Salwa sudah membawa uang dan segera berangkat ke rumah sakit, dengan begitu, biaya yang sempat menunggak akan segera lunas, tapi ada setitik kegelisahan karena mendapat telepon dari pihak rumah sakit sendiri.
Sekitar satu jam, Salwa turun dari angkot dan langsung masuk ke dalam dengan langkah tergesa-gesa.
"Sus, saya mau membayar biaya atas nama Bu Sarofah!" kata Salwa pada pihak yang berjaga.
"Sebentar ya Bu, saya akan mengeceknya." Jawab orang itu.
Sedangkan ada suster yang menghampiri Salwa dan dengan sedikit ragu. Wanita itu mengungkapkan akan kondisi mertuanya yang sekarang.
"Bu Salwa, saya ingin memberitahu untuk kondisi ibu Anda sekarang ini." Suster itu pun mulai mengatakannya karena lebih baik lebih cepat.
"Sus, memangnya apa yang terjadi pada ibu saya?" tanya Salwa dengan dada bergetar seakan sesuatu sedang terjadi.
"Lebih baik Ibu ke ruangannya agar mengetahui apa yang sedang terjadi," ujar suster itu.
"Baik, Sus." Salwa pun menurut dan langsung mengikuti langkah suster yang akan membawanya ke ruangan mak Saroh.
Sepanjang perjalanan Salwa terus memikirkan hal-hal yang tidak ingin ia lihat. "Bukankah Emak tadi masih baik-baik saja, lalu kenapa tiba-tiba semuanya menjadi aneh." Salwa bergumam hingga tanpa terasa kakinya sudah berada di ruangan.
Setelah itu, mata yang semula terlihat teduh sekarang ingin keluar dari tempatnya. Bagaimana tidak, pemandangan yang ada di depan mata membuat Salwa sulit untuk mempercayainya karena semua seperti mimpi.
"Maaf Bu, Ibu Anda sudah tidak bernapas lagi." Seorang dokter mengatakan dengan perlahan menutup wajah mak Saroh.
"Mak, bukan Mak tadi masih sehat. Mak ini sangat tidak lucu Mak," ucap Salwa dengan wajah yang sudah basah oleh air mata.
"Sabar Bu, Anda kuat."
"Tidak Sus, Emak tadi masih sehat bahkan saya sudah membawa uang untuk membayar biaya rumah sakit!" kata Salwa dengan tubuh lemah, karena sudah tidak ada lagi yang memberikan kekuatan dirinya.
"Mak bangun, ini lihatlah aku sudah dapat uangnya. Mak aku mohon … bangun karena aku masih butuh Emak," ucap Salwa dengan terus menggoyangkan tubuh yang tak lagi bernyawa.
Tangisan Salwa semakin pecah karena orang yang begitu berarti, telah memilih meninggalkannya dengan seribu luka.
"Mak … bangun, kenapa Emak tega ninggalin aku. Sekarang aku tidak punya tempat lagi Mak," lirih Anisa berharap jika semua ini adalah mimpi. Mimpi yang tak akan pernah menjadi nyata, kenyataannya Tuhan tidak menghendakinya.
Entah setelah ini kehidupan seperti apa yang nantinya akan dijalani oleh Salwa, ketika satu per-satu orang yang ia sayangi pergi. Sedangkan Haikal sendiri selama lebih dari setahun tidak pernah muncul, layaknya pasir terbawa oleh ombak. Suami yang diharapkannya tak pernah ada, lelah ke sana dan kemari mencari informasi. Kenyataannya sama sekali tidak membuahkan hasil.
"Bu, lebih baik sekarang segera di proses agar ibu Anda bisa secepatnya dikebumikan." Mencoba tegar tapi hatinya rapuh, Salwa pun mengusap air matanya yang tak mau berhenti, tapi apa yang dikatakan oleh dokter ada benarnya, karena Salwa juga tidak menunda pemakaman mak Saroh.
Sesampainya di rumah, Alfi pum tak kalah sedihnya. Ketika sang nenek telah pergi menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
"Bunda … kenapa nenek ninggalin kita, jika nenek pergi lalu kita bagaimana?" Alfi begitu terpukul dengan keadaan ini. Sedangkan Salwa sendiri kini tak mampu berkata apa-apa, bibirnya keluh meski hanya mengatakan satu kata.
"Nak, doakan nenek ya, supaya Tuhan menempatkan nenek di surganya Allah. Insya Allah pasti akan ada jalan untuk kedepannya," ucap Salwa dengan mata yang sudah bengkak akibat
Di rumah sederhana terdapat bendera kuning, entah mengapa tidak ada firasat atau bagaimana yang dirasakan oleh Haikal, ketika orang tuanya telah pergi untuk selamanya. Sedangkan Salwa hanya bisa terduduk lemas, saat semua orang tengah membacakan yasin untuk mendiang mak Saroh.
"Sal, memangnya suami kamu sama sekali tidak bisa dikabari?" tanya bu RT dengan hati-hati.
Tidak ada jawaban, hanya gelengan kecil yang membuat bu RT semakin kasihan.
"Wa, jangan-jangan suami kamu di kota sudah punya bini …." Suara itu menggantung saat bu RT sengaja menyikut lengannya.
"Maaf ya Sal, karena mulutnya tidak pernah diberi buku sama pensil." Bu RT sengaja berucap konyol agar merasa tidak sakit hati, ketika sebuah kalimat yang sangat menohok itu di tujukan pada Salwa.
"Tidak Bu, bisa jadi memang iya karena saya juga tidak tahu pasti." Jawab lirih Anisa yang tak mau menanggapi gosip yang sudah tersebar, kalau suami Salwa memang sudah menikah lagi
"Kamu yang sabar ya, semoga Tuhan menurunkan hidayah agar suami kamu bisa mengingat orang tuanya sekaligus kamu sebagai istrinya." Salwa tersenyum meski hatinya pedih dan kecewa. Kenyataannya sampai akhir hayat mak Saroh suaminya tak kunjung pulang.
Sedangkan Alfi, dengan tegar nya mencoba menguatkan sang bunda. Bocah berusia 10 itu, begitu sangat paham akan keadaan sekarang. Namun, yang ada di dalam pikirannya ia tidak mau membuat bundanya semakin sedih disaat dirinya menangis karena ditinggalkan oleh neneknya.
"Bun, ada aku … bunda tidak akan sendirian, karena aku akan menjaga Bunda." Seketika Salwa memeluk putra semata wayangnya karena tidak tahu harus berkata seperti apa, ketika kedukaan sedang dialaminya dan beberapa masalah telah menghadangnya.
"Makasih, Sayang." Alfi meneteskan air mata, ia tahu bahwa beban yang di bawa bundanya cukup berat.
Saat keduanya masih berpelukan, seorang laki-laki datang menghampirinya. "Mbak Salwa, hari akan semakin sore. Lebih baik segera dikebumikan," ucap lelaki tersebut.
Menunggu suaminya yang hilang tanpa kabar membuatnya sia-sia. Bahkan seseorang berusaha mencari informasi dari kota pun tidak mengetahui keberadaan Haikal.
"Baik, Pak."
Mungkin sekitar satu jam. Jasad mak Saroh sudah berada di tempat yang kekal serta abadi. Di mana semua orang akan mengikuti jejaknya. Mak Saroh kini sudah beristirahat dengan tenang tanpa merasakan kesakitan yang selama ini dirasakannya, tapi Salwa masih berada gundukan tanah yang masih segar dengan taburan bunga tersebut.
"Mak, istirahatlah dengan tenang. Doaku selalu menyertaimu, maaf jika aku belum bisa membahagiakan Emak." Dengan sesekali mengusap air matanya, Salwa berdiri karena langit sudah berwarna kelabu.
"Sayang, kita pulang. Doakan nenek supaya Tuhan memberi tempat yang indah," ucap Salwa pada Alfi.
"Bun, bolehkah aku membenci Bapak?" dengan tatapan kosong dan terlihat wajah bocah itu kini sudah dihiasi oleh aura kebencian.
"Al, seberapa perlakuan Bapakmu, seberapa Bapak melupakan kita dan seberapa jahatnya, dia tetap Bapak kamu."
"Aku membencinya Bun, karena Bapak hidup kita sengsara."
"Tidak sepatutnya kamu berbicara, karena bagaimanapun mantan anak itu tidak ada."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
neng ade
Innalillahi wa innallaihi roji'uun ..
2024-03-27
0
Lina Syah
semangat Salwa yang tegar ya semuanya akan berlalu tidak mungkin akan hujan terus dan esok akan akan ada pelangi 🌈🌈🌈🌈
2023-09-14
1
@Kristin
Turut berdukacita
2023-08-31
0