"Karena, Han curiga kalau ayah mertuanya ini ngomong gak enak ke Harum. Sedangkan, Harum itu jenis orang yang langsung kacau kalau diomong apapun, dia langsung punya beban pikiran. Mungkin, pas itu darahnya langsung naik dan…." Om Hamdan seperti memilih untuk tidak melanjutkan ceritanya.
Iya, aku paham dengan maksud om Hamdan.
"Mungkin karena alasan itu juga kalau ayahnya Farah tak mau nginep di rumah nenek dan kakeknya Farah ya, Om?" Aku mengambil kesimpulan sendiri.
Om Hamdan mengangguk samar. "Han pun ngaku sendiri, kalau dia kurang nyaman dengan mulut ayah mertuanya. Om gak habis pikir dengan Harum juga, Om tuh gak bawel, perhatian ke dia. Kenapa dia malah minta pulang ke orang tuanya gitu? Jelas, Om ada tersinggung dengan sikap yang diambil Harum. Kalau dia pulang ke sini, kan dia nyaman aja. Kamu percaya atau gak, Ra? Harum masih tidur, Han masih tidur. Tau udah pagi, waktunya sarapan. Om inisiatif nanak nasi, atau order sarapan. Biar mereka bangun, mereka gak ketinggalan sarapan mereka. Om gak pernah nyuruh Harum nyapu, ngepel, atau gerutu karena baju kotor penuh di keranjang. Om diam aja, Om tau kalau manusia ada lelahnya. Toh kalau dia udah gak nyaman dengan rumah yang kotor, atau baju bersihnya udah habis, salah satu dari mereka pasti gerak untuk melakukan perubahan. Kan Om pernah cerita tentang Han yang resik, suka berbenah rumah kan? Setelah dia sembuh, kakinya bisa berfungsi sebagaimana mestinya lagi, dia bantu kerjaan istrinya di rumah kok. Jadi Om ikut nyesel, kenapa Harum milih pulang ke rumah orang tuanya? Kalau Om maksa dia pulang ke sini, kejadian darahnya naik tiba-tiba itu bakal diminimalisir kan? Terus tadi kamu datang, bawa tas bayi, bawa bayi. Jadi keinget Harum yang pulang dari rumah sakit sambil gendong bayinya dan bawa tas bayi yang ukurannya kecil begitu. Kaget banget tadi tuh, Ra. Kirain bukan kamu, gak terpikir juga kamu berkunjung. Jadi, ada angin apa yang bawa kamu sampai ke sini?" Ekspresi om Hamdan kacau sekali, sebelum akhirnya ia bisa menutup pembahasan sedih itu.
"Digiring sama bang Bengkel suruh rehat di sini aja, soalnya aku bilang ke dia besok mau bawa Galen ke Dufan." Aku menoleh ke belakang, karena terasa seperti ada orang yang berjalan ke arahku.
Benar saja, bang Bengkel muncul dengan Galen di bahunya. Galen sampai memamerkan seluruh gusinya, ia terlihat amat senang digendong dengan cara seperti itu.
"Anak dibawa ngebut, Yah. Ya Allah, aku terbayang mobil terbalik lagi." Bang Bengkel langsung naik ke atas kasur, kemudian ia menurunkan Galen dari bahunya.
"Uuuuu…." Galen kembali mendekat ke bang Bengkel, aku rasa ia rindu bercanda dengan uwa dan kakeknya.
"Di sini, duduk kok. Gak ke mana-mana, Bang." Bang Bengkel seperti meyakinkan Galen bahwa dirinya tidak akan pergi.
"Biasanya sama bang Chandra, sama ayah, sama bang Zio tuh kalau main lama, sampai dia tidurnya. Kalau tak sampai tidur, dia tak mau dilepas gitu." Anakku benar-benar seperti merindukan ayahnya.
Aku tidak pernah mengusir Syuhada untuk menengok anaknya, tapi ia sendiri memilih untuk tidak pernah menjenguk anaknya. Ya bagaimana lagi? Masa iya aku harus membawa Galen berkunjung ke ayahnya, untuk mendapatkan kasih sayang ayahnya? Rasanya, hal itu terlalu gengsi untukku.
"Jadi, sama Om juga gitu? Oke, ayo bobo bareng di sini. Om bobonya di sini nih sama Dede Farah, kadang di kamar kalau Om rehat kerjanya." Bang Bengkel mengajak Galen untuk rebahan.
Anak itu mau saja, tapi ia langsung merangkak naik ke atas dada bang Bengkel. Hal seperti itu biasa saja menurutku, sayangnya malah ia lakukan dengan orang asing. Galen tidak mengerti, jika sebaiknya jangan seperti itu pada orang baru.
"Farah nama panjangnya siapa, Om?" Aku memperhatikan bayi perempuan yang sudah memejamkan matanya.
Bayi merasa nyaman di tangan, bayi merasa seperti dijaga jika mendengar suara obrolan. Karena keponakanku pun begitu, tidak hanya Galen saja.
"Tanya ke ayahnya coba." Om Hamdan melirik bang Bengkel.
Kenapa om Hamdan bersikap demikian? Padahal aku tadi sudah bilang, jika aku orangnya mudah terbawa gelombang radar jarak dekat.
"Namanya…. Farasya Frisca Valerie. Farah dipanggilnya, bukan Parah. Mentang-mentang cadel, nanti Parah-Parah, gitu manggilnya." Bang Bengkel berinteraksi dengan bayi laki-lakiku yang ada di atas dadanya itu, ia mencolek-colek bibir Galen.
Seperti biasa, Galen langsung mencandak dan memakan jari tersebut.
"Abang ganteng ini namanya siapa?" Bang Bengkel menggulingkan tubuh Galen, kemudian memeluknya seperti guling.
Galen langsung bersuara keras, ia tidak terima jika ruang geraknya terbatas.
"Namanya, Arion Galen." Nama yang sederhana, tapi sangat aku sukai.
Yang terpenting, awalan hurufnya sama seperti ayah. Panutanku akan aku bawa, meski sekedar meniru namanya.
Ananda Givan, Arion Galen. Kemiripan yang persis, tidak cuma dari wajahnya.
Ya benar, aku bersyukur anakku tidak mirip ayah kandungnya. Namun, lebih mirip kakeknya. Padahal, aku tidak membenci ayahku. Aku pun, tidak membuat anak dengan ayahku juga. Mungkin karena gen kali ya?
"Kok gak ada 'teukunya', Ra?" Bang Bengkel mengerutkan dahinya.
"Abang ingat tak ketemu aku di Cirebon? Adinda nenek aku, kan orang Cirebon tuh." Aku ingin menyampaikan bahwa aku tidak ada darah Aceh sedikitpun, ayahku hanya pendatang di sana.
"Nah, coba diingat-ingat kembali pertemuan kalian tuh." Om Hamdan terkekeh kecil. "Om buat teh hangat dulu ya?" Om Hamdan pergi dengan membawa dot kosong milik cucunya.
Posisiku harus lebih jauh sedikit dari bang Bengkel, aku takut ia bisa mendengar detak jantungku yang memicu keringat keluar lebih deras ini.
"Ya kan ibu Adinda nikah sama orang Aceh kan? Ayahnya om Givan, bukan?" Bang Bengkel seolah tidak menghiraukan ledekan ayahnya barusan.
"Iya, nikah sama orang Aceh. Tapi, kondisinya itu janda anak satu. Ayah aku itu, anaknya jandanya. Ayahnya ayah aku, asli orang Cirebon tapi keturunan Bogor kah kalau tak salah. Aku tak pernah nanya-nanya soalnya, karena keluarga kakek dari ayah tak dekat sama sekali sama aku." Penjelasanku membuatnya manggut-manggut.
"Ma, ma, ma, maaaaaa…." Galen merengek dan menepuk-nepuk pangkuanku.
Mungkin ia sudah lelah memakan jari-jarinya sendiri, ia sudah dilepaskan dari pelukan bang Bengkel sejak tadi. Tapi ia diam di tempat, asyik makan jarinya sendiri.
"Mau mimi?" Aku menyentuh dadaku.
"Ya, salam." Bang Bengkel menghadapkan wajahnya menghadap langit-langit ruangan.
Eh? Ada yang salah? Apa ia sedih, karena anaknya tidak ASI?
Tarikan dan buangan napas Galen sudah sangat khas mengisyaratkan bahwa ia ingin ASInya.
"Sana ke kamar depan aja, bersih kok tadi udah dicek." Nada bicaranya sedikit mengusir.
Kenapa dengan dirinya? Kenapa seperti marah?
"Ayo, Bang Galen?" Aku mencoba meletakkan Farah di atas tempat tidur ini, tentu dengan bang Bengkel yang langsung bangun dan menata selimut untuk anaknya.
Aku tidak mengerti lagi apa yang salah, aku sudah menggendongnya dan membawanya ke kamar depan untuk ASI. Tapi, ia seperti bingung kembali. Ia menolak pabrik ASIku yang hampir penuh, dengan tangisan rewelnya dan menunjuk ke arah ruang keluarga kembali.
"Kenapa, Bang Galen?" Om Hamdan muncul dari dapur dengan membawa tiga gelas teh dengan asap mengepul.
Aku sudah kembali ke ruang keluarga, Galen masih heboh saja dengan menunjuk bang Bengkel.
"Masih mau main sama Om? Sini, jangan nangis." Bang Bengkel bangkit, ia turun dari tempat tidur tersebut dan mencoba mengajak Galen.
Namun, Galen menolak. Ia malah menepuk-nepuk dadaku, yang artinya ia ingin ASInya kembali.
"Gimana sih, Galen?!" Aku emosi, karena ia menarik baju bang Bengkel dengan membuka mulutnya dan menghadapkan mulutnya ke dadaku yang masih tertutup baju.
"Heh? Masa mimi cucunya mau ditemani Om? Nanti tau-tau cucunya bau sampoerna mild loh," celetuk om Hamdan yang membuatku mengerti apa mau Galen.
Astaghfirullah….
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Mafa
ha ha ha ha , yg peka dong ra , si duda juga udah lama g nyusu, lah situ nawarin susu depan mata ya ya ya ya kaget lah🤣🤣
2023-08-02
1
Ra2
Galen dlm misi tertentu kayaknya yach 🫢😂
2023-08-02
2
Auralia Citra Rengganis
Hayo Galen mau deketin mamaknya ya ma hot duda
2023-08-02
1