Perintah Hans

"Jadi, Salwa sudah punya anak?" sedikit kaget, karena yang dilihat oleh Mira jika Salwa masih belum mempunyai anak.

"Memangnya anak siapa yang mau aku bawa ke sini! Kalau bertanya pakai akal sehatmu," dengus Hans karena jika sudah ada Mira, maka rumah akan ramai dengan ocehan yang tak bermutu.

"Salwa sekarang Anda bisa memanggil Alfi ke sini untuk makan." Sebuah perintah diberikan oleh Salwa dan Mira yang mendengar itu merasa risih dengan sebutannya pada wanita tersebut.

"Tidak Tuan, biarkan nanti makan di belakang bersama saya."

Brakkk.

Suara gebrakan meja seketika membuat Mira dan Salwa ketakutan.

"Ini sebuah perintah, jika tidak mau menerima peraturan silahkan pergi!" bentak Hans.

"Ba-ik, Tuan." Tidak bisa menolak dan Salwa pun harus terpaksa menurutinya.

"Ada apa dengan Paman, kenapa begitu perhatian sekali dengan dengan Salwa? Bukankah dia itu hanya seorang pembantu?" dalam hati Mira bertanya-tanya akan perubahan sikap Hans, selaku pamannya.

Selang berapa menit, Salwa sudah membawa Alfi untuk ikut gabung bersama dengan Hans serta Mira, rasa sungkan dan tak enak hati. Sekarang tengah dirasakan oleh Salwa karena merasa jika tempatnya bukan bersama dengan mereka.

"Al, duduk!" perintah Hans.

"Om, aku mau makan Bunda di dapur." Jawaban dari Alfi membuat Hans meradang karena kebaikannya tengah ditolak mentah-mentah.

"Sekarang duduk dan cepat makan! Jangan sampai om marah kepadamu." Terlihat dingin, tapi ada kesan tersendiri yang ditujukan oleh Hans pada Alfi.

"Apa-apaan sih ini, bukannya makan malah adu argumen. Bocah, lebih baik turuti saja ucapan lelaki dengan wajah harimaunya itu. Jika tidak, kamu akan dilahap habis." Hans mendelik karena karena ucapan dari Mira membuatnya seperti barang lelucon.

“Sekarang makan dan jangan ada yang berbicara!” ucap Hans dengan wajah datarnya, sedangkan Salwa sudah pergi dari tengah-tengah mereka.

di dapur Mila yang kini tengah memegang gelas, ingin rasanya bertanya tentang seberapa akrab antara dirinya dan juga majikannya. Mila yakin karena ada yang berbeda di mana Hans begitu perhatian pada Alfi, yang notabenya bukan siapa-siapa.

“Sal, aku boleh tanya gak. Maaf kalau sudah membuat kamu sedikit merasa tersinggung,” ujar Mila.

"Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Salwa.

"Eum … maaf, apa kamu sebelumnya sudah mengenal tuan?" tanya Mila hati-hati.

"Kami bertemu di jalan ketika aku sama sekali tidak punya tujuan, karena malam itu tas yang berisikan harta benda raib oleh jambret. Jawab Salwa dengan wajah tertunduk karena semua itu mengingatkannya pada malam, yang tak ingin dilaluinya.

"Maaf, aku hanya–."

"Tak apa," sahut Salwa karena siapa pun akan seperti itu jika perlakuan majikan pada dua pembantu berbeda. Tetapi, yang membuat Salwa sangat bersyukur. Mila sama sekali tak ada dendam pada wanita yang baru beberapa hari di rumah majikannya.

"Ya sudah, sepertinya mereka sudah selesai makan. Sebaiknya kita bersih-bersih dan dengan begitu kita juga bisa segera makan," ucap Mila pada Salwa.

Hari-hari yang dijalani Salwa begitu sangat baik, lalu sedikit demi sedikit rasa sakit itu hilang dengan perlahan karena di rumah ini. Salwa menemukan kebahagiaan, tapi tetap saja hal itu tidak membuatnya lupa untuk mencari suaminya.

Di ruang kerja, Salwa yang tengah mengantarkan kopi untuk Hans, tapi lelaki itu malah menyuruhnya duduk. Rasa takut kian menjadi ketika Hans berjalan mendekatinya dan melirik tubuh Salwa dari atas sampai bawah, hal itu juga yang membuatnya risih.

"Tu-an kenapa menatap saya seperti itu?" tanya Salwa dengan tubuh gemetar.

"Tidak terlalu buruk." Salwa yang mendengar majikannya bergumam semakin takut.

"Apa maksud Tuan, jangan macam-macam pada saya!" seru Salwa karena sekarang dirinya benar-benar ketakutan.

"Memangnya apa yang kamu pikirkan tentang saya?" Hans merubah panggilannya pada Salwa, lalu berkata seakan-akan dirinya akan berbuat sesuatu pada wanita tersebut.

"Pandangan Tuan sangat membuat saya tidak nyaman, apa salahnya jika saya berprasangka yang tidak-tidak terhadap anda." Hans berdecak dengan mengeluarkan napas berat, bahwa semua itu membuatnya merasa jika dirinya seolah-olah lelaki yang tidak bermoral.

“Kemarin saya sempat membelikan gaun untuk kamu bukan? Nanti malam pukul tujuh ada acara ulang tahun dari teman. Jadi, saya membutuhkan kamu untuk ikut menemani saya.” Sejenak Salwa dibuat ternganga karena sebuah permintaan majikannya. Di mana dirinya harus ikut serta dalam acara undangan.

“Saya tidak membutuhkan persetujuan darimu, karena meski kamu menolak. Pada akhirnya nanti malam harus ikut denganku,” ucap Hans dengan wajah tegasnya dan nyaris tidak ada senyuman yang terlihat.

“Maaf, kenapa harus saya dan bukan kekasih Tuan saja?” Salwa dengan sedikit keberanian terpaksa bertanya, karena takut jika nantinya akan berujung dengan salah paham.

“Kamu tidak perlu banyak bicara, karena yang saya butuhkan hanyalah … persiapkan dirimu untuk nanti,” ucap Hans pada Salwa.

“Sekarang pergilah,” perintah Hans lagi karena merasa jika sudah tidak ada yang perlu dibicarakan.

Melihat Salwa berjalan gontai, membuat Mila langsung bertanya. “Sal, ada apa? Kenapa dengan wajah kamu terlihat kusut?” tanya Mila ketika hendak keluar dari rumah.

“Tuan memintaku untuk menemaninya di acara ulang tahun rekan kerjanya,” ucap Salwa dengan suara lemah.

“Lalu, masalahnya apa? Bukankah itu bagus karena aku melihat jika Tuan sedang mengagumimu.” Jawaban Mila membuat Salwa menatap lekat ke arah temannya itu.

“Kamu mengada-ngada, mana mungkin hal itu terjadi. Sedangkan aku tidak melihat itu selain rasa kasihannya padaku,” ucap Salwa pada Mila karena ia yakin hal itu tidaklah benar.

“Tidak, karena perlakuannya padamu itu berbeda, kamu jangan khawatir nanti aku akan membantumu.” Jawab Mila karena tidak ingin membicarakan majikannya, karena hal itu sama sekali membuatnya menyelesaikan pekerjaannya.

malam telah datang dan tiba waktunya untuk Salwa segera bersiap-siap untuk merias wajahnya. Dengan dibantu Mila maka semua akan beres dan sekarang wanita dengan gaun, yang menjuntai ke bawah. Serta dengan riasan natural, semakin membuat Hans tidak berkedip.

“Apa ini yang dinamakan bidadari tak bersayap. Begitu sangat cantik dan rasanya mataku tidak ingin menatap arah lain selain dirinya,” gumam Hans dalam hati karena begitu terpesona dengan sosok Salwa yang kini telah siap. Sedangkan Alfi tidak berhenti dan terus memuji bundanya yang tampil sempurna.

“Bunda sangat cantik, sampai aku tidak mengenali Bunda.” Ucapan Alfi membuat Salwa tersenyum, lalu menggeleng pelan.

“Bukankah semua perempuan itu cantik?”

“Bunda jauh lebih cantik,” jawab Alfi dengan begitu bangga ketika melihat sosok orang tuanya.

“Nak, memuji itu boleh, tapi yang berlebihan itu tidak baik.” Alfi mengangguk karena memang seperti itulah yang selalu diajarkan oleh Salwa pada Alfi.

“Ya sudah, sekarang kita berangkat!” ajak Hans.

“Al, kamu baik-baik ya di rumah. Bunda pergi dulu,” pamit Salwa.

“Baik, Bunda.”

Sedari tadi, tidak ada percakapan antara Salwa dan Hans, mereka berdua terlalu asyik dengan pikiran masing-masing. Hingga tanpa terasa mobil yang dikendarai oleh Hans sudah sampai di hotel.

"Ingat, sesampainya di dalam. Jangan membuat saya malu dan jangan memanggil dengan sebutan 'Tuan' padaku," ucap Hans menjelaskan.

"Baik, Tuan."

"Panggil saya Hans," sahut Hans dengan cepat.

"Baik, Hans."

"Bagus."

Keduanya pun turun dari mobil dan siapa sangka jika Hans langsung menggandeng tangan Salwa, hingga membuat wanita itu sedikit tidak nyaman.

"Tu- maksud saya Hans, bisakah melepaskan tangan saya." Salwa pun meminta agar tangannya dilepaskan.

"Diam saja, jangan protes dengan apa yang saya lakukan padamu."

Untuk malam ini, kata Anda yang biasa dipakai oleh Hans, sekarang sudah tidak ada lagi dan berganti lebih halus dengan penyebutannya pada sosok wanita cantik, serta anggun itu.

Setelah sampai di dalam. Terlihat jika ada Mira juga dengan suaminya yang mana, tengah bersalaman dengan rekan-rekannya.

"Mas, bukankah itu Paman, kira-kira bujang lapuk itu sedang bersama siapa ya?" tanya Mira pada suaminya dan Putra pun menoleh untuk melihat karena ikut penasaran juga.

"Aku tidak tahu Sayang, kalau mau kita bisa ke sana!" ucap Putra mengutarakan maksud Mira agar tidak penasaran lagi.

"Boleh, yuk." Akhirnya Mira dan Putra berjalan menghampiri Hans.

"Paman!" sapa Mira dan Putra.

Deg!

"Tidak, ini tidak mungkin. Bisa saja aku salah lihat dan itu bukan orang yang sama, aku yakin bukan dia orangnya."

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

ingin tau reaksi nya si Putra alias Haikal saat bertemu dngn Salwa

2024-03-27

0

Lina Syah

Lina Syah

ya ketemu sama suaminya

2023-09-14

0

Rini Antika

Rini Antika

makasih pujiannya, 🙈

2023-08-17

1

lihat semua
Episodes
1 Kehidupan Salwa
2 Bukan tulang rusuk, tapi tulang punggung
3 Ketika tersesat karena duniawi (hati yang rapuh)
4 Mak Saroh meninggal.
5 Mencari sebuah kepastian
6 Kehilangan harta benda
7 Sebuah pertemuan
8 Salwa berada di rumah Hanafi
9 Jujur lebih baik
10 Hans membelikan baju Salwa
11 Perintah Hans
12 Ketika hati dipertemukan oleh luka
13 Ketika Alam berkehendak
14 Ketika Hati memilih menyerah
15 Ketika dipertemukan oleh kenyataan
16 Ketika hati dan mulut tak sejalan
17 Biarkan aku menyerah
18 Ketika Hati di porak porandakan oleh keegoisan
19 Menyerah setelah berjuang
20 Biarkan takdir yang menjawab (seporsi sate)
21 Keputusan Salwa
22 Ditemani Hans pulang kampung
23 Keributan di rumah Salwa
24 Keributan yang terjadi di rumah Salwa
25 Keberanian Hanafi
26 Menyakinkan sebuah hati
27 Kecelakaan tunggal
28 Keadaan Alfi
29 Bahagia di Atas Lukaku
30 Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga
31 Takdir yang tak terelakkan.
32 Kehilangan dan kebencian yang tumbuh.
33 Rindu tak bertuan
34 Pertengkaran Mira dan Putra
35 Ketika hati memilih pergi
36 Tuduhan Mira
37 Menguak sebuah kejahatan
38 Pergi ke kota
39 Terbongkarnya sebuah kebohongan
40 Ketika Hati tersakiti
41 Memberi perhitungan untuk Haikal.
42 Kemarahan Hans
43 Mira mencari Putra
44 Mira mencari tahu
45 curhatan othor
46 Mira berada di RS
47 Sadarnya Mira
48 Sebuah pertengkaran (Impas)
49 Keadaan Haikal
50 Akhir dari penyesalan
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Kehidupan Salwa
2
Bukan tulang rusuk, tapi tulang punggung
3
Ketika tersesat karena duniawi (hati yang rapuh)
4
Mak Saroh meninggal.
5
Mencari sebuah kepastian
6
Kehilangan harta benda
7
Sebuah pertemuan
8
Salwa berada di rumah Hanafi
9
Jujur lebih baik
10
Hans membelikan baju Salwa
11
Perintah Hans
12
Ketika hati dipertemukan oleh luka
13
Ketika Alam berkehendak
14
Ketika Hati memilih menyerah
15
Ketika dipertemukan oleh kenyataan
16
Ketika hati dan mulut tak sejalan
17
Biarkan aku menyerah
18
Ketika Hati di porak porandakan oleh keegoisan
19
Menyerah setelah berjuang
20
Biarkan takdir yang menjawab (seporsi sate)
21
Keputusan Salwa
22
Ditemani Hans pulang kampung
23
Keributan di rumah Salwa
24
Keributan yang terjadi di rumah Salwa
25
Keberanian Hanafi
26
Menyakinkan sebuah hati
27
Kecelakaan tunggal
28
Keadaan Alfi
29
Bahagia di Atas Lukaku
30
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga
31
Takdir yang tak terelakkan.
32
Kehilangan dan kebencian yang tumbuh.
33
Rindu tak bertuan
34
Pertengkaran Mira dan Putra
35
Ketika hati memilih pergi
36
Tuduhan Mira
37
Menguak sebuah kejahatan
38
Pergi ke kota
39
Terbongkarnya sebuah kebohongan
40
Ketika Hati tersakiti
41
Memberi perhitungan untuk Haikal.
42
Kemarahan Hans
43
Mira mencari Putra
44
Mira mencari tahu
45
curhatan othor
46
Mira berada di RS
47
Sadarnya Mira
48
Sebuah pertengkaran (Impas)
49
Keadaan Haikal
50
Akhir dari penyesalan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!