Akhirnya, Salwa pun membuka pintu dan betapa terkejutnya ketika siapa orang yang baru saja mengetuk pintu kamarnya.
"Tu-an." Sedikit gemetar karena sebuah ketakutan tengah melanda Salwa, ia takut jika dirinya telah melakukan kesalahan hingga membuat majikannya mendatanginya.
"Bersiaplah, karena saya akan mengajakmu ke suatu tempat." Dengan suara datar di tambah aura dingin, Hans berbicara.
"Memangnya ada acara apa kalau boleh tahu, Tuan?" tanya Salwa karena semua itu harus jelas karena tidak mau ada salah paham yang tertuju padanya.
"Tidak perlu kamu tahu, sekarang bersiaplah karena saya akan menunggumu di luar." Sesudah mengatakan hal tersebut, Hans pun keluar untuk menuju garasi sambil menunggu Salwa bersiap-siap.
Sedangkan Mila sendiri setelah mengecek pintu. Ia dibuat penasaran karena melihat jika Hans baru saja keluar dari kamar Salwa, dengan rasa ingin tahu akhirnya ia pun mendatangi kamar Salwa yang masih terbuka.
"Apa ada masalah? Sampai Tuan berada di kamar Salwa," batinnya dan sekarang yang ada di hatinya ia lah. Menghampiri Salwa dan bertanya soal majikannya, untuk menghilangkan rasa penasarannya yang sedikit menggebu.
"Salwa! Apa ada masalah?" sesampainya di kamar, Mila pun segera bertanya.
Bukannya langsung menjawab, tapi Salwa dibuat bingung dengan pertanyaan Mila.
"Maksudnya? Aku sama sekali tidak mengerti," ujar Salwa dengan wajah penuh kebingungan.
Pletak.
"Auh … sakit, kenapa kamu menyentilku." Rintih Salwa karena Mila mendaratkan jemarinya di keningnya.
"Kamu ini bodoh atau pura-pura bodoh sih, masa iya kamu tidak mengerti dengan pertanyaanku." Mila mendengus kesal karena Salwa sedikit lambat untuk berpikir.
"Apa jangan-jangan dimaksud Mila itu Tuan," batin Salwa.
"Kamu melihatnya?" tanya Salwa.
"Memangnya apa lagi!" Mila sedikit menaikkan suaranya.
"Tidak ada masalah, hanya saja tuan ingin mengajakku entah ke mana. Aku pun tidak tahu," ucap Salwa menjelaskan.
"Mungkin saja kamu mau di ajak 𝘋𝘪𝘯𝘯𝘦𝘳," kata Mila tersenyum.
"Mimpi kali, mana ada tuan seperti itu. Dari segi kasta sudah terlihat jadi jangan mengharap yang mustahil," balas Salwa.
"Apanya yang tidak mungkin, meski kita seorang pembantu. Memangnya tidak boleh kita bermimpi indah," sungut Mila yang menolak sebuah kalimat yang dijabarkan oleh Salwa.
"Bu-kan begitu—,"
"Sudahlah, lebih baik kamu bersiap-siap. Jangan membuat tuan marah karena menunggu lama," kata Mila memberi nasehat.
Setelah Mila pergi. Salwa pun kembali masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap, karena majikannya tidak suka menunggu lama. Jadi, dengan segera mungkin Salwa keluar lagi untuk menemui majikannya.
Di luar.
"Apa kamu kembali tidur? Sampai membuat saya menunggu!" ucap Hans dengan menatap tidak suka.
"Ma-af Tuan, tadi Alfi bangun dan meminta air." Jawab Salwa bohong.
"Sekarang masuklah." Perintah Hans karena tidak mau berdebat lebih panjang lagi.
Tidak ada percakapan, di dalam mobil hanya ada kesunyian karena keduanya saling membisu. Hans pun tidak tahu memulai dari mana karena sepanjang hidupnya, baru kali ini membawa seorang wanita.
Sedangkan Salwa sendiri masih berperang dengan pikirannya. Entah apa yang terjadi kepadanya jika semua terbongkar, disaat Hans dan Mira mengetahui siapa Haikal sebenarnya. Hingga tanpa terasa, mobil yang ditumpangi Salwa telah berhenti di suatu tempat.
"Taman," gumam Salwa.
"Iya, kita akan memulai pertemanan di sini." Ucapan Hans sontak saja membuat Salwa mendelikkan mata lebar-lebar, karena semua ini tidak pernah terpikirkan olehnya dan sikap majikannya sungguh aneh, lebih banyak bicara dan cerewet dari biasanya.
"Apa ada yang salah?" tanya Hans dan menaikkan kedua alisnya.
"Ada, mana mungkin seorang majikan dan pembantu memulai pertemanan." Jawab Salwa tanpa ragu.
"Memangnya kenapa? Apa jika kamu berteman akan memilih dengan fisik yang normal?" tanya Hans lagi dan Salwa pun terdiam. Tetapi, bukan itu masalahnya.
"Bukan soal fisik atau yang lainnya, tapi ini soal—."
"Akan tetapi, saya tidak mempermasalahkannya? Lantas apa yang jadi masalah ketika orang itu ingin berteman dengan siapa pun, tanpa melihat kasta." Lagi-lagi Salwa dibuat bungkam oleh kalimat yang diberikan Hans.
"Terserah Tuan saja, karena saya tidak akan menjawab lagi dan hal itu membuat percuma saya." Salwa pun pergi meninggalkan Hans dan langsung menuju di kursi panjang. Di mana ada beberapa orang duduk di sana juga dengan pasangan masing-masing.
Sedangkan Hans menggelengkan kepalanya lalu mengikuti langkah Salwa, duduk di samping perempuan tersebut tanpa sungkan.
"Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan setelah semuanya terjadi?" tanya Hans tiba-tiba dan membuka percakapan yang sebelumnya terasa canggung.
Salwa seketika menoleh, menatap lekat ke arah lelaki yang masih begitu tampan dan gagah.
"Apa yang Tuan bicarakan!" Salwa tidak tahu arah pembicaraan dan kenapa juga majikannya bisa berkata seperti itu, seakan lelaki tersebut mengetahui lika-liku kehidupan Salwa.
"Saya sudah tahu semuanya. Saya harap kamu bisa jujur dengan apa yang terjadi, saya juga akan berusaha membantumu."
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik, hingga menit telah terlewati dan Salwa masih diam dengan pikiran yang kacau.
"Sekarang yang ada di pikiran saya adalah. Pulang kampung dan memulai kehidupan di sana bersama Alfi," ucap Salwa dengan mata terpejam. Menurutnya itu adalah putusan yang tepat.
"Bukan itu yang saya dengar, meski kamu memohon untuk pulang. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi, itu karena kamu harus menyelesaikan masalahmu yang terlanjur di puncak kehancuran, karena di sini ada keponakan saya yang tidak tahu soal hubunganmu antara kamu dan Putra."
"Hubungan saya dan mas Haikal telah selesai, saya juga menyerah setelah melewati perjuangan yang sia-sia." Salwa tidak lagi ambil pusing soal Haikal, karena pergi dari hati laki-laki itu adalah keputusan bulat. Meski Haikal sendiri telah menolak perceraian tersebut, tapi dengan kegigihan dan tekad yang bulat. Salwa lah yang akan menggugat dengan alasan lepas tanggung jawab dan poligami tanpa persetujuannya.
"Kamu yakin?"
"Apakah saya harus bertahan hanya demi lelaki yang tak pernah bisa menghargai saya, melupakan anak istrinya dan mencari kebahagiaannya sendiri. Lalu, melepaskan semua tanggung jawabnya sebagai seorang suami! Apa saya harus terima semua ini," kata Salwa dengan dada bergemuruh menahan rasa kecewa.
"Saya manusia biasa Tuan, tingkat kesabaran saya tidak sama dengan istri Nabi." Ucapan Salwa terdengar ngilu di hati, di sini Hans juga tidak bisa menyalahkan Salwa, ketika semua terbongkar dan nantinya Mira akan tahu semuanya.
Salwa yang tak bisa membendung tangisnya, membuat Hans merasa iba karena sungguh berat cobaan Salwa saat ini dan Hans juga bangga karena dengan ketegarannya ia mampu melewati masa-masa sulit bersama Alfi, putra semata wayangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Rini Antika
semoga suatu saat nanti km mendapatkan kebahagiaan
2023-08-22
0
mama oca
setuju salwa lebih baik kamu lepaskan saja suami dan ayah yang tdk bertangguung jawab itu...jangan lupa urus segera surrat cerainya agar jelas syatis kamu
2023-08-20
0