"Kenapa, Om? Aku jahat ya? Maaf, Om. Bayi aku tak bisa ditinggal." Aku berpikir om Hamdan sedih karena aku tidak bisa hadir dalam pemakaman menantunya.
Ia dulu bercerita padaku, bahwa ia sangat cocok dengan menantunya itu. Kak Harum sosok wanita yang tulus menurutnya, ia amat senang karena ada yang menerima anaknya meski anaknya dalam keadaan yang begitu menyedihkan.
Aku hanya mengenal sepintas, aku pun tidak tahu pasti faktor yang membuatnya meninggal selain karena takdir. Karena sebelumnya, almarhumah terlihat sehat dan bugar.
"Jantung Om hampir lepas, lihat kamu Om kira Harum. Mana Farah gak tidur-tidur, Om bingung ini anak kenapa. Udah gitu, dia nolak susu formulanya." Om Hamdan melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya.
Tidak yang menangis lebay juga, hanya berlinang air mata. Namun, begitu kentara jika matanya merah.
"Oh, ini bayinya? Farah ya namanya?" Aku mencolek pipi bayi yang digendong seperti bayi pada umumnya.
Berapa ya usianya?
"Iya, Nak. Sini masuk, udah malam. Kasian Dedeknya." Om Hamdan mencolek pipi anakku.
Namanya juga Galen, ia langsung mengambil jemari yang mencoleknya dan memasukkannya ke mulutnya. Mungkin ia pikir itu adalah Pocky.
Makanya cepatlah punya gigi, Galen. Agar bisa makan Pocky dengan banyak varian rasa.
"Udah masanya masuk-masukin benda ke mulut, ati-ati jaganya nih, Ra."
Aku melangkah masuk ke dalam rumah om Hamdan, letak barangnya masih sama seperti saat aku datang setahun yang lalu. Hanya saja, sekarang ada tanaman hias dalam pot yang berada di ruang tamu.
Galen berisik saja, ia minta diturunkan. Di sana pun, ia terbiasa dibiarkan ke sana ke mari. Bahkan ia senang mengejar robot sapu ke sana ke mari dengan gaya lompat kataknya itu. Ia terbiasa berkeliaran, karena memang rumah yang aku tempati cukup aman untuknya.
"Memang udah jalan, Ra?" tanya om Hamdan, kalau aku menurunkan Galen.
"Belum, Om. Bisa tiarap sambil lompat." Aku terkekeh geli, kemudian mengamankan letak meja ruang tamu.
Galen lebih anteng dilepas, asalkan tidak ada kabel atau stop kontak yang letaknya di bawah. Jika ia lelah dalam posisi seperti itu, ia bisa duduk sendiri. Kemudian, ia akan berpindah tempat dengan cara tiarap dan melompat lagi.
"Di sini aja, Ra. Kasihan, barangkali dadanya sakit." Om Hamdan mengajak ke ruang sebelah.
Oh, ternyata sekarang ruang keluarganya diletakkan kasur busa yang besar. Bukan lagi sofa dan meja seperti dulu, jika televisi memang masih ada.
"Sini, Bang." Aku melambaikan tanganku pada Galen yang berada di lantai.
"Adudududuh…." Om Hamdan tertawa lepas melihat pergerakan Galen.
"Farah, lihat si Abang tuh." Om Hamdan berjalan pelan dan membawa Farah untuk melihat ke arah Galen.
Farah masih seperti bayi yang lemas.
Karena tummy time, bayiku usia sebulan sudah mengangkat kepalanya ketika tengkurap. Saat usia dua bulan, ia bisa tengkurap sendiri dan berbalik sendiri meski usahanya begitu keras.
Aku memperhatikan tinggi kasur. "Nitip Galen sebentar, Om. Aku mau ke kamar mandi, dia bisa kok naik turun kasur setinggi ini sendiri." Kasur yang mungkin tingginya hanya sejengkal.
"Hah? Serius? Oke-oke." Om Hamdan manggut-manggut.
Aku sudah tahu letak kamar mandinya dan aku langsung menuju ke belakang. Aku pernah tinggal sehari di sini, aku tamu yang tidak tahu malu dulunya.
Aku selesai buang air dan mencuci tangan, aku lekas keluar kamar mandi ya sangat bersih untuk rumah yang dihuni laki-laki.
"Hahhhh!" Napasku langsung memburu, aku kaget melihat punggung lebar ada di depan mataku saat membuka pintu.
Aku kira, itu hantu tanpa kepala.
Ia menoleh, memberi ekspresi datar dan memberiku jalan. Rupanya, ia tengah melakukan kegiatan kecil di depan dapur basah yang letaknya memang berada di depan pintu kamar mandi.
Bang Bengkel tidak mengatakan sepatah katapun, atau hanya sekedar berbasa-basi jika tadi aku memang dalam keadaan kaget. Ia diam saja, tidak menegurku atau menyapaku hanya untuk formalitas keramahan.
"Nyennyen…. Na…."
Aku mendengar suara rewel Galen. Apa ia mengantuk? Tapi kan kami janji untuk begadang. Ini malam Minggu, malam yang panjang tentunya.
Aku segera meninggalkan area belakang rumah ini, kemudian datang untuk menemui Galen di ruang keluarga. Ia tengah merangkak naik ke pangkuan om Hamdan, itu adalah isyarat ia minta gendong.
"Gendong sama Mamah sini, Bang?" Aku sering menyebut Galen dengan sebutan 'bang', karena ia anak sulungku.
Ia meronta, menepis tanganku. Ia kekeh ingin diangkat oleh om Hamdan saja, mungkin ia rindu kakeknya.
"Ini susunya Farah, Yah." Bang Bengkel muncul dengan membawakan dot susu.
"Angkat Farah, Han. Si Abang minta digendong ini." Om Hamdan meraih dot susu tersebut, kemudian bang Bengkel bersiap mengambil alih bayi perempuan itu.
Ayah yang bertanggung jawab. Ibunya wafat, anaknya diambil alih oleh ayahnya. Tak jarang, anaknya malah diasuh dan dibesarkan oleh nenek dan kakek dari pihak ibunya.
Galen mulai bertingkat lagi. Ia parkir posisi dan malah menepuk-nepuk salah satu punggung kaki bang Bengkel yang naik ke kasur, Galen mulai bertambah berisik dan ia mengangkat kedua tangannya agar dirinya saja yang digendong.
"Hmm, Dedek Farah sama Kakek dulu. Abangnya minta gendong sebentar, De." Bang Bengkel urung mengangkat bayi Farah.
Ia malah mengangkat tubuh Galen dan memeluknya.
Bang Bengkel lebih tinggi dari kakak laki-lakiku dan ayahku. Aku yang berada di belakangnya, merasa seperti bersembunyi di belakangnya.
Galen tertawa renyah, saat kepalanya menghadap ke belakang. Karena ia bisa melihatku yang memperhatikan tingkah rewelnya itu.
Galen seperti ketagihan digendong laki-laki, mungkin karena di sana terbiasa digendong oleh kakeknya. Ditambah lagi, ia jelas kurang kasih sayang dari seorang ayah. Dari kakeknya, tentu ia tidak kekurangan kasih sayang. Tapi kan, kakeknya juga masih punya anak kecil. Kasih sayang dan waktunya jelas terbatas dan terbagi.
"Ini bukan ayah, Nak. Girang ya kamu?" Bang Bengkel mencium pipi Galen, ia mengajak Galen berinteraksi.
"Aaaaaaaaa…." Galen membuka mulutnya dan melahap wajah bang Bengkel.
Ia tidak suka dicium, everybody. Ia nampak kesal, karena pipinya tertusuk oleh bulu kumis.
Namun, aku ikut tertawa karena mendengar tawa bang Bengkel begitu lepas dan renyah. Aku sedikit menggeser posisiku untuk melihat reaksi om Hamdan.
Beberapa saat, ia membeku melihat respon anaknya seperti itu. Kemudian, ia menoleh ke arahku dan tersenyum sumringah. Ia menunjuk anaknya, seolah ingin mengangkat agar aku melihat reaksi anak dudanya itu.
"Om gigit balik. Iiiiiiiiii, aemmmmmmm…." Bang Bengkel menunjukkan semua giginya dan membuka mulutnya.
Galen lebih lepas tergelak, Galen adalah bayi yang bahagia sejak dijemur di rumah. Aku lahiran normal di bidan, dengan bobot bayi tersebut tiga koma lima kilogram. Tapi, kulit dan mata Galen menguning setelah tiga hari di rumah.
Karena cuaca mendung, ia tidak pernah dijemur. Alhasil, ia akhirnya dirujuk ke rumah sakit. Kemudian setelah seminggu di rumah sakit, ia pulang ke rumah dan merasakan dijemur secara langsung di bawah sinar matahari pagi. Di situ ia sering terlihat tersenyum, apalagi jika dipakaikan kacamata hitam karena aksi isengku.
Aku tahu saat itu ia tidak bisa diguraui, ia belum mengerti apapun, ia belum bisa merespon dan mungkin juga ia belum bisa melihat. Tapi, ia sudah sering tersenyum. Hingga bertahap sesuai bulan tumbuhnya, ia menjadi bayi yang bahagia dan doyan tertawa.
Aku bersyukur untuk itu.
"Udah pas tuh, janda bawa anak, duda bawa anak," celetuk om Hamdan saat aku asyik mengamati interaksi saling menggigit tersebut.
Sontak, hal itu membuat kami saling melempar pandangan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
fitri ristina
cus lah...aku langsung kasih rate...lanjut maraton 8 bab
2023-08-03
1
Mafa
perjalanan masih jauh untuk menemukan jodoh ra, karna g mungkin pemerannya cuma itu itu aja, iya kan kak nisa ??
2023-08-02
1
Mafa
masih penasaran umur anak hanum berapa bulan?
2023-08-02
1