Hans yang melihat Salwa tengah berada di jalan dengan keadaan basah akibat kehujanan. Bergegas turun dan membawa payung untuk wanita tersebut, agar bisa masuk ke dalam mobil.
"Salwa, memangnya kamu ini anak kecil hingga bermain hujan-hujanan seperti ini!" ketus Hans ketika melihat Salwa duduk di aspal dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
"Tuan, kenapa alam begitu kejam padaku?" Seketika Hans tertegun kala mendengar Salwa berbicara. Seakan beban berat tengah menimpanya, tapi ia tidak tahu masalah apa yang tengah menghadangnya.
"Salwa, sepertinya kamu perlu istirahat dan sekarang berdirilah, karena kita akan pulang." Hans tidak ingin menanggapi Salwa dengan kalimat yang ia tidak tahu apa maksud dan tujuannya meski begitu, Hans tahu jika wanita itu tengah terpuruk.
"Apa aku memang tidak berharga hingga selalu mendapat luka. Ketika diri ini ingin mencari sebuah keadilan, tapi bukan itu yang aku dapatkan. Melainkan kekecewaan yang semakin menumpuk di sini, di hati ini." Kini Hans sadar bahwa Salwa sedang berada di posisi tidak baik-baik saja, tapi Hans juga tidak tahu cara untuk menenangkannya.
"Salwa, tumpahkan jika semua itu sedikit mengurangi beban di hatimu." Hans tidak tahu harus bicara apa, karena kenyataannya ia tidak pernah berada di posisi Salwa.
"Apa artinya jika kepergiannya hanya menyisakan luka yang ditinggalkan untukku," ucap Salwa dengan sesenggukan, entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan.
"Saya tidak tahu masalah kamu, siapa orang yang sudah berkhianat padamu juga. Tetapi, dengan semua yang kamu lakukan hanya akan membuang waktu. Berdiri dan balas rasa sakit itu, hingga semuanya terbayar oleh apa yang sudah diberikan padamu." Salwa hanya diam dan tidak tahu sekarang apa yang ada dipikirannya.
"Orang itu adalah yang selama ini aku cari. Aku tidak sengaja melihatnya tengah bergandengan tangan dengan seorang wanita. Seorang yang tengah hamil dan bisa aku pastikan jika keduanya bukan hanya pacaran, tapi bisa jadi mereka sudah menikah." Salwa mengusap wajahnya dengan kasar, bahkan tidak peduli di tengah-tengah derasnya hujan wanita itu seakan mati rasa dan tidak punya rasa dingin.
Tanpa banyak kata, Hans langsung memapah tubuh Salwa karena tidak mau, jika wanita itu berakhir sakit.
"Sekarang berdirilah dan kita akan memikirkannya cara untuk memberi pelajaran." Seketika Salwa termenung menatap wajah lelaki yang kini tengah merangkulnya.
"Tidak, aku tidak mungkin mengatakan siapa orang itu. Tuan terlalu baik padaku dan aku juga tidak mau sampai membuatnya kecewa," batin Salwa ketika semuanya berputar dalam ingatannya.
Sesampainya di mobil, Salwa hanya diam dan berperang dengan pikirannya sendiri. Tidak menghiraukan ketika Hans berbicara, hingga sebuah bentakan menyadarkannya.
"Salwa!" bentak Hans.
"Saya harap kamu tidak menjadi gila ketika turun dari mobil. Saya juga tidak mau kalau sampai orang mengira jika saya berbuat yang tidak-tidak." Hans murka karena Salwa mengacuhkannya.
"Maaf Tuan, saya tidak–."
"Sudahlah, sekarang pakai. Agar kamu tidak semakin kedinginan," ucap Hans sembari memberikan jas pada Salwa.
Tepat pukul 12 malam, akhirnya Salwa dan Hans sampai juga di rumah dengan wajah pucat, tengah menghiasi pandangan Hans. hingga membuatnya buru-buru membukakan pintu untuk wanita tersebut.
“Salwa, segera turun dan jangan lupa untuk secepatnya mengganti pakaian yang lebih hangat.” Entah itu sebagai bentuk perhatian atau apa, tapi yang jelas membuat Salwa sedikit tidak nyaman.
“Saya tahu, jadi Anda tenang saja.” Jawab Salwa dengan bibir bergetar karena rasa dingin itu semakin menjadi. Di tambah semilirnya angin semakin membuatnya kedinginan.
“Saya hanya mengingatkan saja. Jangan sampai kamu besok sakit hingga tidak bisa membantu Mila.” Selepas mengatakan hal itu, Hans pun masuk karena rencana semula telah gagal hanya karena Salwa berulah.
Sedangkan Salwa sendiri kini sudah mengganti pakaiannya. Menatap sang putra dengan perasaan hancur berkeping-keping. Andai Alfi tahu jika Bapaknya ada di sekitarnya, mungkin saja rasa benci yang pernah hinggap, kini semakin menjadi karena seorang Bapak yang seharusnya menjadi panutan, tega melukai hatinya dan juga Salwa selaku orang tua yang selalu ada.
“Mas, apa kamu melupakan tentang kisah kita dulu? Apa kamu memang sudah tidak berharap jika rumah tangga kita akan terus berlanjut? Tetapi, setidaknya beri aku kepastian jika kamu ingin mencari mawar di luaran san.” Salwa tidak tahu menceritakan pada siapa, hingga rasa sakit itu disimpannya rapat-rapat.
Alfi yang merasa jika ada yang mengusap lembut pucuk kepalanya. Merasa terusik hingga membuatnya langsung membuka mata dan melihat Salwa tepat berada di sebelahnya.
“Bunda, kenapa nangis?” tanya bocah itu.
“Tidak Sayang, bunda tidak menangis.” Jawab Salwa berbohong.
“Bunda nangis, tapi masih bisa berbohong.” Alfi erujar dan sesekali menatap wajah bundanya yang terlihat berbeda.
“Ini tadi kelilipan. Jadi, wajar saja kalau bunda nangis.” Lagi-lagi Salwa harus berbohong karena tidak mau Alfi tahu tentang semua, yang ia lihat sewaktu di acara tadi.
“Baiklah, aku percaya. Sekarang Bunda istirahat ya, pasti lelah karena sedari pagi Bunda tidak istirahat sama sekali.” Salwa mengangguk dan tersenyum. Untuk sejenak dirinya akan melupakan rasa kecewa dan sakit yang diberi oleh lelaki di mana sosok diharapkannya.
Keesokan paginya.
Di rumah Mira, ketika sepasang suami istri tengah sarapan, tapi Putra sama sekali tidak fokus dengan sarapannya itu.
“Mas, kamu kenapa?” tanya Mira karena sedari semalam sikap suaminya sungguh aneh.
“Memangnya aku kenapa?” tanya balik Putra hingga membuat Mira semakin yakin, jika ada yang disembunyikan.
“Mas, kamu tuh kenapa sih, dari semalam kamu aneh dan lebih banyak diam.” Akhirnya Mira pun mengatakan perihal kenapa sikap suaminya aneh.
“Aku tidak apa-apa, hanya saja sedikit kurang enak badan, makanya tidak terlalu fokus.” Jawab Putra, yang mengelak akan ucapan yang diberikan oleh Mira.
“Kenapa aku merasa jika nama itu tidak asing di telingaku,” gumam Putra yang mana masih memikirkan soal nama tersebut.
“Aku yakin jika Mas Putra sedang ada masalah, meski mengaku tidak enak badan tetap saja sikapnya sangat aneh.” Mira tidak bisa lagi menutupi perasaan tersebut, bahwa memang tingkah dan sikapnya benar-benar berbeda.
“Sudahlah, jangan berpikir yang macam-macam dan sekarang aku mau izin berangkat.” Pitra pun lantas berdiri untuk memilih segera berangkat ke kantor. Dengan tujuan agar sang istri tidak semakin curiga, kalau di pikirannya ada nama lain selai Mira hingga membuatnya terus memikirkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Rini Antika
ngasih perhatian saja gengsi amat pake bawa" mila 🤭
2023-08-18
0
Queenfans Angelfans
𝘢𝘺𝘰 𝘴𝘢𝘭𝘸𝘢 𝘫𝘶𝘫𝘶𝘳 𝘢𝘫𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘴
2023-08-14
1