"Cinta itu terasanya kalau orang yang kita cinta udah pergi. Aku gak bisa jawab, karena gak tau akhirnya kita gimana." Ia menjawab dengan menatapku sejenak, sebelum akhirnya fokus pada laptopku kembali.
"Ya udah kita tak jadi aja." Aku menunggu responnya.
Ia menarik napas dan memandangku dalam. "Hamil dulu aja gimana? Ayo nih."
Aku langsung mencomot bibirnya dengan tanganku. Namun, ia malah tertawa.
"Kenapa berpikir untuk gak jadi? Ada masalah apa? Coba cerita, biar aku tau harus gimana." Ia berubah dalam mode serius sekarang.
Aku sudah tidak mood untuk melanjutkan makananku. Aku bersandar pada tiang beton, kemudian mengarahkan pandangan ke arah pintu rumah ayah yang terbuka lebar.
Ayah ada di salah satu sofa yang terlihat dari sini, ia tengah makan sesuatu dalam piring. Ditambah dengan laptop dan beberapa tumpuk dokumen di depannya. Ia sampai berpindah tempat untuk mengawasiku, padahal dirinya sedang sibuk bekerja.
"Abang punya masa lalu sama Bunga. Fakta itu, buat orang tua aku keberatan." Akhirnya aku jujur juga, terasa sedikit plong di hatiku.
"Orang tua? Ayah kamu kali. Biyung gak begitu dan aku yakin dia gak mungkin mikir begitu."
Sepertinya, bang Han cukup dekat dengan biyung.
"Iya," akuku jujur.
"Aku pernah ngajak dia nikah tanpa pikir panjang. Delapan puluh persen tipe wanita idaman aku, dia miliki."
Glek….
Aku jujur, tapi ia memberikan pil pahit untukku.
"Rumah tangganya lagi hancur, Abang bisa cari celah untuk masuk kembali ke kehidupannya." Aku sok tegar membiarkannya kembali ke Bunga, padahal aslinya aku ini seperti sengaja menyindirnya.
"Aku gak peduli." Ia menatapku dalam.
Apa itu tatapan n****? Atau, memang ia tengah mengutarakan jawaban yang benar dari hatinya?
"Ekonominya lagi hancur, Abang bisa iming-imingi dia kemewahan," usulku yang menyesakkan hatiku sendiri.
"Aku pernah tawarkan dia rumah senilai tiga ratus juta."
Pengakuan apalagi yang harus aku dengar? Kenapa semakin ia menyakitiku dengan pengakuannya, semakin aku merasa sebaiknya ia jangan dilepaskan. Sepertinya, aku tidak baik-baik saja sekarang.
"Terus, harus gimana lagi? Semuanya udah terlewat kok, aku gak bisa merubah masa lalu. Jangan nyuruh-nyuruh aku untuk dekati Bunga, kalau memang sebenarnya kamu mau sama aku. Aku bukan lagi merasa diri ini laris, Ra." Nada bicaranya lembut, tapi membuat mataku basah.
"Han, aku kurang sreg sama kamu. Udah aja pulang, gak usah berjuang." Ia mengatakan kalimat tersebut. "Udah, gitu aja. Aku gak punya kekuatan untuk merubah masa lalu, aku akuin memang aku sebodoh itu kok. Tapi kan aku hidup di masa depan, aku hidup dengan anak perempuan yang bakal ikuti baik buruknya ibu barunya nanti. Aku udah janjikan begini dan begitu, aku berani ambil kesempatan surat perjanjian. Aku berhak kan melanjutkan hidup? Melanjutkan, bukan kembali ke masa lalu. Tolong pahami kata-kata aku, Ra."
Aku memejamkan mataku dan menyimak kalimatnya baik-baik.
Ia butuh calon ibu yang pantas untuk anaknya, ia ingin melanjutkan hidupnya, yang artinya ingin tetap berada di jalur yang benar. Ia tidak ingin kembali ke masa lalu, karena dulunya ia berada di jalur yang salah. Bertambah resikonya jika berada di jalur yang salah, karena sekarang ia membawa anak.
Ia butuh ibu untuk anaknya.
Jahat, menyakitkan. Aku pun punya hati, selain dianggap sebagai seorang ibu, aku ingin dianggap sebagai pendamping dan istri yang sempurna.
Aku memang ingin memiliki suami kembali, tapi aku memikirkan ayah baru untuk anakku juga. Sedangkan bang Bangkel, ia ingin memberi ibu untuk anaknya.
"Aku butuh suami, bukan cuma butuh seorang ayah untuk Galen. Aku butuh pendamping, bukan cuma butuh peran suami. Ngerti tak?!" Aku menekan mataku dan memberikan ketegasan pada suaraku.
Nangisan bukan karakterku, tapi aku punya keturunan cengeng dari ibuku.
"Ngerti, Ra. Ngerti banget. Aku salah ngomong memangnya?"
Ingin aku getok kepalanya.
"Abang cuma butuh ibu yang baik untuk anaknya!"
Puas, akhirnya ia bengong mendengar bentakanku.
"Balik lagi, ini tentang perasaan? Bener kan?"
Kenapa harus ditanya? Aku kan gengsi untuk menjawab.
"Pikirannya gimana?!" Katakanlah aku adalah perempuan yang berbelit-belit.
"Ya gimana? Mau nunjukin sikap mesra pun gimana? Ayah kamu bukan biyung yang gampang dikelabui, Sayang." Ia berbicara perlahan dan mengusap-usap dadanya.
Ke mana-mana, aku tidak mengerti.
"Pulang aja sana! Aku emosi." Aku membuang napasku.
"I love you kalau begitu." Ia mengulurkan segepok dompet berwarna coklat itu padaku.
Cincin kek, bunga kek.
"Bukan kek gitu caranya." Aku mendorong dompet yang ia ulurkan dan tertawa kecil.
Ia membuat moodku terombang-ambing.
"Gimana?" Ia terkekeh kecil.
"Udah pernah jadi suami, udah mempelajari sifat wanita. Tapi herannya, kenapa gagal terus jadi laki-laki yang didambakan wanita? Seolah salah aja, seolah kurang peka aja. Harus gimana lagi? Masa mau bilang aku cinta kamu? Udah ada ser-seran sejak ketemu di Cirebon, udah deg-degan setiap kali dialog. Nanti dibilang lagi kalau aku ini buaya, padahal lagi ngomong jujur," jelasnya kemudian.
Perasaanku absurd, obrolan ini terlalu ke mana-mana.
"Bohong betul kau!" Aku menyipitkan mataku.
"Udahlah, cepatlah action. Kau gimana sih?! Bilang serius pengen nikahin, malah yang nikah bapaknya duluan." Aku menepuk pangkuanku sendiri.
Ia melongo sepersekian detik.
"Udah bilang, Sayang. Udah usahakan, tapi kamu gak dukung. Coba kamu bilang ke ayah kamu, bilang kalau memang mau sama aku dan nerima semua tentang aku. Orang kamunya yang gak nerima tentang masa lalu dan semuanya yang ada di diri aku, aku gak bisa lah jadi laki-laki yang kayak ekspektasi kamu. Mana kamu yang sewot lagi, kamu yang ngambek lagi. Orang udah dikasih tau juga, gimana aku dulunya. Sekarang tinggal di kamunya aja, Ra. Masa lalu aku begitu, aku gak bisa rubah masa lalu aku, tapi aku bisa perbaiki masa depan aku, apalagi kalau kamu pendamping aku. Kamunya nerima aku gak? Kalau memang sulit menerima segalanya tentang aku, ya paling bener udah aja. Bukan aku egois, tapi aku mikirin kedepannya nanti."
Melamun sudah, ia malah memintaku memutuskan. Boro-boro menggantungnya seperti keinginan ayah, ia bergerak cepat meminta keputusanku kedepannya.
Ia adalah orang yang tidak banyak basa-basi. Jika aku menolak, aku khawatir kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Aku takut ia tidak memperjuangkanku, ketika ia sudah aku putuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan kami. Namun, mengulur waktu bukannya hal yang mudah aku ucapkan.
Harusnya aku memahami dari awal. Jika memang aku ingin dirinya, aku harus menerima semua masa lalunya. Aku tidak bisa membuang Bunga dari sejarah hidupnya, nama Bunga sudah lebih dulu muncul dari namaku.
"Jangan kelamaan mikir dan ngasih keputusan, Ra. Cepat kasih aku keputusan, biar gak sia-sia berjuang." Sorot mata dalam menghantarkan harapannya yang besar.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Batriani Betty
sar ser sat set gitu Ra maunya Han kadung sayang han sm kamu Ra. iurusan bunga jgn terlalu difikirkan, kesalahan ada di bunga sendiri itu masa lalu. kasian handaru dia nutuh pendamping ug bikin dia tenang nitip anaknya. dan dia jg ayang banget sm galen. bicara sm yayah gimana perasaan klean be2 klu perlu ajak han bicara pada yayah. jujur terbuka biar ayah dak kawatir bunga akan masuk ketengah klean.
2023-08-08
1
khair
ya iyalah... laki mana mau kalo sekedar buat jaga anak... bayar baby sitter pro aja 5 juta dah tenang... ya Gan juga nyari yg cocok buat dia lah
2023-08-08
1
Mafa
sabar ngapa han, masak mau nikah kayak mau beli baju, asal suka comot . . . .
harusnya kamu lebih mengerti ayah ipan, gimanapun juga bunga itu anaknya meski anak angkat, sejarah orang tua juga jangan lupa, seringnya terjadi pertukaran pasangan jd membuaat ayah ipan tuh . . . mikir seribu kali krn g mau anaknya merasakan hal sama
2023-08-07
1