Napasku terengah-engah setelah kembali dari ruangan Fathir. Pria itu semakin berani melontarkan kalimat-kalimat mesra yang sedikit geli di telingaku. Sepertinya dia terlalu mendalami perannya sebagai kekasihku.
Aku tahu ini sangat bagus untuk kelancaran sandiwara yang sedang kami mainkan, tetapi aku tidak sanggup untuk menahan debaran jantung ini setiap Fathir menatapku tanpa berkedip. Ada sesuatu yang bergetar sangat cepat menyambar hatiku. Apakah aku berada dalam fase sedang jatuh cinta?
Sebuah ketukan dari balik pintu ruang kerja, membuat lamunanku buyar. Aku merapikan posisi dan bersiap-siap menyambut seseorang yang akan masuk ke dalam ruanganku.
"Kau sedang sibuk, Lea?" tanya Fiska dari balik pintu.
Aku menghela napas dengan lega. "Tidak. Masuklah!" seruku.
Fiska masuk ke dalam dan menutup pintu itu kembali. Dia berjalan ke arah sofa dan membiarkanku mendekatinya.
"Ada apa?" tanyaku sambil menatap wajahnya yang tampak sembab.
"Ak-aku... aku...."
Aku mengernyitkan dahi.
Fiska terlihat aneh siang ini. Dia menggigit bibirnya sejenak. "Ak-aku... aku batal ke Korea."
Aku tercengang dan tak percaya. "Batal ke Korea? Ada apa? Kau ada masalah?" tanyaku.
"Tuan Syalem sudah membatalkan kontrak pelatihanku," jawab Fiska sembari meneteskan air mata.
Aku memelotot. "Kakek? Kakek membatalkannya?"
Fiska mengangguk pelan. Air matanya jatuh menetes.
Aku mendengus. Ada rasa tak percaya dengan semua ini. Kenapa kakek membatalkan keberangkatan Fiska ke Korea? tanyaku dalam hati.
"Aku tidak mengerti mengapa Tuan Syalem membatalkan kontrak itu? Padahal, kau tahu, kan, itu adalah impianku sejak lama. Aku ingin mengembangkan bakat designku agar karyaku semakin terlihat indah," ucap Fiska dengan suara yang terisak-isak.
Aku mengelus punggungnya dengan lembut. Aku tahu ini sangat mengecewakan bagi Fiska. Namun, aku juga tidak bisa berbuat banyak karena semua keputusan ada di tangan kakek.
"Aku tahu kau juga tidak bisa melakukan apa-apa, Lea. Namun, bayangkan jika kau berada di posisiku sekarang!" seru Fiska dengan suara yang bergetar.
Aku mengangguk pelan. "Aku akan membicarakan hal ini kembali pada kakek," kataku.
Fiska kembali menangis. Tangisannya semakin keras.
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Ah, waktunya pulang. Aku mengemasi barang-barang dan memasukkannya ke dalam tas. Sepertinya malam ini aku akan tidur di apartemen. Banyak hal yang harus ku pikirkan, termasuk masalah Fiska.
Pintu ruang kerjaku terbuka. Aku terkejut saat melihat Fathir masuk tanpa izinku.
"Kau sudah selesai?" tanya Fathir dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
"Oh, ak-aku... ya, aku sudah selesai," jawabku terbata-bata. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, hari ini aku tidak tahu mengapa sikap Fathir membuatku salah tingkah.
"Kalau begitu, ayo, pulang!" seru Fathir.
Aku mendelik. "Kau pulang saja duluan!" bantahku.
Fathir mengernyitkan dahinya. "Aku tidak mungkin membiarkanmu pulang sendiri. Sudah hampir malam."
Aku menggigit bibirku. "It's okay. Aku sudah terbiasa, kok," jawabku lagi menolak ajakan Fathir.
Fathir berjalan mendekati meja kerjaku. Lalu, dia berbisik di telingaku. "Aku tidak mungkin meninggalkan kekasihku sendirian di sini. Apa kata orang nanti?"
Aku mendorong tubuh Fathir dengan kuat dengan wajah kesal.
Fathir terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan.
Dengan sigap, aku menangkap tangannya dan menggenggamnya dengan erat agar dia tidak terjatuh. Aku mendengus pelan. Ku angkat tas kerjaku.
Kami sampai di tempat parkir. Fathir menyuruhku untuk naik bersamanya di mobil yang sama. Aku sempat menolak, tetapi lagi-lagi Fathir mengingatkan posisinya sebagai kekasihku. Aku menyerah dan masuk ke dalam mobilnya.
"Aku ingin pulang ke apartemen," ucapku pada Fathir di tengah perjalanan.
"Ke apartemenku?" tanya Fathir sembari melirikku.
Aku memelotot. "Kau sudah gila? Ke apartemenku lah!" seruku.
Fathir tertawa. "Kenapa tidak ke istana Syalem?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Aku ingin sendiri," jawabku.
"Kau ada masalah?" tanya Fathir berusaha mengorek kegelisahanku hari ini.
"Sedikit," jawabku.
"Ada apa?"
Aku melihat ke luar jendela sembari bersandar. Aku tahu Fathir tidak ada hubungannya dengan ini, tetapi mungkin saja dengan berbagi cerita dapat menenangkan hatiku.
"Cobalah berbagi denganku! Siapa tahu aku dapat membantumu menyelesaikan itu," ujar Fathir.
Aku menoleh ke arahnya. "Fiska tidak jadi pergi ke Korea."
Fathir menatapku.
"Kakek membatalkan kontrak pelatihannya," sambungku dengan lirih.
"Kau sudah bertanya pada kakek tentang hal ini?"
Aku menggeleng. "Aku takut. Aku tidak berani bertanya apapun pada kakek," jawabku.
"Kau belum mencobanya," kata Fathir.
"Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek karena semua keputusan ada di tangannya," paparku dengan jelas dan berharap Fathir memahaminya.
"Ah, kau sangat mudah putus asa!" seru Fathir sembari tersenyum seperti sedang mengejekku.
"Aku tidak mudah putus asa. Aku berani mengambil sikap jika itu tidak berkenan di hatiku," sanggahku dengan cepat.
"Oh, ya? Sikap apa?"
Aku membenarkan posisi dudukku dan menatap Fathir lekat-lekat. "Aku berani berbohong agar kakek tidak menjodohkanku dengan pilihannya. Sekarang kau tahu, kan, bahwa aku sedang melakukan sikap menentang pada kakek?" jawabku dengan lugas.
Lagi-lagi Fathir tersenyum. "Lalu, kenapa kau tidak melakukan hal yang sama untuk mempertahankan Fiska?"
Aku terdiam.
"Kau belum mencobanya, Alesha," ucap Fathir menekankan bagian itu padaku.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Dia benar. Aku belum mencobanya dan sudah menebak apa yang akan terjadi. Namun, rasanya kali ini sangat berbeda dari permasalahan yang ku hadapi.
"Um, kau ingin makan apa malam ini?" tanya Fathir saat aku mulai membayangkan situasi sulit yang sedang ku hadapi.
"Aku tidak lapar."
"Itu bukan jawaban yang ku inginkan. Bagaimana kalau kita ke kafe biasa? Ku pikir kau sangat suka menu makanan yang ada di sana," ujar Fathir sembari mengemudikan mobil dengan sangat hati-hati.
Aku mendengus pelan. "Terserah kau!" seruku tanpa peduli pada reaksi Fathir kemudian.
"Baiklah. Kita akan ke sana."
Aku melirik Fathir. Sebenarnya pria ini sangat peduli padaku, tetapi aku tak menganggap itu semua adalah sikap baiknya. Bisa saja dia melakukannya karena kerja sama yang sudah kami sepakati. Lagipula, dia benar-benar menginginkan pekerjaan. Jadi, ini adalah sebuah usaha agar aku tetap memberinya pekerjaan itu.
Tiba-tiba, hujan turun dengan deras. Fathir menatapku.
"Kita tunggu saja sampai reda," ucapku mencoba menghibur Fathir.
Fathir mengangguk dan menepikan mobil yang kami naiki untuk parkir sembari menunggu hujan reda.
"Aku ingin tahu tentang keadaan keluargamu. Kau pernah bilang pada kakek bahwa kau adalah anak yatim piatu. Itu benar? Atau hanya sebuah pernyataan yang akan membuat kakek semakin simpati padamu?" tanyaku beruntun pada Fathir saat dia mulai membuka kancing kemeja bagian atas yang dipakainya.
Fathir melonggarkan dasinya sembari mengangguk. "Aku dibesarkan di panti asuhan. Tidak ada seorangpun yang pernah datang melihatku di sana. Jadi, bisa ku pastikan bahwa aku adalah seorang yatim piatu."
Aku menghela napas panjang. "Apa kau tidak ingin mencari kedua orang tuamu?"
"Untuk apa?" tanya Fathir dan membuka sabuk pengamannya.
"Kau tidak ingin tahu siapa ibu yang sudah melahirkanmu? Atau keluarga yang kau punya?"
"Tidak. Aku memiliki ibu panti, sahabat-sahabat panti, dan seorang paman penjaga panti. Mereka adalah keluargaku dan itu sudah cukup," jawab Fathir sambil tersenyum lepas.
Aku menatapnya.
"Kau sedang berpikir kenapa aku tidak melakukannya? Karena aku tidak butuh pengakuan dari ibu dan ayah manapun tentang identitasku," ujar Fathir dengan tegas.
Aku melihat guratan di pipinya dan yakin bahwa kalimatnya adalah benar. "Kenapa?"
"Saat ini aku hanya ingin mencari pekerjaan tetap yang dapat menjamin hidupku di masa depan. Aku juga memiliki niat untuk membantu kehidupan anak-anak di panti, di tempat aku tinggal selama ini. Aku ingin mereka hidup dengan bahagia dan nyaman," ucap Fathir.
"Memangnya tidak ada donator yang membantu kehidupan kalian di sana?" tanyaku sedikit bingung.
Fathir menggeleng. "Saat kami dewasa, kami sadar bahwa kehidupan panti berada di tangan kami. Makanya, aku dan sahabatku melakukan pekerjaan apa saja agar dapat memenuhi kehidupan panti."
Aku melihat sebuah wajah tampan yang berseri saat Fathir mengatakan kalimat itu.
"Ah, kau tidak pernah mengalaminya, Alesha. Kau tidak akan tahu rasanya sebuah penderitaan dan cacian," ungkap Fathir dengan lirih.
Setitik air menetes dari kelopak mataku. Aku tersihir dengan cerita Fathir yang seperti menamparku. Aku memang sangat beruntung karena tak bisa merasakan kekurangan yang dirasakannya.
"Hidup terus berjalan. Jika aku tak bisa melanjutkan hidupku sendiri, bagaimana dengan anak-anak di panti? Mereka sedang menggantungkan kehidupan mereka di leherku saat ini," ucap Fathir lagi.
Aku menangis. Entah karena cerita ini begitu menyayat hatiku atau aku sedang berada di dalam cerita itu sekarang.
Tak disangka, gemuruh pecah dengan kerasnya di atas langit hitam. Sontak saja, aku memeluk Fathir karena terkejut dan takut menjadi satu.
Fathir masih kaku. Dia tertegun dengan posisiku yang berada dalam dekapannya. Perlahan-lahan, dia mengusap punggungku dengan lembut.
"Aku takut. Aku takut petir. Aku takut, Fathir," ucapku merengek ketakutan.
Fathir masih terus mengelus punggungku dengan lembut. Tak berapa lama, dia mengangkat daguku. Kepalaku menengadah ke atas menatapnya.
"Sudah berhenti. Gemuruhnya sudah pergi," ucap Fathir dengan bibir bergetar.
Aku menatap wajah tampan itu lekat-lekat. Hampir tak ada jarak antara kami.
Tiba-tiba, sebuah kecupan mendarat di dahiku. Aku tertegun. Ku dorong tubuh Fathir dengan pelan, tetapi dia menahannya. Aku tak bisa berontak. Kemudian, sebuah kecupan menempel di bibirku dengan lembut. Aku tersentak. Ku dorong kembali tubuh gagah ini dari hadapanku, tetapi dia tetap bertahan.
Aku rapuh. Aku tak bisa melawannya. Tatapan kami beradu. Fathir menggigit bibirnya sembari menatapku. Aku tak kuasa untuk menahan tatapan itu. Sekali lagi, Fathir mengecup bibirku perlahan-lahan, kemudian ********** dengan hangat.
Batinku menolak, tetapi tidak dengan rasaku. Aku menikmatinya. Aku sangat menikmati adegan romantis erotis kami malam ini. Di bawah derasnya hujan dengan lampu-lampu temaram, membuat adegan ini tak bisa ku lupakan. Namun, tiba-tiba....
"Tidak!" seruku dan mendorong Fathir menjauh dariku. Aku sudah melanggar poin penting dalam perjanjian kontrak yang kami sepakati. Ini tidak mungkin, kataku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments