"Satu lagi, tolong jawab sejujurnya." Aku mengacungkan telunjukku.
"Boleh." Ia mengangguk mantap.
"Apa setelah kita satu atap, Abang berniat ganggu rumah tangga Bunga?" Aku takut ia bermain jorok kembali.
"Demi Allah, aku gak bakal merebutnya dari suaminya. Aku cuma mau anak aku yang dia lahirkan, kita asuh dan kita didik dengan baik." Ia mengangkat tangan kanannya di atas kepala.
"Lisan, aku tak percaya." Skandal itu bisa terulang, aku teringat ayahnya Bunga.
"Aku berani buat perjanjian pranikah. Kita catat kesepakatan kita, tanda tangan diatas materai, disahkan notaris sekalian. Setelah nikah kita mau tinggal di mana, atau di mana terserah. Kita bicarakan baik-baik tentang itu. Aku pun janji, saat kamu bersalin, kamu baru bersalin, aku ikut di mana maunya kamu tinggal, meski di rumah mertua sekalipun. Aku ikuti, yang penting kamu peka dengan kenyamanan aku. Aku trauma, aku nyesel, aku gak bakal ulangi itu di pernikahan selanjutnya." Ia menepuk dadanya sendiri dan ekspresinya meyakinkan.
"Abang ngebet nikah, atau gimana sebetulnya?" Selain aku memahami, bahwa ia memang ingin mengusahakan darah dagingnya dalam asuhannya.
"Aku ngerasa dzolim ke ayah." Suaranya lirih sekali.
"Jasmine pernah ke sini, dia ada kedekatan sama ayah. Aku gak tau hubungan pastinya, cuma ayah pernah nanya tentang dia boleh nikah lagi gak dan aku sakit hati gak kalau dia nikah lagi. Sedangkan, udah tiga bulan ini dia ditahan di rumah untuk urus cucunya. Biarpun aku patuh disuruh dia urus pekerjaan di luar, tapi hak-hak dan kebutuhan ayah secara gak langsung dirampas." Ia menunduk dan tetap berkata dengan lirih.
"Jadi, butuh istri untuk urus anak? Memang gak percaya dengan jasa baby sitter?" Aku ingin melihat pandangannya tentang fungsiku nanti.
"Aku gak masalah pakai baby sitter, asal ada keluarga di rumah. Sedangkan, nyari baby sitter itu susah. Selama ini kita cari, meski iseng karena ayah gak mau cucunya diurus baby sitter. Katanya, ayah bisa kok. Ya memang bisa, ya memang mampu. Tapi kan, dia jadi harus di rumah aja karena memang tubuh bayi masih begitu lemah untuk dibawa keluyuran."
Aku jadi ingin bercerita jika Galen ketika sepuluh hari, ikut berkunjung ke tempat berenang. Benarkah bayi itu lemah? Mungkin lebih tepatnya, bayi belum bisa beraktivitas seperti orang dewasa. Selebihnya, itu tergantung sugesti orang tuanya saja.
"Aku gak mampu urus dua bayi sekaligus, ditambah lagi aku punya tanggung jawab pekerjaan." Galen saja lempar sama, lempar sini.
"Pekerjaan apa? Ajarkan aku, biar aku yang urus. Di rumah jaga anak-anak, baby sitter bantu ngurus bayi-bayi kita. Aku gak punya masalah makanan siap saji atau olahan rumahan, aku gak masalah kamu mandi atau belum untuk nyambut aku pulang kerja. Yang penting perut kamu kenyang, kamu happy, kamu gak ngamuk-ngamuk pas aku baru sampai rumah, gak ngelamun aja, ada masalah bilang, ada kendala ya ajak suami berbagi cerita, didik anak dengan baik, jaga mereka selagi aku kerja."
Benar tidak ini laki-laki mulutnya semanis ini?
"Ayah aku aja gak sampai segitunya." Aku tertawa sumbang.
"Boleh ditulis di kesepakatan perjanjian pranikah kalau begitu, Ra. Aku gak punya kuasa apapun untuk yakinin kamu, tapi aku cuma punya cara itu biar kamu yakin sama aku. Mau gimana lagi? Kamu kelihatan banget kalau memang gak percaya sama lisan aku." Ia terlihat murung.
Aku jahat tidak ya?
"Ya udah, kalau memang kata ayah boleh, kita susun perjanjian." Aku memasang senyum ceria.
"Kamu mau sama aku? Apa masih ada sesuatu yang buat kamu ragu sama aku? Silahkan tanyakan aja." Tangannya terulur, seolah ingin menarik tanganku.
Aku lekas menyembunyikan tanganku di balik kerudung segitiga yang menjuntai. Aku tidak bermasalah dengan mode hijab, dibiarkan menjuntai pun aku tetap merasa cantik. Aku sudah terbiasa dengan kerudung segitiga yang menjuntai menutupi dada, enam tahun aku di pesantren dan selalu memakai model seperti ini.
"Mau-mau aja sih, nanti kalau ada yang perlu aku tanyakan, nanti aku langsung nanya lagi. Tapi kan, aku mau belum tentu ayah boleh. Aku mau, percuma juga kalau Abang gak ada usaha untuk meminang aku. Jadi, usaha Abang dinilai dari sini. Aku buka sedikit bocoran, bahwa ayah pernah menentukan nominal untuk melihat kesungguhan laki-laki. Contohnya ke ayahnya Galen dulu, dia minta nominal ratusan juta dan bawaan barang yang sedikit gila. Meski akhirnya nilainya tak dicapai dengan sempurna, tapi ayah itu punya orang untuk memperhatikan kerja keras calon menantunya mencapai nilai yang diminta. Kalau boleh aku arahan…." Aku ragu melanjutkan, khawatir aku kepedean bahwa ia benar-benar ingin langsung cepat meminangku.
"Iya silahkan, aku seneng diarahkan." Ia ternyata memperhatikanku dengan seksama.
Ia juga ngeh, jika aku tidak melanjutkan kalimatku.
"Sebentar, rencana Abang gimana ini?" Aku tidak mau kegeeran.
"Secepatnya nikah, kalau direstui," jawabnya dengan mantap.
Ia tidak seperti mengundur jawabannya, atau membuatku menunggu dari kalimatnya.
"Secepatnya, Abang datang ke ayah aku dan tidak bareng aku. Bawa parcel buah, ungkapin tujuan kedatangan Abang. Abang boleh sedikit cerita tentang pertemuan kita dan obrolan kita, tapi yang jelas aku pun bakal cerita kok." Biasanya ini adalah momen horrornya laki-laki.
"Sendirian, atau dengan keluarga? Kenapa gak bareng kamu, Ra? Kamu mau ke mana memang?" Ia mengambil gelas teh yang masih utuh.
Mungkin ia merasa haus setelah lama mengoceh.
"Sama om Hamdan sama Farah aja tak apa, Bang. Aku punya tanggung jawab pekerjaan, kalau memang udah selesai, aku pasti langsung pulang kok. Aku mau ke Cirebon, Bang. Senin aku harus udah di sana, soalnya aku mau penempatan penanggung jawab di sana." Rencanaku kemarin, setelah pulang dari Dufan langsung ke Cirebon.
"Ngelamar ya langsung berarti? Aku deg-degan lagi, aku belum pernah." Ia mengusap-usap dadanya dan tersipu.
"Lah? Kan Abang pernah nikah." Statusnya cerai mati membuatku tidak terlalu banyak berpikiran buruk.
"Ya, memang. Tapi nikah pun di kamar, dalam keadaan aku lumpuh sementara. Gak ada lamaran, malah ibunya Harum yang ke sini." Ia menatap kosong ke depan, seperti mengingat suatu hal.
Tidak ada yang spesial.
"Kamu punya pernikahan impian? Aku kepengen ngerasain resepsi. Waktu aku sembuh, belum sempat resepsi karena ekonomi gak stabil. Harumnya juga malah nolak setelah ekonomi membaik, dia gak mau capek katanya. Tapi, di acara pernikahan adiknya dia capek banget." Ia menghela napasnya.
"Pernikahan pertama aku udah mewah. Tapi terserah aja sih kalau mau resepsi, yang berani aja modalnya." Biasanya sih dana patungan, tapi hal itu bisa dibicarakan nanti.
"Aku antar ya ke Cirebonnya? Dari Cirebon, nanti aku sama ayah persiapan ke sana. Tapi sebelumnya, aku cek up Farah dulu, sekalian nanya ke dokter, Farah kuat gak di perjalanannya."
Berbicara tentang effort, dia rupanya sudah mulai meluncurkan aksinya.
"Effortnya yang lebih menunjang dong. Cuma nganter aja sih sepele betul." Aku menunjukkan ujung kukuku.
"Ohh begitu, jadi harus yang kuat effortnya?" Ia bangkit dan menaruh tangannya ke saku celananya.
Sialan, aku gagal fokus ke tengah-tengah tubuhnya yang terlihat sesak dalam celana itu.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Lismardiana
hhhhhhjj ra ra
2024-07-04
0
fitri ristina
emang idah pengen digarukin ra ni mah
2023-08-04
1
Ra2
hayooo Ra apa yg ada dalam pikiranmu 🫢😀
2023-08-04
2