah melakukan kejahatan," jawab Kakek masih dengan angkuhnya.
"Karena dia kaya? Fathir juga sudah berusaha melakukan yang terbaik, Kek. Toko bajunya sudah berkembang dan dia memiliki kerja sama Internasional dengan perusahaan tekstil terbaik di Korea," jawabku dengan penuh percaya diri.
"Haha. Itu karena ulahmu!" seru Kakek dan tertawa sinis ke arahku.
Aku diam. Kakek mengetahui semuanya.
"Tidak ada yang bisa melawan keputusanku," ucap Kakek dan beranjak dari kursinya.
Aku menangis dalam pelukan ayah. Aku tidak ingin menikah dengan Panji. Aku tidak ingin hidup dengan pria yang melakukan kekerasan dan licik seperti dia.
Ayah hanya bisa menenangkan ku. Namun, tiba-tiba ayah mengatakan sesuatu. "Pergilah, Nak! Pergi jauh dari sini! Tinggalkan Syalem dan hiduplah bahagia," ucapnya.
Aku terkejut. Ibu pun ikut terkejut.
"Ayah masih memiliki tabungan untukmu. Kau bisa memakainya untuk melanjutkan hidupnya nanti," ungkap Ayah.
Aku tak menjawab. Aku hanya menangis dalam pelukannya.
Di pagi hari, saat matahari mulai naik, Ibu masuk ke dalam kamarku sambil menangis. "Ayah kecelakaan, Nak."
Aku tersentak. Ayah kecelakaan? Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa semua orang yang dekat denganku mengalami musibah yang tak tahu siapa pelakunya. Aku menelepon Fathir dan memberitahunya.
Aku dan Fathir terus memutar otak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kematian Fiska, kecelakaan yang hampir membunuh Fathir, dan sekarang kecelakaan ayah yang tak pernah ku duga.
"Apakah tujuan berikutnya adalah kakek?" tanyaku.
"Bisa saja, Lea," jawab Fathir.
"Aku rasa ini adalah rencana Panji. Dia ingin membalas dendam pada kita," ujarku.
"Bagaimana kalau kita menemui kakek sekarang?" Fathir mengajakku untuk bertemu dengan kakek.
Aku mengangguk.
Kami sampai di perusahaan bersama Fathir. Kami berjalan menuju ruangan kakek. Namun, ada yang aneh saat aku melihat beberapa bayangan di dalam.
"Kalian sudah melakukannya dengan baik?" tanya Kakek pada beberapa orang yang berada di depannya.
"Tuan Farhan sedang koma saat ini, Tuan. Namun, kami tidak berhasil membunuh Fathir," jawab salah satu pria yang berbadan kekar.
"Tidak masalah. Aku yang akan melakukannya!"
Deg. Ini benarkah? Kakek adalah dalang dari semua ini? Apakah dia benar-benar tidak menyetujui hubunganku dengan Fathir? Sampai dia setega itu pada ayah, putra kandungnya. Air mataku menetes. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyerah, tetapi sudah terlalu banyak yamg menjadi korban dari keegoisan kakek.
Dengan segala keberanian, aku mendorong pintu di depanku dengan kuat. Tampak wajah kakek pucat dan terkejut.
"Kakek tidak perlu membunuh Fathir. Kakek juga tidak perlu membunuh ayah. Aku yang akan menggantikan mereka semua demi kebahagiaan Kakek. Aku tidak ingin Kakek melukai orang-orang yang ku sayangi. Tolong, mengertilah, Kek!" seruku dengan lantang.
"Apa maksudmu, Alesha?" tanya Kakek. Dia berdiri di belakang mejanya.
Aku mengambil gunting yang ada di atas meja. Tanpa berpikir apa-apa lagi, aku menancapkan gunting itu di perutku beberapa kali sampai darah memenuhi ruangan kakek.
Samar-samar ku dengar jeritan kakek. Setelah itu, aku tak tahu lagi. Semuanya gelap dan hening.
Cinta memang selalu butuh pengorbanan. Tak ada cinta yang berjalan dengan mulus seperti keinginan hati. Namun, apakah kita dapat melewatinya atau tidak, itu adalah ujian yang harus kita jalani.
Pandanganku buram. Cahaya mentari masuk menusuk retina mataku. Aku tahu Fathir akan selalu berada di sampingku. Genggaman tangannya yang hangat dan tak pernah lepas menguatkanku tetap hidup untuk cintaku. Apakah ini antara cinta atau sebuah kebohongan yang akhirnya melahirkan cinta?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments