Semalaman aku tidak tidur karena memikirkan bagaimana aku meyakinkan keluargaku untuk menerima Fathir. Aku tahu ini bukan hal yang gampang, apalagi harus berhadapan langsung dengan kakek.
"Aku mau kau menjaga sikapmu selama berada di rumahku. Aku tidak ingin mereka mencurigaimu," ucapku pada Fathir sembari mengemudikan mobil.
Fathir tersenyum. "Baiklah. Aku tahu apa yang harus ku lakukan," jawabnya dengan santai.
Aku seakan-akan tak percaya dengan jawaban itu karena ingatanku kembali ke belakang bahwa Fathir adalah seorang gelandangan yang ku sulap menjadi pria mapan dalam sekejap. Aku takut dia lupa dengan cara makan ala keluarga Syalem dan juga memberi hormat pada kakek. Aku takut itu semua terjadi dan identitas Fathir akan terbongkar.
Mobil memasuki gerbang istana Syalem yang terbuka lebar. Aku berhenti tepat di depan rumah dan mengajak Fathir keluar dari mobil. Ku lempar kunci mobil pada Pak Pras sembari memberinya sebuah senyuman.
"Dia siapa?" tanya Fathir sambil menunjuk ke arah Pak Pras.
"Supir keluarga Syalem," jawabku.
Fathir hanya memelototkan kedua bola matanya.
Aku menarik Fathir masuk ke dalam. Langkahku melambat saat seorang pria setengah baya menghampiriku.
Ayah memelukku dengan erat. "Kau sudah datang, Nak?" ucapnya.
Aku hanya mengangguk.
Ayah melepaskan pelukannya dan mendekati Fathir.
Jantungku mulai tak aman. Bukan hanya kakek, ayah juga menjadi sosok yang ku takuti di rumah ini. Ini pertama kalinya aku membawa seorang pria untuk ku kenalkan sebagai kekasihku. Hal ini membuatku tak bisa bernapas dengan tenang.
"Dia adalah pilihanmu?" tanya Ayah.
Aku mengangguk. "Di mana ibu, Yah?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Ayah sepertinya sadar dan segera merangkulku. "Dia sudah menunggumu sejak pagi. Dia juga sudah menyiapkan makanan kesukaanmu," jawab Ayah berceloteh ramah denganku.
Aku melihat ke belakang dan memberi isyarat pada Fathir untuk mengikuti kami.
Ibu semringah. Dia berlari kecil ke arahku, kemudian mendekapku dengan penuh kehangatan.
"Apa kakek sudah pulang, Bu?" tanyaku. Aku belum merasa tenang sampai orang yang ku takuti berada di hadapanku.
"Sudah. Sebentar lagi kakekmu akan turun, kok."
Aku mengangguk.
Tak ada yang menyadari keberadaan Fathir setelah melihatku datang. Ibu merasa bahagia karena sudah empat hari berlalu aku belum pulang ke rumah, begitupun dengan ayah. Sampai seseorang memanggilku.
"Kau sengaja tidak memberitahu Kakek?" Suara Kakek seketika menyambar keberadaanku.
Aku tersentak dan segera membalikkan tubuh ke belakang. "Kakek," ucapku lirih.
Kakek berjalan menuju meja makan setelah menuruni tangga. Dia melirik Fathir yang berdiri di samping kananku.
"Ayo, duduk! Jangan malu-malu!" seru Ibu pada Fathir dengan sangat ramah.
Fathir tersenyum dan menarik kursi yang berada di depanku. "Duduklah!" seruku sembari memandangku.
Aku menelan ludah. Ini sebuah hal yang tak pernah ku bayangkan. Sikap Fathir barusan membuatku merasa dihormati.
Kakek melihat adegan ini tanpa ekspresi. Dia mengambil piring dan sendoknya secara bersamaan.
"Kalian pasti belum makan, kan? Ibu sudah membuat masakan yang lezat dan bergizi untuk kalian," ujar Ibu dengan sangat bahagia.
Aku melihat ibu dengan sangat lama. Dia benar-benar senang dengan kehadiranku dan Fathir di sini.
"Terima kasih, Nyonya Syalem," ucap Fathir.
Lagi-lagi aku tertegun dengan sikap Fathir. Apakah Paman Ali sangat keras mengajarinya sehingga dia bisa melakukannya dengan baik?
Ibu tersenyum membalas ucapan Fathir.
"Sudah lama kau dan Alesha saling mengenal?" Ayah mulai membuka suaranya.
"Menurutku setahun adalah waktu yang singkat untuk mengenal Alesha, Tuan," jawab Fathir sembari tersenyum.
Ayah mengerutkan dahinya. Aku pun seperti itu.
"Sehingga aku ingin mengenal Alesha lebih lama lagi dengan berada di sampingnya, Tuan," ucap Fathir menyambung kalimatnya yang terputus.
"Oh, ya? Kau serius, Nak?" Ibu juga mulai menggoda Fathir.
Fathir mengangguk.
Aku masih tenang sekarang sebelum sosok yang ku takuti mulai bertanya pada Fathir.
"Di mana kau bertemu dengan Alesha?" tanya Ayah lagi.
"Di Singapura, Tuan," jawab Fathir dengan sikap tenang.
Aku terkesima dengan penampilan Fathir hari ini.
"Apa pekerjaanmu?" Pertanyaan ini berasal dari kakek yang sejak tadi mengamati Fathir bak seorang detektif.
Fathir tersenyum dan mengubah posisinya. Sekarang dia berhadapan langsung dengan kakek. "Saat bertemu dengan Alesha, saya hanya seorang eksportir bahan baku untuk pembuatan pakaian ke beberapa negara tetangga. Namun, setelah menjalin hubungan baik dengan Alesha, sekarang saya bekerja di perusahaan Tuan," jawabnya dengan lugas.
Kakek mengernyitkan dahinya. "Di perusahaanku? Sebagai apa? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"
Fathir baru saja akan membuka mulutnya, aku langsung menahannya dengan mencubit tangan kirinya. "Dia baru saja menjabat sebagai Manajer Pemasaran tiga bulan yang lalu, Kek," jawabku dengan cepat.
"Manajer Pemasaran? Memangnya Wiyoko ke mana? Resign? Atau kau pecat?" tanya Kakek padaku.
"Di-dia... dia tidak dipecat, tetapi ku pindahkan ke bagian pabrik, Kek," jawabku sedikit terbata-bata.
Ayah berdehem panjang. "Bagaimana dengan kedua orang tuamu?" tanyanya.
Aku memandang Fathir. Untuk hal ini aku sama sekali tidak tahu. Mungkin ini salahku karena tak mencari seluruh data tentang dirinya.
"Sejak bayi aku tinggal di panti asuhan. Tidak ada ayah dan ibu. Bagiku semua yang ada di panti adalah keluargaku," ungkap Fathir dengan lugas.
"Kau seorang yatim piatu?" sahut Kakek.
Fathir mengangguk.
"Bagaimana mungkin seorang yang tak memiliki orang tua bisa sukses sepertimu?" Kakek memelototkan matanya.
"Justru karena itu, aku berusaha semampuku untuk menjadi orang yang berhasil. Aku ingin membuktikan pada mereka yang telah menyia-nyiakanku selama ini bahwa aku adalah sebuah kebanggaan," cerita Fathir sembari tersenyum.
Ibu tersenyum dengan sendu. Wanita ini adalah yang paling baik hatinya dalam keluarga kami.
"Siapa yang membantumu untuk sukses?" Kakek menahan kedua tangannya di atas piring.
Fathir tampak terkejut, begitu juga denganku. Aku tak menyangka kakek bertanya sampai sejauh ini.
"Kau tidak mungkin sukses tanpa bantuan orang lain. Benar, kan?" ucap Kakek sekali lagi.
"Ya, Tuan benar. Di balik kesuksesan seseorang, pasti ada yang selalu mendukungnya. Seorang paman yang sudah ku anggap seperti ayah selalu memperhatikan dan mendukungku dalam setiap keputusan yang ku ambil." Jawaban Fathir terdengar sangat tegas.
Kakek mengerucutkan bibirnya. "Kalau sudah selesai makan, silakan lihat-lihat istana ini!" serunya.
Aku tercengang.
"Jangan biarkan dia keliling istana Syalem sendirian, Alesha! Kalau kau tidak ingin kekasihmu kesasar," ucap Kakek sembari mengedipkan mata sebelah kirinya.
Aku melepaskan senyum yang manis. Tak ku sangka kakek akan setenang itu menyambut kehadiran Fathir di sini. Sepertinya rencanaku akan berhasil.
Tak menunggu lama, Fathir mengajakku untuk berkeliling rumah megah seorang Ahmad Ghad Syalem. Aku tahu ini adalah yang pertama kalinya di dalam hidup Fathir melihat kemewahan yang luar biasa.
"Wah, hidupmu benar-benar beruntung!" seru Fathir sembari menatapku beberapa kali.
Aku tersenyum. "Begitulah. Aku sangat bersyukur karena lahir di dalam keluarga ini," tukasku.
Fathir mengernyitkan dahinya. "Lalu, kenapa kau menolak perjodohan itu? Bukankah calon suamimu juga anak orang kaya?"
Aku mengulum bibir. "Aku memang bahagia memiliki kekayaan ini, tetapi aku tidak bebas menikmati hidupku. Duniaku dipenuhi dengan aturan. Bahkan, tak jarang aturan yang dibuat menyiksaku," ungkapku dengan jelas.
"Jadi, kau ingin keluar dari aturan itu?" tanya Fathir.
"Andai saja bisa," jawab Alesha sembari mengangkat kedua bahunya.
"Kau bisa bersuara, kan? Katakan saja pada kakekmu!" Fathir berhenti dan menatapku lekat-lekat.
Aku tersenyum geli. "Bersuara?"
Fathir mengangguk.
"Ah, sudahlah!" seruku sambil berlari meninggalkan Fathir di belakang.
Seseorang di balik pepohonan kurma yang ditanam di kebun belakang membuka layar handphone-nya.
"Tidak ada yang mencurigakan, Tuan," ucap seorang pria berjas hitam.
"Lanjutkan!" seru seseorang dari seberang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments