"Nih, air putih." Bang Bengkel menyodorkan air mineral kemasan gelas yang sudah ia buka plastik penutup atasnya.
Aku langsung menerima dan meneguknya. Syukurlah, sayuran yang mengganjal di tenggorokan tadi langsung hilang.
"Albundio…. Albundio…. Kamu kentara banget pakai Ra untuk jadi alat kamu." Om Hamdan geleng-geleng kepala.
Aku terdiam, bukan karena aku tidak terima dengan pernyataan om Hamdan. Tapi kan, kondisinya aku pun butuh alat. Bukan hanya tentang ranjang saja, tapi egoku ingin diberi makan juga. Lelah loh bekerja sambil membawa anak, sebelumnya sudah aku lakukan di sana. Aku membantu ayah untuk merekap laporan usaha, sebelum sampai di tangan ayah. Katakanlah, aku bekerja pada ayah.
Sepandai-pandai perempuan mencari uang, ia tetap ingin dinafkahi. Sehebat apapun agamanya, ia tetap ingin dibimbing, meski hanya diajak untuk berjamaah di rumah. Semandiri apapun perempuan tersebut, fitrahnya tetap saja manja.
Aku bisa melakukan semuanya sendiri, karena desakan keadaan. Jika memang aku tidak ingat dosa, kebutuhan batinku pun bisa aku penuhi sendiri. Sayangnya, aku tak pernah mau pahala sebesar gunung hilang seketika karena kegiatan tidak terpuji, meski hanya aku dan Tuhanku yang tahu.
"Gak, Yah. Gini deh…." Ia menepuk pundakku dengan ujung jarinya.
Aku menoleh dan melihat ke arah tangannya, salah fokus sejenak melihat jarinya. Namun, aku langsung memandang wajahnya. Di pesantren, ada kitab yang dipelajari tentang adab pernikahan dan berumah tangga, termasuk soal etika berhubungan suami istri. Cangkupannya tentu luas, dari ciri-ciri fisik laki-laki dan juga titik sensitifnya.
Jangan tanyakan kemampuanku untuk melayani suami. Meskipun tidak pernah berzina untuk mengasah skill, tapi aku punya ilmunya dan juga tentu berani mencoba ilmuku dengan pasangan halalku.
"Ra…. Maaf. Mau diajak berpacaran dulu?" ungkap bang Bengkel kemudian.
Tawaran macam apa itu? Jelaslah, aku langsung menggeleng mantap. Aku tidak akan membuat hina diriku sendiri, terlepas dari kasihan pada orang tuaku.
"Aku punya harapan untuk berumah tangga kembali, karena kasihan anak dan pengen melanjutkan hidup sebagai laki-laki normal lagi. Tapi, aku punya keinginan untuk mengambil anak aku yang ada di saudara kamu. Apa keberatan? Apa merasa dimanfaatkan?"
Mungkin, maksudnya ingin ta'aruf kali ya? Dengan ayahnya Galen pun aku ta'aruf, tapi usahanya untuk meminangku terlihat jelas. Ia sering berkunjung ke rumah, meski jarang aku temui. Ya paling, berbincang dengan ayah.
"Abang punya apa? Abang bisa apa? Abang bernilai apa untuk aku? Apa kelaknya Abang berfungsi di kehidupan aku? Gimana ibadah Abang?" Ini adalah pertanyaan yang sama, yang dulu aku lontarkan untuk ayahnya Galen.
Bang Bengkel terlihat kaget dengan pertanyaanku. Ia mengerutkan alisnya, kemudian menjadi memandang ayahnya. Apa ia bingung, atau tersinggung dengan pertanyaanku?
"Mungkin, Galen ditidurkan dulu."
Tinggal menjawab, kenapa terkesan sulit dan sensitif?
"Hmm, kalau begitu biar sama Ayah aja di kamar. Kalian ngobrol aja di sini." Om Hamdan memandangku, setelah berbicara pada anaknya. "Kamu tidur di depan aja, Ra. Galen ditaruh di kamar depan, Om jagain sekalian nidurin Farah." Om Hamdan bangkit lebih dulu.
Aku mengikuti langkah beliau. Aku mengangguk mengiyakan saran om Hamdan, toh om Hamdan ada di rumah ini juga. Jika memang bang Bengkel berniat buruk, kan aku tidak salah juga untuk melukainya.
Prinsipku seperti itu saja.
"Bentar ya? Cuci muka dulu." Bang Bengkel bergerak pergi, setelah aku kembali ke ruang tamu.
Ia kurang istirahat, kentara sekali lelahnya. Aku pada pekerjaanku, lebih lelah otak sebenarnya. Kemarin aku tetap bisa bekerja dari rumah, lelah badan karena mengurus anak, ditambah lelah otak karena pekerjaan. Alhasil, kadang Galen main dibawa saudaraku cukup lama.
"Maaf ya kalau buat tersinggung?" Bang Bengkel sudah kembali dengan wajahnya yang basah.
Kenapa tidak mengusap airnya dulu? Kan ia jadi terlihat seksi kalau begitu.
"Iya maaf juga kalau penyampaian aku kurang tepat. Gimana maksud Abang? Apa harapan dan keinginan Abang?" Aku mulai menatap lawan bicaraku.
Buat gentar saja, karena ia malah menatapku balik.
"Harapannya gak muluk-muluk, kayak yang tadi aku bilang. Kasihan anak, pengen anak punya ibu lagi. Pengen melanjutkan hidup sebagai laki-laki dewasa normal, yang kebutuhan biologisnya tercurahkan di tempat yang semestinya. Satu lagi, bertujuan datang ke sana untuk mengusahakan anak Bunga pindah asuhan ke ayah biologisnya ini." Ia menunjuk dirinya sendiri.
Laki-laki memang tidak akan pernah jauh dari s**s. Malah tertulis juga kok, jika laki-laki normal itu lima belas menit sekali memikirkan s**s. Aku salut dengan mulut jujurnya, karena biasanya ada juga yang formalitas tanya jawab saja.
"Apa yakin anak-anak Abang akan hidup dalam asuhan aku? Abang tau sendiri, jejak aku ini kriminal." Aku ingin memahami pandangannya tentangku.
Agar terlihat nih, jika iya benar yakin denganku. Bukan hanya akal-akalan ingin sampai ke sana, dengan alasan meminangku. Toh lagian, aku menerimanya belum tentu ayah merestuinya.
"Om Givan pernah bilang, kalau kamu hafizah Qur'an dan kamu lulusan pesantren. Aku perhatikan, akhlak kamu bagus dan kamu bisa menjaga martabat dan diri kamu sendiri."
Bagus, tapi aku tidak yakin.
"Apa itu semua patokan yang pas untuk menjadi seorang ibu?" Sedikit mengecoh tidak masalah sepertinya.
"Akhlak anak didapatkan dari rumahnya, dari ibunya. Ibu yang berpendidikan dan tidak, tentu terlihat dari caranya mendidik anak-anaknya. Selebihnya, aku ngajarin kamu dan kita ngajarin anak-anak kita. Atau, perlu juga kamu arahkan aku kalau memang ilmu dan wawasan aku kurang."
Dari jawaban yang ia ambil, ia terlihat dewasa. Ia mengerti bahwa beban mendidik anak itu bukan diserahkan seluruhnya pada istri, ia pun mengerti jika suami memiliki peranan untuk mendidik istri.
"Apa yang Abang mutusin milih aku, selain alasan-alasan Abang yang tadi?" Aku tidak berharap ia jatuh cinta pada pandangan pertama juga.
Aku perempuan logika, meski aku memahami bahwa laki-laki bisa tertarik pada wanita dalam waktu sepuluh detik saja. Kisah cinta itu diawali dari akad nikah, di luar itu semua kan sebutannya kisah zina.
Aku perempuan beragama yang memiliki toleransi di era modern ini, tapi yang jelas aku mengerti membawa martabatku dan harga diriku sendiri. Setidaknya, ilmuku berfungsi untuk kehidupanku dulu. Barulah, untuk orang tuaku dan orang-orang di sekitarku.
"Harta, keturunan, kecantikan, agamanya. Kamu punya harta yang pastinya gak ternilai, aku gak bermaksud untuk numpang kaya. Tapi dengan latar belakang pesantren, aku yakin kamu gak miskin ilmu. Itu, yang aku pahami dari harta. Kamu keturunan keluarga yang jelas. Kamu cantik dan agama kamu gak perlu diragukan."
Aku yakin, ia pasti ikut kajian. Karena dalam agama pun, ya memang memilih perempuan harus dengan kriteria itu. Tapi aku tersanjung dengan pengertian 'harta' menurutnya.
"Oke, alasan terbesar selain hal yang disebutkan tadi?" Aku menunduk sejenak dan memicingkan mataku padanya.
"Boleh aku jujur?" Ia menyentuh dada bidangnya sendiri.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
chaia
sejujurnya dr awal aku sudah tergiur melihat lekuk tubuh mu 🤭🤭🤭🤭
2023-08-04
1
Ra2
ia bang mau jujur soal apa 🫢😀
2023-08-03
2
YL89
lngsung Tancap gas y Han demi mngambil ank bunga!!!urs z dl ankmu sm Harum,,udah bs blm???
2023-08-03
1