Yes, Aku Berhasil

Ku buka pintu apartemenku dengan cepat. Aku tidak ingin ada yang melihat pertemuan penting ini, lalu memberitahunya pada kakek. Ini adalah sebuah rahasia besar. Rahasia yang harus ku jaga sampai waktu yang ditentukan. Ku harap ideku yang cemerlang akan berhasil dan aku bisa terlepas dari perjodohan yang dibuat oleh kakek.

"Kau tinggal sendirian di sini?" tanya Fathir. Dia duduk di sofa yang berada dekat dengan jendela.

Aku menggeleng. "Tidak. Hanya sesekali aku datang ke sini untuk menenangkan pikiranku," jawabku dengan lugas.

"Jadi, apartemen ini seperti tempat pelarian?" Fathir menatapku dengan tajam.

Aku diam sejenak. "Bisa dikatakan seperti itu."

Fathir mengangguk-angguk. “Wah, kau sangat beruntung, ya! Lahir menjadi sosok yang tak pernah kekurangan.”

Aku menatap wajah tampannya dengan heran. "Maksudmu?"

Fathir mengelak dari tatapanku. Sepertinya dia sadar dengan ucapannya barusan.

"Aku tidak pernah meminta untuk lahir di keluarga kaya. Mungkin inilah takdirku," tukasku dengan senyuman sinis.

"Ya, kau benar. Takdir. Semuanya adalah tentang takdir," balas Fathir dengan nada yang lembut.

Aku menghela napas dan segera berdiri. "Aku akan menyiapkan minuman untukmu. Tunggu sebentar!" seruku.

Fathir baru saja akan mengangkat tangannya untuk menghentikanku, tetapi aku sudah pergi lebih dulu menuju dapur. Ku ambil dua buah gelas besar dan menuangkan air putih dingin ke dalamnya. Selain tidak cakap dalam hal dapur, persediaan makanan dan minumanku juga sangat menipis.

Setelah beberapa menit bergelut di dapur, aku kembali ke ruang tamu dan meletakkan dua gelas air putih dingin tersebut di atas meja.

"Cuma ini?" tanya Fathir seakan-akan menyindirku.

Aku mengulum bibir.

"Ah, kupikir kau akan menyuguhkan makanan dan minuman yang lezat untukku, ternyata cuma air putih. Yang benar saja!" seru Fathir dengan mengatur nada suaranya.

"Maaf, hanya ini yang ada. Hampir dua tahun aku meninggalkan apartemen ini, jadi aku belum mengisi persediaan makanan dan minuman yang sudah kosong. Mungkin di lain waktu aku akan mentraktirmu," ucapku sembari tersenyum di akhir kalimat.

Fathir mengembuskan napas. "Baiklah. Ini juga sudah cukup."

Aku tersenyum lega saat melihatnya meneguk air putih itu sampai habis.

"Bagaimana dengan tawaranmu tadi?" tanya Fathir.

Aku baru ingat. Segera saja aku mengambil selembar kertas dan pena dari dalam tas. Ku letakkan kedua benda itu di atas meja. "Kita akan mulai dengan sebuah perjanjian."

"Oke," jawab Fathir.

Aku mulai menulis beberapa poin penting dalam surat perjanjian itu. Aku tidak ingin kerja sama ini hanya sekadar kerja sama tanpa kontrak yang jelas. Aku juga takut suatu saat Fathir akan mengkhianatiku dan selesailah semuanya.

"Selesai. Kau baca lebih dulu sebelum menandatanganinya, ya?" ucapku sambil menyodorkan kertas itu pada Fathir.

Fathir mengambilnya dari tanganku. Kemudian, dia meraih pena yang ku letakkan di atas meja. Dengan cepat, tangannya mulai bermain di atas kertas tersebut.

"Kau tidak membacanya?" tanyaku dengan sangat terkejut saat melihat Fathir sudah menandatangani perjanjian itu tanpa membaca isinya.

"Untuk apa?"

"Setidaknya ada beberapa poin penting yang harus kita pahami selama kontrak ini berlangsung," jawabku dengan sedikit keraguan.

"Kau memberiku sebuah pekerjaan untuk kerja sama ini, itu sudah cukup."

"Tidak semudah itu. Dalam kontrak ini, kau harus mengikuti semua poin yang ku tulis," sanggahku. Aku tidak mengerti mengapa dia tidak membaca surat perjanjian itu terlebih dulu.

"Aku sudah tahu isinya. Paling-paling kau menuliskan tentang larangan bersentuhan fisik selama menjadi pacar sewaanmu. Ya, kan?" Fathir menatapku dengan senyum yang menggelikan.

Aku mengulum bibir. Dia benar. Aku menuliskan semua itu dengan sangat jelas di beberapa poin.

"Lalu, aku harus menyimpan rahasia besarmu ini sampai kontrak kita selesai. Benar, kan?" tanya Fathir lagi.

Aku menelan ludah.

"Aku sudah mengerti dengan tugasku. Kau juga sudah mengerti dengan tugasmu, kan?"

Aku tersentak. "Tugasku?"

Fathir meletakkan kertas itu kembali ke atas meja. Tubuhnya mendekat ke arahku dengan tiba-tiba.

"Ka-kau… kau… kau mau apa?" tanyaku sembari memasang wajah takut.

Fathir masih terus mendekat tanpa mengatakan apa-apa. Sorot matanya tampak tajam menusuk pandanganku.

Aku mencoba mundur perlahan-lahan. Namun, wajahnya semakin dekat dan tepat berada di depanku. Aku bisa mendengar deru napasnya yang naik turun. Namun, aku tidak ingin memikirkan hal-hal aneh dalam situasi seperti ini.

"Mengubah penampilanku menjadi seorang manajer," jawab Fathir dengan suara yang terkesan berat.

Aku menolak dadanya dengan kuat. Aku takut dia akan melakukan hal gila yang sudah terbayang di benakku. "Uh, ku rasa kau tidak perlu seperti ini untuk mengingatkanku," jawabku sambil mendengus.

"Memangnya salah?"

"Tentu saja. Aku sudah membayangkan hal-hal yang mengerikan," jawabku.

Fathir tertawa. "Aku tidak seburuk dalam pikiranmu!" serunya menampik tudinganku.

Aku memegang rambutku dan berusaha tetap tenang. "Semoga saja itu benar," gumamku.

"Minum dulu!" seru Fathir dan mengangkat gelasku dari atas meja.

Aku meneguk air putih di gelasku sampai habis. Setelah mengatur napas, aku menoleh ke arah Fathir. "Ingat, ya, tidak ada sentuhan fisik!" tegasku sekali lagi.

"Kau yakin?"

"Of course. Kau juga harus yakin, kalau aku benar-benar menulis seperti itu di dalam perjanjian kita," jawabku dengan tegas.

"Sentuhan apapun itu?" tanya Fathir mencoba meyakinkanku kembali.

"Tidak ada sentuhan apapun. Aku masih suci dan belum pernah berhubungan serius dengan pria manapun. Kau mengerti?" tukasku dengan marah.

"Kupikir berpegangan tangan dan sedikit ciuman di pipi, tidak masalah, kan?" Fathir melirikku seakan-akan mengejekku.

"What’s? Hei, kita hanya pura-pura. Jadi, bersikaplah sewajarnya saja!" seruku dengan geram.

"Baiklah, kalau itu maumu. Jadi, kapan kita akan mulai drama ini?" tanya Fathir padaku.

"Besok pagi kita bertemu di sini. Selanjutnya kau ikuti saja arahanku!" seruku. Aku tidak ingin pria ini menyanggah kembali aturan yang sudah ku buat.

"Jam berapa?" tanya Fathir lagi.

"Secepatnya."

Fathir mendelik. Matanya tajam menatapku. "Secepatnya?" tanyanya mengulang pertanyaanku.

Aku mengangguk.

"Baiklah."

"Oh, ya, aku lupa sesuatu." Aku mengambil kertas itu dari atas meja.

Fathir memperhatikanku.

"Poin ke-sepuluh, poin terakhir. Tidak ada jatuh cinta. Sebisanya menolak semua perasaan yang tiba-tiba datang selama kontrak berlangsung," ucapku membaca poin terakhir dari isi perjanjian itu.

"Ya, aku mengerti."

"Bukan hanya mengerti, Fathir. Kau juga harus menjaga poin ini. Aku tidak ingin rencanaku gagal dan berakhir sia-sia," tukasku.

"Aku bisa menahan perasaan apapun terhadap orang lain. Hanya saja.…"

"Hanya saja? Hanya saja apa?" tanyaku memotong kalimat Fathir dengan cepat.

"Hanya saja aku takut itu terjadi padamu," jawab Fathir.

Aku tersentak. Benarkah itu akan terjadi padaku? tanyaku dalam hati.

"Biasanya hati wanita sangat cepat tersentuh dengan perhatian ataupun gerakan lembut yang dilakukan oleh seorang pria. Benar, kan?" Fathir menatapku lekat-lekat.

Aku menjauh darinya. "Tidak semua wanita seperti itu. Mereka hanya sedang bimbang saja," sanggahku.

Fathir tersenyum. "Kecuali kau, begitu?"

Aku hanya diam. Sepertinya semua poin dalam surat perjanjian ini tidak ada gunanya. Fathir selalu mencoba untuk membantah semua aturan yang ku tulis. Ku lipat kertas itu dan menyimpannya di dalam tas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!