"Hema bilang, terserah aja. Dia udah pasrah sejak rujuk juga, karena memang Bunga pengen dirinya. Sedangkan, dirinya tak bisa jadi yang Bunga harapkan. Entah ini tentang apa? Tapi, Ayah berpikir bahwa Hema sadar diri tentang kondisinya. Mungkin, ini masih tentang problem sebelumnya. Atau, memang Hema tak happy berumah tangga dengan Bunga." Ayah mengedikkan bahunya.
Suaranya sudah normal kembali.
"Tak happy gimana, Yah? Rumah tangga happy itu gimana?" Aku kurang menangkap maksud ayah.
"Kek semacam, cinta bertepuk sebelah tangan. Bunga cinta ke Hema, makanya Bunga happy. Sedangkan, Hema cuma menghargai perasaan Bunga. Hema tak cinta sama Bunga, tapi dia tak mau ngegantung Bunga. Jadi ibarat kata, ya udah jalani aja. Ayah tak tau pasti, karena kemarin keadaannya dalam pengaruh narkotika. Ngomong pun, kek gimana lah gitu." Ayah membuang napasnya perlahan.
Jika bang Bengkel jadi denganku, apa dia happy berumah tangga denganku? Atau malah, aku yang happy sendiri?
"Ayah happy sama biyung?" Aku mencoba tersenyum, mengalihkan pikiran semrawut ini.
"Happy dong, alhamdulillah. Biyung sehat, biyung jarang rewel kek bayi lagi pas tambah tua, yang terpenting, biyung masih nempel aja sama Ayah. Coba kalau biyung mandiri, Ayah tambah tua begini, biyung malah puber travelling sama teman-temannya lagi." Ayah memasang senyum lebar.
Bahagia sekali ayah mengatakan hal itu.
"Biyung tak akan puber lagi, Yah." Aku mencoba menahan tawa.
"Kenapa memang?" Ayah mengerutkan alisnya.
"Biyung tak punya teman satu pun, kecuali ipar-iparnya." Aku meledakkan tawa dan ayah tertular tawa renyahku.
Tapi biyung bisa mengatasi hal itu. Ia tidak kesepian dan ia tidak galau terus, ia tetap happy karena menyeret anak-anaknya untuk menjadi temannya. Sekarang, Cani adalah teman terbaiknya.
Setelah menitipkan mobil di anak dari adiknya kakekku, kemudian kami melakukan perjalanan yang cukup lama. Hingga akhirnya, sopir spesial itu menjemputku.
Lesung pipinya terukir dalam.
Galen sudah pindah tangan, ia tengah kursus mengemudi sekarang. Ia duduk di kursi kemudi, di pangkuan laki-laki yang tingginya lebih dari ayahku itu.
Ya ampun, yah. Anakmu tengah kesengsem ini.
"Tidur aja, Dek." Ayah mengambil tas yang berada di pangkuanku.
Ayah duduk di kursi depan bersama bang Bengkel.
"Iya, Yah." Entah aku bisa tidur tidak, dengan kondisi jantung yang berdebar ini.
"Gimana kondisi di sana, Han?" Ayah membuka obrolan.
"Kemarin malam bongkarkan lancar, Om. Bang Chandra pasrahkan ke aku, anaknya demam soalnya. Tapi laporannya udah aku kasih ke bang Chandra, katanya benar kayak gitu."
Aku pura-pura memejamkan mata.
"Jadi, rencana ayah kau gimana?" Ayah menarik topik pembicaraan lain.
Terdengar suara snack terbuka juga.
"Akad nikah biasa, Om. Kak Jasmine minta mahar yang ayah sanggupi, udah sepakat. Masalah usaha, katanya gak apa dalam naungan perusahaan Om. Tapi Ayah bisa lepasin Farah, kalau memang Farah udah punya mamah baru katanya. Jadi mungkin ada sedikit masalah tentang ayah yang gak bisa dulu ikut kak Jasmine ke Singapore, Om. Terus satu masalah lagi, sembilan belas usaha itu, empatnya punya aku. Kalau memang sembilan belas usaha itu dalam naungan Om, otomatis aku gak punya aktivitas."
Aku ingin menimbrungi sekali, karena sudah menyangkut tentang mamah baru untuk Farah.
"Ya kau ngurus Farah dong, kan aktivitas juga tuh." Aku mendengar ayah juga tertawa.
"Iya sih, bisa aja." Mungkin maksud dan tujuan bang Bengkel adalah menarik pembahasan tentang aku dan dirinya.
Aku yakin ayah tidak sebodoh itu untuk memahami maksud seseorang, tapi ayah mengulur pembahasan ini. Seperti obrolan dalam perjalanan tadi, ayah ingin aku melihat opsi kedua dulu dan mempertimbangkan tentang keputusanku untuk bersama bang Bengkel.
"Ayah kau punya pacar tak sebelumnya?"
Ah, aku sudah tidak tertarik untuk mendengarkan pembahasan itu. Aku kembali mencari posisi nyaman, kemudian mencoba memejamkan mataku.
Sesampainya di halaman rumah, ayah langsung menyuruhku masuk ke rumahku sendiri. Sedangkan Galen ia bawa masuk ke rumahnya, katanya masih banyak ASIP beku di lemari pendinginnya, aku diminta untuk istirahat saja.
Bang Bengkel diminta untuk mengambilkan tas Galen. Namun, sat aku menutup pintu rumah. Aku mendapati lesung pipi itu terukir ke arahku.
Aduhhhhh, jika boleh. Rasanya aku ingin mempersilahkannya masuk ke dalam rumahku.
Yah, lihatlah ketertarikanku pada duda itu. Aku ingin memasukkannya ke dalam kamar, aku yakin ia aslinya liar dan brutal juga.
[Om Givan protektif ternyata 😅]
Bang Bengkel langsung mengirimkan pesan chat padaku begitu aku masuk ke dalam rumah.
[Dapatin hati ayah, dapatin hati aku sih mudah aja.] aku merebahkan tubuhku di ranjang.
Nyamannya punggung ini.
[Wow, kode nih. Oke, siap berjuang.]
Aku tersenyum sendiri membaca balasannya,
Aku memilih tidak meladeninya lagi, aku harus memanfaatkan waktu untuk benar-benar istirahat. Agar nantinya siap menghadapi Galen, menghadapi bang Bengkel dan menghadapi kenyataan jika memang akhirnya sulit untuk bersama.
Saat aku terbangun, aku baru ingat jika tidak memiliki makanan siap saji di rumahku. Aku cuci muka dan merapikan penampilanku, sebelum akhirnya menuju ke rumah biyung untuk mengenyangkan perutku.
Sedikit rasa bingung, kala melihat Farah ada di dekapan biyung. Sedangkan Galen, tidak ada di pandanganku.
"Biyung, minta makan." Aku langsung duduk di samping beliau.
"Makan di luar aja sama ayah, ayah udah pesan sama biyung untuk sampaikan itu. Tunggu sebentar lagi, ayah kau lagi rapat di dalam." Biyung fokus pada televisi.
Lihatlah, mata Farah bulat sekali memperhatikan wajahku.
"Rapat sama siapa, Biyung?" Aku tersenyum pada anak bayi itu.
"Siapa tuh namanya? Handoyo sama Hamidun kah?"
Aku langsung bingung dengan nama yang biyung tarik. Sangat tidak familiar di telingaku.
"Ini loh, ayah sama kakeknya Farah." Biyung terkekeh geli.
Sebenarnya, ia sadar jika nama yang ia sebutkan itu salah.
"Ohh, Handaru sama om Hamdan." Aku tertawa lepas karena teringat biyung mengatakan 'hamidun'.
"Arrrrrrrrrr…." Farah bersuara dan menendang kakinya.
"Biyung tuh gimana ya, Dek? Ayah dipanggilnya Handoyo, kakek dipanggilnya Hamidun." Aku mengangkat anak tersebut.
Biyung langsung merenggangkan ototnya. Biyung memang banyak anaknya, tapi ia jarang menggendong-gendong. Paling sering ya dibiarkan rebahan, atau dipangku oleh lawan bicaranya ketika mengobrol.
Ternyata anak perempuan ini botak di bagian belakang kepalanya. Rambutnya hanya tumbuh di atas saja, tapi ia terlihat lucu karena rambutnya berdiri semua. Ia seperti memakai filter.
Gilanya lagi, aku langsung ngakak ketika mengangkat tubuhnya. Untungnya ini bayi tidak tersinggung, ia malah ikut tertawa sepertiku.
"Lucu betul kau, Dek." Aku menciumi wajahnya.
"Kayak ayahnya ya?" Tiba-tiba ada tangan yang menjuntai dari bahuku.
"Biyung, pantas kan? Coba fotoin, Biyung." Pelaku yang merangkulku dari belakang sofa ini, menyodorkan ponselnya pada biyung.
Bodohnya lagi, biyungku excited untuk mengambil gambar kami. Kemudian, beliau menunjukkan ibu jarinya setelah memfoto kami.
Eh, biyung. Ini anak jandamu dirangkul duda yang pintar mengambil situasi menguntungkan.
"Biyung, minta tolong bujuk ayah Ra ya? Han siap untuk buat surat perjanjian kesepakatan pernikahan gitu," bujuk bang Bengkel dengan menarik kembali tangannya dari bahuku.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Auralia Citra Rengganis
Baper abiz klo lihat kisah cintanya Biyung Canda ma ayah givan
2023-08-06
1
Ra2
biyung bisa sesantai itu
krna punya suami yg bisa d andalkan
JD biyunggg itu selalu terima beress
2023-08-06
2
chaia
Han.. ambil kesempatan.... dapetin dl hati pawangnya ayah givan 🤭🤭🤭
2023-08-06
1