"Ah masa?" Aku memicingkan mataku, mencoba menutupi wajahku yang mungkin sedikit memerah berseri.
"I love you kalau begitu." Bang Bengkel menyatukan satu ruas jari telunjuk dan ibu jarinya, seperti isyarat cinta ataupun bisa juga diartikan tentang uang.
Aku tidak boleh mati gaya, apalagi terlihat jika aku 'meleleh' karena candaannya.
"Love me, jih keun love me. Pue keuh mantong sayang? Honey, love me, honey, Adek panggil Abang." Aku memilih bersenandung dan melipir pergi ke ruang tamu untuk mengambil tas bayiku.
Aku baperan, mak. Nonton film saja, aku baper setengah mati dengan peran utamanya.
Sialan, diam saja orangnya. Tapi sekali bercanda, langsung lempar 'I love you' saja.
"Maa…. Ma, ma, ma…." Ocehan Galen seperti memanggilku.
"Ya, Bang. Bentar ini ambil perlengkapan Abang Galen." Aku hanya sok sibuk saja, karena aku bingung sekali tadi ingin melakukan apa.
"Makan belum? Mau diorderkan apa?" Bang Bengkel bersandar di tembok dengan tetap menggendong Galen.
Ia memperhatikanku, sejak aku muncul dari ruang tamu. Sudah tadi dibuat salting, ditambah ia memandang lama seperti itu. Kan aku jadi bertambah malu.
"Martabak telor yang di Martabak Queen tuh enak, Han. Orderkan aja, dulu di sini pas main itu doyan banget martabak telornya Martabak Queen," usul om Hamdan, yang aku lihat kegiatannya sembari menyusui Farah.
"Suka banget diratukan? Martabak sampai queen." Bang Bengkel melirikku dan seperti menahan senyum.
Kenapa sih sejak tadi buat salting saja?
Aku mengalihkan pandanganku pada Galen. "Abang ngantuk tak?" Aku mencoba mengambil alih Galen.
"Belum, kan mau begadang kita." Orang dewasa yang menggendongnya yang malah menjawab.
"Orderin aja, Han. Sini, Ra." Om Hamdan menepuk tempat tidur tersebut.
Aku menurunkan tas bayiku dari bahuku, kemudian berjalan di depan bang Bengkel untuk bisa duduk di kasur busa yang berada di ruang televisi itu. Aku yang biasa heboh, akrab dengan siapapun, tiba-tiba mati gaya di depan bang duda tersebut.
"Lihat ikan, lihat ikan. Om punya ikan channa lagi loh, ikan channa Mamah kamu masih hidup gak?" Bang Bengkel mengajak Galen berbicara, ia berjalan ke arah belakang.
Mungkin ia masih ingat, jika dulu aku menggondol ikan channa miliknya.
"Gimana kabar di sana? Om sama Han was-was karena gak pernah dapat kabar apapun. Mau nanyain kabar di sana, tapi takut ganggu." Om Hamdan sedikit mengayunkan tubuhnya saat membuka obrolan denganku.
"Alhamdulillah, kami semua sehat wal-afiat di sana. Cuma memang ada sedikit duka aja, karena istrinya papa Ghifar itu hamil anggur. Tapi setelah dua bulanan, dikuret gitu, Om. Cuma itu kabar buruknya, selebihnya kabar baik semua. Termasuk, selingkuhan bang Bengkel." Aku merendahkan suaraku, ala-ala ibu-ibu gosip.
Yang aku maksud selingkuhan bang Bengkel adalah saudara angkatku, yang tinggal bersebelahan denganku.
"Loh, kamu dong?" Om Hamdan tertawa geli.
Aku langsung memberi wajah datarku.
"Itu tuduhan ayahnya Galen, Om. Selingkuhan aku lebih ganteng gitu dari suami aku, sekalian aku ceraikan dulu suami aku kalau gitu," cetusku kemudian.
"Nah, kan udah diceraikan. Sana nikahin selingkuhannya tuh." Om Hamdan menunjuk arah belakang dengan dagunya. "Lebih ganteng katanya kamu, Han….," seru om Hamdan kemudian.
Aku melebarkan mataku, om Hamdan menangkap salah kata tadi. Maksudnya, aku tidak bermaksud memuji bahwa bang Bengkel lebih tampan dari ayahnya Galen.
"Om tuh bercandanya gitu, aku udah setahun resmi janda. Tolong pikirkan perasaan aku, Om. Aku baperan ini, huhuhu…." Aku pura-pura menangis.
"Eh, jadi pas kita pulang itu, kamu menangin sidangnya?" Om Hamdan cocok untuk teman ghibah.
Aku mengangguk. "Minggu depannya itu, kami udah ketok palu."
"Terus, gimana sekarang mantan suami kamu? Dia nuntut apa?"
"Kalau hak asuh sama aku, dia tak bakal kasih nafkah apapun untuk Galen. Itu kek ancaman sih, biar hak asuh Galen jatuh ke dia. Tapi, jangankan cucu sendiri. Cucu tiri pun sanggup dinafkahi oleh ayah kok." Aku bukan menyombongkan kekayaan ayahku, aku tidak habis pikir saja dengan ancaman ayahnya Galen itu.
Ia pikir keluargaku kurang mampu memberi makan Galen, sehingga sampai menyerahkan Galen padanya.
"Biarin, Ra. Yang dosa dia sendiri karena gak kasih nafkah anaknya. Han aja sampai bela-belain ambil Farah di neneknya, meski tau kita gak bisa asuh bayi. Bismillah aja, kita kerja sama. Biar Han yang kerja, Om di rumah urus cucu." Om Hamdan menunduk memandang cucunya yang berada di dekapannya.
"Udah belum mimi cucunya, Dek? Gendong sama Tante yuk?" Aku ingin mencicipi menggendong Farah Queen ini.
Ehh, siapa nama bayi ini? Benarkah Farah Queen?
"Udah habis nih mimi cucunya, Tante." Om Hamdan mengizinkan aku untuk mengangkat Farah.
"Meutuah dara, ayah kau sayang kau, Nak." Aku langsung mendekapnya hangat dan mencium pipinya dengan ujung hidungku.
Aku beruntung meski ditinggal oleh ibunya, tapi ia tidak kehilangan ayahnya juga. Ayahnya peduli dan bertanggung jawab padanya, sampai ia dijemput dari neneknya. Tentu, nenek dari pihak perempuan. Karena om Hamdan pun berstatus duda ditinggal mati, sama seperti bang Bengkel.
"Kalau boleh tau, sakit apa ibunya, Om? Maaf, buka pertanyaan sedih." Aku sedikit membuat kepala bayi ini lebih tinggi dari tubuhnya, karena ia baru saja minum susu formula.
"Kejadiannya bukan mendadak sebenarnya, Om sama Han tau kendala kehamilan Harum. Dia diserang darah tinggi sejak kehamilan lima bulan, rutin kontrol meski cuma di bidan setempat hanya untuk cek tensi. Terakhir, kandungannya usia tiga puluh lima minggu, dia kejang. Sebelumnya, dia sempat ngeluh ke Han kalau dia capek. Jadi, di rumah orang tuanya itu ada acara pernikahan adiknya Harum. Harum pulang sejak adiknya sebar undangan, sampai di hari H Harum nginep di sana. Han kan memang gak pernah mau nginep di sana, tapi dia tiap beberapa hari itu datang dan bujuk untuk jemput Harum pulang. Cuma, Harumnya ini memang gak mau. Sehari setelah pulang dari rumah orang tuanya, jam sepuluh pagi, Harum ini kejang di ruang keluarga ini. Syukurnya, Om dan Han ini tau, Ra. Jadi, kami langsung gercep bawa dia ke rumah sakit. Han punya pikiran, ini berhubungan dengan darah tingginya Harum. Tapi namanya Om kan orang gak ngerti, mikirnya kerasukan. Tapi tetep, kami bawa dia ke rumah sakit. Katanya, dia kena eklampsia. Kaki bengkak, darah tinggi, komplikasi serius saat kehamilan lah. Harum langsung disesar, tapi setelah sesar, malah berlanjut koma. Tiga hari dia gak sadar, setelah sadar dia melongo aja. Kalau kata orang tua sih, kayak rohnya udah gak ada tuh. Tapi pikiran Han, karena efek tidur lama aja udah. Sampai akhirnya pulang, dia minta pulang ke orang tuanya. Nyeselnya Han di sini, dia ulangi kebiasaannya tentang dia gak mau nginep di rumah orang tuanya Harum. Jadi, Han ini pulang setelah yakin kalau Harum aman di rumah orang tuanya itu dan bayinya juga. Malam jam sebelas dia pulang, jam dua malam dia ditelpon adiknya Harum dengan kabar duka. Siapa yang gak kaget, Ra?" Om Hamdan menghela napasnya dan geleng-geleng kepala.
"Sepulang dari urus istrinya sampai dikembalikan ke bumi, Han udah mulai banyak diam. Lebih tepatnya, dia nyesal. Dia nyesel karena, kenapa dia pulang dan biarkan istrinya di rumah orang tuanya istrinya itu? Maksudnya, kenapa dia gak nginep aja tadi, biar tau kejadian yang sebenarnya. Karena…..
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Mafa
si ra, body gede galak kaya nenek dinda tp baperannya ttp kaya biyung❤️
2023-08-02
1
Ra2
ayah Hamdan
menurutku the best lho 👍👍bisa telaten ngurusin bayi
2023-08-02
2
Auralia Citra Rengganis
Resiko hamil Eksplamsia besar sih Alhamdulillah bayinya selamat pdhl rata" ya bayinya gak kuat juga brng ma ibunya....kdng sungkan sih ya nginep di rumah mertua.... kasian Harum cinta bucin setengah mati sama Han tp mimpinya tuk jd istrinya Han kesampean....
2023-08-02
1