"Iya, iya, iya, ayo ditemani. Bang Galen jangan nangis ya? Bobo ya, mimi cucunya ya?" Bang Bengkel sedikit membungkuk dan langsung mencium kepala Galen.
Aduh, pasti ia mencium aroma khas tubuhku.
Om Hamdan terkekeh kecil, ia menuju ke ruang tamu dan melewati kami.
"Di mana?" Aku memandang bang Bengkel sekilas.
"Ih, terserah. Kok kayak ngajakin sih? Ahhhhhh…." Tubuhnya meleyot.
Aku tertawa geli, Galen sampai melongo memperhatikan tingkah bang Bengkel. Aku menerka-nerka isi kepalanya, apa ya kira-kira otaknya berpikir?
Apa ia teringat dengan kehangatan aktivitas ranjang?
"Sambil ditutupin kain bisa gak, Ra? Biar aman untuk kami para duda kesepian." Om Hamdan muncul kembali.
"Bisa kok, Om. Biasanya aku tutupin pakai kerudung." Aku berjalan ke ruang tamu.
"Udah order martabaknya, Yah. Tapi kayaknya aku merem sebentar, nanti Ayah ambil aja martabaknya, udah bayar kok." Bang Bengkel mengikutiku.
"Iya, Ayah mau sama Farah. Kasian, dia gak ada temennya."
Kami bertukar ruang. Om Hamdan yang di ruang keluarga, kemudian aku yang di ruang tamu bersama Galen dan bang Bengkel.
"Di kursi panjang aja, pengen merem sebentar. Dari Subuh belum tidur soalnya, Ra." Bang Bengkel menunjuk sofa panjang.
"Iya." Aku melewati sofa single, kemudian duduk di ujung sofa panjang.
Leher Galen tegak sekali memperhatikan bang Bengkel, ia takut om barunya itu terlepas dari jangkauannya.
"Sok mimi ya? Om rebahan di sini, Om pegang kaki Bang Galen nih ya?" Bang Bengkel rebahan di sebelah pangkuanku, ia berbantal lengannya dan membiarkan kaki Galen di kepalanya.
Pasti ia kurang nyaman dalam posisi kakinya ditekuk begitu. Namun, tidak lama kemudian langsung terdengar dengkurannya saat aku asyik menyusui Galen.
Galen pun sudah bermandikan keringat, matanya terpejam. Tetapi, mulutnya masih aktif bekerja. Aku mengusir kejenuhan untuk menunggu martabak itu datang dengan bermain ponsel, aku melihat-lihat video pendek dengan suara rendah dan melihat sosial mediaku yang lain.
Sampai seseorang mengetuk pintu, kemudian om Hamdan membukakan pintu. Karena aku masih mengASIhi Galen, aku tidak bisa membantu om Hamdan unboxing makanan dengan isi sayuran dan telur tersebut.
"Om angkat Farah dulu, kasian kalau sendirian." Om Hamdan kembali ke ruang keluarga, setelah menyeruput tehnya.
Tak lama kemudian, ia muncul dengan mendekap bayi dalam selimut. Aku tidak mengerti, kenapa bayi itu digendong-gendong saja. Kan bukan waktu Maghrib juga, toh bayi tersebut sudah pulas dan tidak sedang menangis juga.
"Udah tidur, Om. Kenapa harus digendong-gendong?" tanyaku yang amat penasaran dengan langkah yang diambil om Hamdan itu.
"Kemarin baru pulang dari rumah sakit, Ra. Udah ketebak sebelum Farah lahir juga, nyata akhirnya anak Han harus dekat dengan rumah sakit."
Aku tidak mengerti maksud om Hamdan. "Memang Farah kenapa?" Bayi itu terlihat normal kok.
"Kalau demam, kejang. Beberapa hari yang lalu, kali pertamanya kejang. Langsung rujuk ke rumah sakit, langsung masuk IGD dan suruh rawat inap di sana. Masih kelihatan lemes, lesu si Farah, biasanya dia ngoceh dan anteng mainan di kasur juga. Tiga bulan belum bisa tengkurap, wajar gak ya?" Om Hamdan mengagumi wajah bayi tersebut.
Tanganku terulur, aku mulai merampas satu persatu martabak telur itu ke mulutku.
"Tummy time aja, Om. Jadi di kasur dia dibiarkan Om tengkurapin dalam waktu tiga sampai lima menit. Nanti Om bantu dia berbalik, jangan diangkat tubuhnya. Nanti besok aku ajarin deh, Om. Soalnya, Galen dari hari pertama dia lahir ke dunia. Aku udah mulai training dia untuk bisa jadi bayi yang strong." Aku terkekeh geli.
Tidak juga sebenarnya, aku hanya melakukan percobaan pada anakku sendiri. Jahat ya? Tapi kan sesuai anjuran dokter, aku suka membaca dan aku ingat menerapkan ilmu yang aku dapat di kehidupanku dan bayi pertamaku ini.
"Memang gak sesak napas?" Om Hamdan pun mengemil cemilannya.
"Gak, Om. Kan posisinya tepat, diatur senyaman dia dan seaman mungkin. Kan tak ditinggal, kita awasin terus. Terus, maksudnya udah ketebak sebelum Farah lahir itu gimana?" Aku berpikir, bahwa Farah ditebak dokter memiliki penyakit bawaan sejak dalam kandungan.
"Om punya riwayat kejang, Han juga. Menurut dokter yang menangani Han waktu Han kecil, dia bilang kalau kejang itu delapan puluh persennya karena faktor keturunan. Tapi kejang kalau demam aja, bukan epilepsi atau yang tiba-tiba kejang tanpa alasan. Sakit, demam tinggi, langsung kejang. Makanya kenapa, Om ambil rumah yang dekat rumah sakit."
Cling….
Aku langsung teringat akan anak saudara angkatku.
"Anak Bunga pun kejang kalau demam sejak masih merah. Aku ingat betul, pas bayi itu baru tujuh hari, flu ringan sama ada demam, langsung kejang-kejang. Untungnya, klinik kakeknya deket." Aku melanjutkan kunyahanku.
Kok tidak ada sahutan?
Sampai aku meluruskan pandanganku pada laki-laki yang duduk di sofa single, baru aku mengetahui jika om Hamdan ternganga dengan ekspresi kaget. Apa ia mau kejang juga?
"Om? Om tak apa?" Aku harus memastikan dulu, sebelum panik mendadak.
"Gi…. Gimana kabar Bunga?" Om Hamdan bertanya dengan terburu-buru.
Oh, pasti sejak tadi ia menungguku bercerita tentang hasil skandal anaknya dengan saudara angkatku itu.
"Lahiran sesar, beda satu bulan sama aku. Anaknya perempuan, berat dua setengah kilo pas lahiran sih. Sekarang, dia tinggal di area rumah orang tua aku. Aku tinggal di rumah lantai dua, rumahnya bang Chandra dulu. Terus, Bunga tinggal di rumah sebelah aku yang dulunya untuk adik aku yang belum nikah itu, si Cani." Aku melanjut mengambil martabak kedua.
"Kenapa ayah kamu belum juga nyuruh Han ke sana? Apa yang jadi masalah?" Om Hamdan seperti menganggap hal ini sangat serius.
Aku mengingat rupa anak Bunga. Suami Bunga itu hitam manis juga seperti bang Bengkel, jadi anaknya hitam manis pun ya tidak menjamin bahwa itu anak bang Bengkel. Tapi anak perempuan itu memiliki lesung pipi seperti bang Bengkel, senyumnya sekilas terlihat mirip juga.
Tapi kan, belum tentu juga itu anak bang Bengkel.
"Dia tak bisa tiba-tiba langsung ke sana, itu pasti mencurigakan perdamaian di sana. Bunga lagi bahagia-bahagianya sama Hema, meski anaknya bolak-balik medis setiap kali demam." Aku mengambil gelas teh milikku.
"Jadi, dengan cara alami apa Han ada di sana?" Om Hamdan jarang mengedip saking seriusnya membahas topik ini.
"Lamaran, Yah."
Cepat-cepat, aku dan om Hamdan menoleh serentak pada pelaku yang tadinya mendengkur keras itu. Aku tidak tahu kapan dengkuran itu berhenti, tahu-tahu orangnya sudah menyimak ceritaku saja.
"Siapa yang mau kamu lamar?" Om Hamdan menyatukan alisnya.
Aku menaruh gelas dan mengambil satu potong martabak telur itu lagi. Aku ibu menyusui yang doyan makan tanpa melihat waktu.
"Ra, Yah."
Aku tersedak seketika, setelah mendengar jawabannya tersebut.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
chaia
🤭🤭ayah atau bang bengkel nih yg mau ngelamar ra
2023-08-04
1
HIATUS NYONYA Ris
kejang yaa.... kalo panas dikit kejang,.. kasian
2023-08-04
1
khair
main lamar aj loe Tong, 😅
2023-08-03
1