"Boleh, Bang." Aku mengangguk dan aku menunggu jawabannya.
"Boleh aku belajar agama sama istriku sendiri nanti? Aku masih tahap belajar sekarang, tapi aku pengen punya guru agama yang buat aku gak sungkan untuk belajar. Aku gak bisa janjikan banyak untuk kehidupan kita setelah pernikahan nanti, tapi masalah nilai ekonomi yang ditanyakan tadi, aku bukan pengangguran. Aku punya pendapatan, aku berusaha untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, pendidikan keluarga."
Aku menyimpulkan, ia ingin menyempurnakan agamanya denganku. Ia orang kota, yang mungkin baru tahap belajar agama pikirku. Padahal, memilih laki-laki itu dilihat dari agamanya. Namun, ia mengatakan alasan utama dulu tentang niatnya belajar. Berarti kan, memang agamanya kurang.
Ini harus jadi pertimbangan besar untukku. Aku tidak akan membahas guru ngaji yang berani mencabuli, atau pembunuhan berantai yang makam korbannya digali di kamarnya. Tapi melihat laki-laki itu harus dari agamanya. Karena jika ia takut pada Tuhannya, ia pun akan bisa menghargai istrinya dan memperlakukan istrinya sebaik mungkin.
"Oke, lanjut." Aku mengangguk, aku akan memikirkan itu nanti.
Jika banyak terdiam, obrolan ini akan kurang efisien.
"Tadi, apa? Aku punya apa? Aku bisa apa? Aku bernilai apa untuk kamu? Apa kelaknya aku berfungsi di kehidupan kamu? Gimana ibadah aku? Tadi nanya itu semua kan? Aku jawab satu-satu ya?"
Aku mengangguk kembali, dengan tetap memperhatikan wajahnya. Sebenarnya, obrolan seperti ini harus ada pihak orang tua atau orang ketiga. Tidak boleh ngobrol berdua seperti ini, tapi aku mencoba memahami hal ini. Mungkin tadi ada ayahnya, bang Bengkel merasa malu untuk menjawab pertanyaanku.
"Aku cuma punya aset usaha, yang mungkin milikku pribadi bernilai satu miliar. Aku cuma punya empat cabang usaha, yang pertama di Bekasi, terus di Kebayoran Baru, di Cirebon dan di Banten. Aku punya mobil, kisaran harga seratus dua puluh jutaan. Aku belum punya rumah. Tinggi aku seratus delapan puluh satu, berat badan cukup ideal juga. Durasi ketahanan aku, mungkin sekitar lima belas atau dua puluh menit. Aku kuat mengulang langsung, ataupun dijeda. Terus, apa perlu aku ukur dulu? Biar datanya komplit semua."
Aku mengerti ini ke arah mana.
"Foto aja sekalian!" ketusku langsung.
Aku kira serius, ternyata berbelok ke arah batang kerasnya.
Ia terkekeh geli, kemudian menaik turunkan alisnya. "Lihat langsung boleh, sekarang udah setengah tiang." Ia menyentuh pengait celana jeansnya.
"Mana ya HP aku tadi? Aku rekam sekalian, terus aku tanya ke ayah aku kira-kira ukuran segitu enak tak untuk anak jandanya yang lahiran normal." Jujur saja aku malah insecure melahirkan normal, aku khawatir jalan lahirku kurang digilai suamiku kelak.
Pemikiran yang bodoh, memang. Tapi aku memiliki ketakutan seperti itu setiap kali berpikiran ingin menikah lagi. Aku khawatir suamiku meledekku, bahwa aku sudah tidak mengigit lagi atau semacamnya.
Ia tertawa lepas, ia hanya bergurau ternyata. Tapi garis bibirku ikut tertarik ke atas, melihatnya selepas itu dan bisa tertawa serenyah itu.
"Aku ngerasa cocok dengan tanggapan kamu, Ra. Aku ngerasa nyambung sama kamu," ungkapnya dengan tersenyum manis.
"Ya iyalah! Tua nanti kau tak bisa keras lagi, kita udah ompong. Kita cuma bisa nyiram tanaman sambil ngobrolin segala macam hal, kalau aku tak nyambung ya mau aktivitas apalagi tua nanti? Kan cuma bisa ngobrol sampai meninggoy." Aku meliriknya sinis.
"Bener banget, aku suka kamu karena kamu nyambung." Ia tersenyum untukku kembali.
"Tak usah ala-ala buaya, ayah aku udah spillin semua rayuan para buaya." Aslinya aku cepat baperan, meski hanya pujian kecil seperti itu.
"Gak pernah jadi buaya juga, mantan aku cuma Harum aja. Itu pun pisah karena dia wafat, bukan aku tinggalin." Bang Bengkel sedikit ngegas.
"Bunga sih?" Aku menyandarkan punggungku.
Ia menggeleng. "Nyicipin aja, gak dipacarin," akunya dengan tertunduk.
Ah, sudahlah. Ngapain juga membahas kisah zina? Itu kan membuka aib juga. Aku penasaran, tapi setidaknya tidak tahu masa lalu calon suamiku. Yang terpenting, dia sehat jasmani dan rohani sekarang. Yang penting juga, ia sudah bertaubat dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
"Abang tak narkotikan kan?" Aku harus memastikan ini juga.
"Gak, dulu cuma judi sama minum aja. Sejak nikah berhenti total, karena sakit dan karena tanggung jawab. Gak punya waktu untuk nongkrong dan minum setelah sembuh itu, karena ekonomi kolaps."
Oke, ia punya pikiran yang bagus juga. Ia memilih meninggalkan itu semua, intinya karena tidak punya uang. Eh, tapi saking gilanya judi kan ada yang sampai jual barang dan hutang pinjol. Berarti, bang Bengkel termasuk cukup peka dengan kondisi dan ia benar merasa bertanggung jawab juga.
"Pernah tak punya uang, gas habis bersamaan sama beras, minyak, mie instan dan telur juga kah?" Aku ingin tahu titik terendah ekonominya kemarin, sampai ia bisa mempertahankan empat usahanya itu.
Ia terkekeh kecil. "Gak kok, gak sampai segitunya. Tabungan habis, tapi masih bisa untuk makan dua bulan lagi. Cuma ya, udah pusing. Udah serba bingung rasanya, karena gak pernah kayak gitu sebelumnya."
Oke, aku mengerti.
"Lanjut ya? Aku bisa apa katanya kan? Maksudnya ini di ranjang, atau bakat tertentu?" Ia menunjukkan jarinya kembali.
Sialnya, aku selalu memandang jari tersebut.
"Masalah ranjang kan bisanya praktek, Bang. Masalah kebisaan itu, kan dilihat nanti. Maksudnya bisa tuh, apa cukup mampu memperlakukan wanita dengan baik? Atau, apa bisa bangun rumah sendiri?" Bermaksud luas, tapi aku hanya menarik contoh kecilnya.
"Hmmm, aku paling kasar mungkin bentak. Kemarin belum pernah sampai KDRT sih, gak kaya kamu." Ia terkekeh meledek. "Gak tau juga bisa baik gak memperlakukan wanita, tapi Harum bertahan sebelas tahun kurang lebih. Pacaran sepuluh tahun, nikah kurang lebih setahun." Ia seperti mengingat sesuatu.
Ngeri sekali pacaran selama itu, sudah seperti punya cicilan rumah.
"Aku bisa memperbaiki mobil, ahli di bidang otomotif. Gak bisa buat rumah sendiri, tapi bisa lah buat adukan semen dan pasir sih."
Cocok nih.
"Aku suka balap, ayah sering bawa aku ke lintasan milik swasta untuk menuhin ego aku. Sering bolak-balik ke bengkel untuk modifikasi mobil bareng ayah, tapi berhenti total sejak menikah." Aku melihatnya ternganga sebentar, kemudian bertepuk tangan pelan.
"Ego kamu pasti terpenuhi sama aku. Tapi kita main game balap pakai playstation, atau di HP aja." Ia menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar.
Pasti ia punya trauma karena kecelakaan itu.
Aku membalas senyumnya dan mengangguk samar. Aku sudah membayangkan keseruanku di bengkel pribadi kita, lalu melihatnya kotor karena memperbaiki mobilku sesuai inginku.
"Nilai kan udah ya? Sekarang tinggal fungsi dan ibadah ya?" Ia menunjukkan dua jarinya.
"Iya, dua lagi." Aku menarik satu bantal sofa dan memeluknya.
"Kamu gak perlu bayar aku untuk muasin kamu, aku free selagi sehat. Masih berfungsi dengan baik, serangan fajar rutin, pernah c*** juga selama tiga bulan terakhir setelah dia wafat. Gak papa tuh aku disuruh nyapu atau ngepel, cuci piring dan cuci baju pun bisa. Aku manusia normal kok, aku gak merasa rendah karena dapat perintah. Yang penting, minta tolongnya baik-baik, jangan tiba-tiba marah lempar piring atau buang-buang baju kotor. Yang terakhir, masalah ibadah bisa dibilang cukup taat. Aku biasa bangun Subuh, aku sholat lima waktu, sholat Jum'at gak pernah tinggal selagi sehat. Gak pernah qodho, karena memang gak bisa bacaannya. Masuk waktu, langsung sholat. Tapi jujur aja, agama aku memang mentah. Minta diarahkan aja, kamu arahkan dan aku pasti bisa bimbing untuk kedepannya." Ia tersenyum lebar dan menunjukkan ibu jarinya.
Aduhhhhh, jari jemari lagi yang ditunjukkan. Dari kelingking, sampai ibu jari. Kan aku jadi membayangkan jika memang bentuk miliknya dari p*****l sampai ke kepala itu ukurannya sama, kemungkinan panjang dan keras juga. Karena otot di punggung tangannya menyembul, berarti di saja uratnya menonjol juga.
Di jarinya terdapat bulu, berarti dari pusar ke garis bawah pun ia juga berbulu. Yang artinya pertumbuhan bulu di area bawah sana pun lebat, atau terurus pun akan tetap cepat tumbuh.
Error sudah otakku, mungkin begini rasanya menggatal.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Rani Ummi
ha...ha...ha...menggatal yg pernah di gatal
2023-08-22
1
Batriani Betty
gatal ya ra. iudah cus gih bilang ayah adalelalki yg mau. jadikan kau perempuan nua mau tanggung jawab akan hidupmu dan gelan biar adem jg pikiran ayah
2023-08-05
1
chaia
eh tp katanya Han cm tokoh selingan...bukan tokoh utama😌apa bisa jd suami tokoh utama?🤔
2023-08-04
1