A New Person

Siang itu juga, aku membawa Fathir bertemu dengan Paman Ali, mantan supir pribadi kakek yang sudah pensiun sejak dua tahun yang lalu. Aku yakin Paman Ali akan membantuku menjalankan rencana ini.

"Tidak mudah membohongi Tuan Syalem, Nona. Beliau pasti mencari tahu tentang identitas Tuan Fathir," ucap Paman Ali setelah aku memberitahu rahasia ini padanya.

"Setidaknya aku sudah berusaha, Paman. Aku benar-benar tidak ingin menikah dengan pria itu," bantahku dengan keras.

Paman Ali mendengus. "Apa Nona sudah memikirkannya dengan matang?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Paman Ali melirik Fathir. "Baiklah, saya akan membantu Nona."

Aku tersenyum dengan semringah. Dengan menyewa sebuah apartemen untuk Fathir yang tidak jauh dari apartemenku akan membuat komunikasi kami berjalan dengan lancar. Lagipula, aku juga harus mengawasi semua gerak-gerik dan sikapnya agar tidak ada yang curiga.

Fathir masuk ke dalam mobil sembari melambaikan tangannya ke arah Paman Ali. Aku pun melakukan hal yang sama sebelum meninggalkan pekarangan rumah Paman Ali. Sudah seminggu aku meninggalkannya bersama Paman Ali dan ku harap dia banyak melakukan perubahan.

"Bagaimana?" tanyaku di sela-sela perjalanan kami kembali ke kota.

"Apanya yang bagaimana?" Fathir mengulang pertanyaanku.

Aku mendengus. "Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?" tanyaku.

Fathir tertegun. "Tidak buruk. Mungkin ada sedikit perbedaan."

"Oh, ya?"

"Rasa-rasanya orang kaya itu terlalu memikirkan manner, ya, ketimbang perasaan?" tanya Fathir.

Aku meliriknya. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

"Um, makan saja punya manner. Cara duduk di depan umum juga punya manner. Kau tidak capek harus mengingat semua tata cara hidup yang terlalu membosankan itu?" ungkap Fathir dengan wajah lirih.

Aku menelan ludah. "Bagaimana kau bisa mengatakan hal itu, padahal baru seminggu kau mempelajarinya?"

"Sehari pun aku tidak ingin melakukannya."

Aku mendelik. "Jangan bilang kau akan mundur dari kontrak ini!" seruku penuh keresahan.

Fathir tertawa. "Siapa yang mau mundur?"

Aku menelan ludah lagi. "Ka-kau... kau baru saja mengatakannya, kan?" ucapku terbata-bata.

"Haha... aku tidak bilang, kan, kalau aku akan mundur? Aku hanya sedang mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya," ujar Fathir.

"Perasaanku? Kau tahu apa tentang itu?"

"Kau juga sebenarnya sangat tidak menyukai hidupmu yang penuh dengan kemewahan ini. Namun, kau bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja," ujar Fathir sembari melirikku.

"Aku bahagia, kok."

"Kalau kau bahagia, kau tidak akan mencariku dan meminta bantuanku," sanggah Fathir dengan cepat.

Aku diam dan hanya melirik Fathir.

"Bersyukurlah karena Tuhan menakdirkanmu menjadi orang yang tidak akan mungkin kekurangan," ucap Fathir. Kemudian, dia menyandarkan kepalanya ke jendela.

Aku masih diam.

Entah mengapa semua ucapan Fathir siang tadi membuatku kembali berpikir. Apakah memang hidupku ini sangat tertekan sehingga aku tidak menyadarinya? Namun, siapapun pasti ingin hidup seperti aku? Kenapa aku harus bertanya lagi tentang hidup ini?

"Kau akan datang, kan, Lea?" tanya Fiska dari seberang.

"Akan ku usahakan, Fis. Memangnya acara apa, sih?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi.

"Aku akan berangkat ke Korea Selatan untuk mengikuti pelatihan designer mancanegara," jawab Fiska dengan sangat bahagia.

"Wow, Daebak!" seruku dalam bahasa Korea yang ku ketahui.

"Aku ingin sebelum hari keberangkatanku, kita bertemu dulu karena aku pasti akan merindukan kalian," ucap Fiska.

Aku tertawa kecil. "Baiklah, aku akan datang besok malam."

Telepon tertutup. Ku tarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Pagi ini aku akan membawa Fathir ke kantor dan mengenalkannya pada seluruh karyawan pemasaran. Dengan begitu, dia akan terbiasa dengan kehidupannya yang baru.

"Kau sudah menyelesaikan laporan yang Kakek suruh?" tanya Kakek setelah dia menyelesaikan sarapannya.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Sure. Aku juga sudah memeriksanya beberapa kali untuk memastikan tidak ada kesalahan, Kek."

Kakek mengangguk.

"Oh, ya, aku ingin meminta izin pada Kakek. Besok malam aku akan keluar bersama Fiska dan Mira karena bulan depan Fiska akan berangkat ke Korea untuk melakukan pelatihan designer," ujarku dengan sangat hati-hati.

"Fiska akan mengikuti pelatihan itu, Lea?" tanya Ibu yang berada di sampingku.

Aku mengangguk dan melihat ibu.

"Hebat! Itu memang impiannya, kan?" kata Ibu dengan semringah.

"Perusahaan Syalem tidak main-main dengan kualitas yang dimiliki karyawannya, Bu. Fiska sangat idealis dan kreatif. Jadi, dia adalah yang paling pantas untuk mengikuti pelatihan itu, Bu," ucapku.

"Semuanya harus ada persetujuan dari Kakek," ucap Kakek dengan tiba-tiba.

Aku menatap Kakek dengan serius. "Surat keputusannya sudah keluar, Kek."

"Ya, memang. Namun, kalau Kakek mengubah keputusan itu kembali, tidak ada masalah, kan?" kata Kakek dengan sorot matanya yang tajam.

Aku menelan ludah. "Sudah sangat lama Fiska memimpikan ini, Kek. Aku mohon jangan kecewakan sahabatku, Kek!" seruku dengan lirik.

Kakek tertawa sinis, kemudian meninggalkan meja makan tanpa kata-kata.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku terus memikirkan ucapan kakek. Apakah dia benar-benar membuat keputusan itu? Bagaimana dengan Fiska kalau itu terjadi?

"Kau sedang ada masalah?" tanya Fathir yang berada di sampingku.

"Tidak. Aku hanya...."

"Hanya apa?" Fathir memotong kalimatku dengan sangat cepat.

Aku tersenyum. "Kau sudah siap untuk mulai bekerja?" tanyaku.

Fathir mengangguk. "Siap tidak siap, aku harus melakukan tugasku."

Aku tersenyum lagi. "Oh, ya, besok malam aku akan bertemu dengan sahabatku. Kau mau ikut?"

Fathir tertegun. "Memangnya tidak apa-apa?"

"Justru dengan kehadiranmu, mereka akan percaya bahwa aku menolak perjodohan itu. Lagipula, selama ini aku tidak pernah mengenalkan pria manapun pada mereka," jawabku dengan malu-malu.

Satu jam telah berlalu. Aku mengintip ruangan Fathir dari balik kaca di luar. Aku tidak tahu apakah dia akan mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang manajer atau tidak. Aku hanya ingin kakek dan keluargaku tahu bahwa pria yang akan menikahiku nanti adalah seorang manajer. Mungkin aku terlihat bodoh, tetapi inilah cara satu-satunya untuk menghindari keputusan kakek.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Fathir yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku.

Aku tersentak dan spontan memukul dada Fathir yang bidang. Seketika itu pula adrenalin ku mengalir sampai ke kepala. Apa yang sedang terjadi padaku?

"Kau menguntit ku?" Fathir memelotot ke arahku.

Aku menggeleng dengan kuat dan berlari meninggalkan Fathir.

Ku teguk air putih di gelas yang ada di meja kerjaku. Berkali-kali aku memaksakan diri untuk melupakan kejadian barusan. Kenapa rasanya aneh sekali saat menyentuh Fathir? Seperti ada getaran hebat yang terjadi di dalam tubuh ini. Ah, aku tidak boleh berimajinasi, apalagi berfantasi. Hubungan kami hanyalah sebuah kontrak, tidak lebih dari itu.

Backless dress berwarna sage yang ku pakai membuat Fathir memelototiku tanpa berkedip sekalipun.

"Kau akan memakai pakaian seperti ini?" tanyanya sembari memandangku lekat-lekat.

"Ya. Bagus, kan?"

Fathir menggeleng. "Apa kau tidak takut masuk angin? Hari sudah malam."

Aku tertawa. "Sudahlah, ayo kita pergi!" seruku dan menariknya masuk ke dalam mobil.

Fathir tak berhenti menceramahiku tentang pakaian yang ku pakai. Dia sangat tidak menyukainya. Beberapa kali dia menyuruhku untuk mengganti gaun ini, tetapi aku tidak peduli.

Kafe favoritku sedang ramai. Ku perhatikan sekeliling kami dan mencari sosok Fiska. Tidak butuh waktu lama, aku sudah menemukan mereka di ruang VIP.

"Hai, semua!" seruku dengan ramah.

Fiska menatapku sembari tersenyum. "Alesha, kau sudah datang, ya," ucapnya.

Aku tersenyum. Kemudian, aku menarik tangan Fathir yang berada di belakangku. "Oh, ya, kenalkan ini Fathir!" seruku.

Wajah Mira berubah. Dia menganga melihat pria tampan yang ada di hadapannya.

"Dia adalah kekasihku," ujarku sembari menggandeng lengan Fathir dengan mesra.

Fathir melirikku. Dia menyunggingkan senyum terpaksa pada kedua sahabatku. "Hai," sapanya dengan lembut.

Mira tercengang. Begitupun dengan Fiska.

Tak ada yang percaya bahwa aku memiliki seorang kekasih yang tampan seperti Fathir. Sepertinya episode pertama dari cerita ini sedang berjalan dengan lancar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!