Kemudian, ia mengambil ponselnya kembali yang berada di tangan biyung. Ia berjalan memutar, kemudian duduk di sofa double yang berada di ruangan ini.
"Kau sendiri udah ngomong langsung belum?" Nada halus dengan logat daerah sini selalu keluar dari mulut biyung.
Aku penghafal juga seperti dirinya, tapi nada suaraku tidak selembut dirinya. Suaraku cenderung lantang, logatku pun keras juga.
"Udah, Biyung. Aku udah ngomong aja, katanya nanti dibicarakan lagi. Nantinya kapan kan gitu, Biyung?" Ekspresi wajahnya seolah frustasi sekali.
"Kau ini betulan kah pengen nikah sama Ra? Orang Ranya tak mau kok."
Akhirnya, aku sekarang menjadi pusat perhatian.
"Ra, memang kamu gak mau sama aku? Kan katanya mau? Gimana sih? Galau nih." Bang Bengkel langsung berekspresi sedih.
"Ra, cari yang jelas. Biyung pernah sama duda tak jelas, kehidupan rasanya kek drama betul tau." Biyung langsung manyun tinggi.
Harusnya biyung tidak membahas ini di depan bang Bengkel. Dia duda soalnya, khawatir tersinggung.
"Aku gak jelas gimana, Biyung? Beneran kok duda ditinggal mati, nanti diajakin deh ke makam Harum." Bang Bengkel tersenyum padaku dan menarik turunkan alisnya.
"Udah bangun, Dek?" Ayah muncul dari ruang kerjanya, dengan kuasa hukumnya dan beberapa orang penting yang bekerja padanya.
Om Hamdan dan kak Jasmine pun keluar dari ruangan yang sama.
"Udah, Ayah. Ayo, katanya makan di luar." Aku tersenyum sumringah pada ayah.
"Ya kasihkan dulu anak perempuan itu ke ayahnya." Ayah mengatakan hal itu, sembari mengantar orang-orang asing keluar rumah.
Aku memandang Farah sebelum mengembalikan ke ayahnya, matanya polos sekali ketika ia menatapku balik. Anak perempuan yang manis dan berlesung pipi, ia tetap terlihat nyaman di lingkungan baru ini.
"Mau ke mana, Yang?" tanya bang Bengkel, kala aku memberikan Farah ke dekapannya.
"Mau makan di luar, Bang. Galen ke mana ya?" Aku menoleh ke biyung.
Biyung, anakmu ini dipanggil 'yang'. Tapi lihatlah, ibuku santai menonton tayangan televisi saja.
"Tadi sih sama aku, terus diambil bang Chandra karena aku mau rapat. Ati-ati ya? Nanti aku ceritain sesuatu." Ia mengulas senyum padaku.
Aku hanya mengangguk, kemudian meninggalkan ruang keluarga rumah orang tuaku ini. Bang Bengkel sepertinya sudah akrab dengan biyung, karena aku mendengarkan suara obrolannya ketika tengah berjalan ke luar rumah.
Ayah menoleh ke belakang, tepatnya ke arahku. Ia memandang penampilanku, seolah aku salah berbusana.
"Keknya, perlu ganti baju. Jangan daster, Dek. Boleh ganti gamis polos, atau dress panjang harian."
Kenapa dengan ayah? Aku perjalanan jauh sampai naik pesawat saja, biasanya pakai daster pun tak dikomentarinya.
"Makan di mana sih? Pinggir jalan aja tuh, Yah." Aku sudah di teras rumah, berdiri di samping ayah.
"Di coffee shop, Ayah kenal sama ownernya. Mungkin kau bisa suka sama dia, dia bujangan." Ayah tersenyum manis.
Oh, ternyata sudah dimulai opsi kedua itu.
"Ya, Yah. Aku ganti baju dulu." Aku berjalan menuju rumahku yang berada di sisi kiri halaman rumah ini.
Aku memilih untuk mengenakan gamis panjang berwarna army, dengan model potongan tangannya seperti nona belanda, mengembang tapi tidak terlalu besar. Kemudian, di bagian belakang pinggangnya terdapat karet dan juga tali.
Tidak lupa dengan kaos kaki berwarna kulit, kemudian sandal selop yang tumitnya terbuka. Aku tidak pernah berganti style hijab, tapi aku cantik dengan segitiga yang menutupi dada.
Tidak ketinggalan juga kacamata clip on minus koleksiku. Selain untuk gaya, aku merasa mataku nyaman jika bepergian dengan kacamata. Mata minusku tidak besar, tidak ada silinder juga. Hanya minus nol koma lima untuk mata kanan dan kiri, ini pun gara-gara aku sering nonton film di laptop yang terlalu lama.
"Aku udah siap, Yah. Galen diajak tak?" Aku menghampiri ayah yang berada di depan mobil ping milikku.
Ini adalah mobil biyung, tapi aku yang rutin memakainya.
"Diajak, biar laki-laki itu tau kau punya anak kecil. Nanti jemput di rumah bang Chandra, dia juga baru bangun tidur katanya." Ayah bergerak masuk ke dalam mobil, begitu pun dengan aku.
Galen sudah kami jemput dan kami akhirnya sampai di coffee shop yang ayah maksud, aku tidak yakin di sini ada makanan berat. Tidak jauh dari mie dan pasta menunya, bagiku itu hanya cemilan.
"Tolong panggilkan Zakariya," pinta ayah setelah memesan menu.
Galen kadang bisa dikondisikan, kadang sulit dikondisikan. Contohnya saja sekarang, dari sejak di mobil ia minta ASI terus.
Tak lama kemudian, laki-laki berpakaian rapi berjalan ke arah meja kami. Bukan aku ilfeel dengan penampilannya, ia rapi terlihat seperti bos pada umumnya kok. Hanya saja, kenapa rambutnya harus gondrong?
"Eh, Om. Sama siapa nih? Kok bukan biyung?" Ia menyambut ayah dengan ramah.
Ia berjabat tangan dengan ayah, tapi aku langsung memasang telapak tanganku di depan dada saat ia minta berjabat tangan. Kakakku laki-laki pun gondrong juga sepertinya, tapi terurus dan tertata. Tidak seperti rambutnya, ikal dan terlihat gersang.
Aduh, aku langsung tidak tertarik.
"Ini anak perempuan Om, namanya Ra." Ayah merangkulku sekilas. "Sini ikut gabung," lanjutnya dengan memandang laki-laki tersebut.
"Ohh, ini anak Om yang pernah Om ceritakan itu ya? Ini cucu Om ya?" Tangannya terulur ingin menyentuh tangan Galen yang tengah menarik kerudungku agar tetap menutupinya.
Tidak seperti pada bang Bengkel, Galen berteriak dan menendang tangan yang hampir menyentuhnya itu. Ia melepaskan ASIku dan memandang sengit laki-laki yang duduk di depanku itu, Galen seolah merasa dirinya diganggu dengan laki-laki itu.
"Sini duduk sama Kakek." Ayah mencoba menggendong Galen, tapi ia malah memilih kembali ke dalam kerudungku.
Ia mencaplok pabrik ASInya kembali.
"Dari mana, Om?" tanya Zakariya tersebut.
"Dari rumah, sengaja mau ke sini. Ra udah mutusin untuk rumah tangga kembali, barangkali ada feel ke kau." Ayah terkekeh kecil.
Ayah to the point sekali.
"Aku sih mau pastinya, Om. Tapi lihat aja, tatapan Ra bengis betul begitu." Ia melirikku.
"Ohh, memang bawaan mukanya itu sih. Aslinya orangnya asik kok." Ayah seolah mempromosikan diriku.
"Aku pun asik kok, Ra. Kau suka travelling tak? Boleh kapan-kapan aku ajakin wisata ya? Aku pernah ke…."
Terjadi banyak obrolan di sini, termasuk pertukaran nomor chatku. Namun, begitu sampai di rumah. Tanpa pikir panjang, aku langsung memblokir nomor tersebut.
Perkenalan tadi merusak moodku hari ini, sampai malam pun aku tetap ingin cemberut dan mengunci mulutku. Aku tidak habis pikir dengan ayah, bisa-bisanya mengenalkan anaknya dengan laki-laki seperti itu?
Laki-laki itu terlalu pamer dirinya, bahkan saat belum aku tanya. Menurutku, ia terlampau ingin aku tahu tentang dirinya. Kenapa tidak seperti bang Bengkel pembawaannya? Aku bertanya, ia sedikit terkejut dan pada akhirnya menjawab semua pertanyaanku.
Aku merasa keberadaanku lebih dihargai, karena bang Bengkel menjawab pertanyaanku. Aku pun merasa bahwa dirinya benar-benar asyik, tanpa mengumbar semua tentangnya secara berlebihan di luar pertanyaan.
"Mikirin apa, Ra? Ngelamun aja sendirian, Galen udah tidak?" sapa orang asing, bukan dari keluargaku.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Auralia Citra Rengganis
Feeling anak kuat loh noh lihat dr awal kenal Galen nemplok aja ke bang bengkel sama ky biyung ke ayah
2023-08-06
1
Ra2
tenang Ra ga cocok sama yg ini
msh ada stok cowo lainnya 🫢
2023-08-06
2
YL89
hayoooo siapAKah itu???Bunga atau abg bengkel
2023-08-06
1