"Lagi nungguin makanan datang," jawabku dengan membiarkan om Hamdan duduk di sampingku.
"Kirain nungguin Han." Om Hamdan terkekeh kecil.
"Lagi chat juga, Om. Dia kirim voice note, lagi cerita-cerita aja." Aku membalasnya singkat karena moodku buruk pun, ia tetap meresponku dan tidak tersinggung atas tanggapanku.
Akulah perempuan moody-an, moodku mempengaruhi kehidupanku.
"Kamu sebenarnya mau gak sih sama Han? Han juga bilang, kamu ngerespon terus tapi kayak gak bantuin dia untuk dapat kepercayaan ayah kamu." Om Hamdan menyalakan rokok dan duduk lebih berjarak denganku.
"Kalau tak mau, udah aku block nomornya." Aku memijat pelipisku sendiri.
Aku orang yang tidak banyak basa-basi.
"Terus kenapa kamu gak bantu bujuk ayah kamu? Setidaknya cuma cerita gimana obrolan serius antara kamu sama Han gitu."
Aku bingung, sebaiknya aku bercerita tidak ya tentang ayah yang keberatan tentang masa lalu Han dan Bunga? Aku tidak tahu bagaimana kedepannya, tapi aku ingin dirinya menjadi milikku.
"Udah, Om." Aku pun tidak tahu, harus dengan cara apa membuat ayah mengizinkan bang Bengkel bersamaku.
Maksud ayah baik, aku pun paham tujuan ayah. Hanya saja, aku sudah terlanjur punya rasa pada dirinya.
"Ada masalah? Coba cerita? Kamu transparan coba ke Han, biar dia berani tindak. Biar dia tau harus melakukan apa gitu loh, Ra. Kalau kamu diam begini, Han juga pasti gak bisa lakuin apa-apa."
Aku merasa om Hamdan sangat peka, ia satu dua seperti ayah. Namun, bingungnya aku di sini baiknya disampaikan atau tidak. Karena ini berhubungan dengan diskusi dan kesepakatanku dengan ayah.
"Nanti aku ngomong langsung ke abang, Om. Om pulang aja, aku lagi tak mood ngobrol." Aku bertopang dagu.
Biarlah calon ayah mertuaku tersinggung, daripada nanti mendapat bentakanku. Aku jika sudah tidak mood, seringkali langsung membentak.
"Dia suruh ke sini? Om udah bilang ke Han, jangan terlalu lama kalau memang dapat penolakan halus. Takutnya dia ngerti kalau kamu memang secara tidak sengaja pengen dia pergi."
Om Hamdan membuatku pusing saja.
"Iya, Om." Sudahlah, yang penting iya dulu saja.
Gara-gara Zakariya semprul, otakku jadi semrawut. Aku sudah mengatakan pada ayah, jika aku tidak menginginkan laki-laki itu. Respon ayah pun hanya manggut-manggut, ia tidak memaksakan aku harus mau dengan Zakariya itu.
Di mataku, bujang tidak lebih menarik dari pada duda bawa anak itu.
"Om pulang ya? Nanti Minggu depan Om akad sama kakak kamu." Om Hamdan bangkit dan menghembuskan asap rokoknya.
"Iya, Om." Aku pun sudah mendengar kabar itu.
Aku tidak mengerti dengan kak Jasmine, kok ia mau dengan duda tua? Ya memang sih, jika dengan bang Bengkel kan aku akan marah. Toh, lebih tua kak Jasmine juga ketimbang bang Bengkel.
Setelah mendapatkan bakso mercon yang sudah aku order, aku menikmatinya di teras rumah dengan laptop kesayanganku yang menampilkan film drama korea. Entah saudaraku ke mana semua, area pondok rumah ini terasa sepi. Ayah ada di dalam rumah bersama biyung, mungkin mereka sedang mencari kenyamanan bersama. Karena biasanya pun, biyung duduk di teras rumah mengobrol dengan anak-anaknya.
Sampai akhirnya, bang Bengkel benar-benar datang tanpa kuminta. Mungkin, om Hamdan yang menyuruh ia ke sini. Ia memakai hoodie berwarna gelap, dipadukan dengan sarung berwarna mocca. Ia sudah terbawa style orang sini, entah mungkin karena kedinginan.
"Ayah ada di rumah gak, Yang?" Ia menghampiriku.
"Ada, pencet aja bellnya." Aku menunjuk pintu rumah ayah dengan dahulu.
"Makan apa, Yang?" Ia melihat ke arah mangkukku.
"Bakso mercon." Aku mengarahkan garpu berisi sebuah bakso berukuran kecil ke arah mulutnya.
Srekkk……
Aku dan bang Bengkel langsung menoleh ke arah rumah yang berada di sebelah rumahku, tepatnya rumah yang Bunga tempati. Aku tidak tahu kapan ia pulang, tapi ia tengah ternganga kaget melihatku dan bang Bengkel.
Bang Bengkel malah memegangi tanganku yang memegang garpu, kemudian ia menarik bakso yang sudah berada di mulutnya tapi masih menempel di garpu. Ia terlihat santai saja melakukan itu, meski aku masih bingung dan merasa malu karena Bunga terus memandang kami.
Aku berani menyuapinya, karena lingkungan ini sepi. Alias, tidak ada satu orang pun di luar rumah.
"Bentar ya? Mau izin ke ayah kamu dulu, Yang." Ia mengunyah bakso tersebut, dengan berjalan meninggalkanku.
Bunga masih menatapku, apa ia hendak bertanya? Tapi, aku yang malah jadi semakin bingung karena situasi ini.
"Zee udah tidur?" Aku berinisiatif untuk menyapanya dulu.
Ceklek….
Aku mengalihkan pandanganku lagi ke arah rumah ayah, terlihat ayah membukakan pintu. Mereka tengah berbicara dan aku tidak dapat mendengarnya.
"Iya, Zee baru tidur," jawab Bunga, yang membuatku menoleh ke arahnya kembali.
"Di luar aja." Seruan ayah sampai ke telingaku.
"Iya, Om. Di teras aja." Bang Bengkel menuruni teras rumah ayah.
Ayah mengangguk, ia membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar. Mungkin, agar aku terawasi. Lagian, jika ia memaksakan kehendaknya padaku. Sudah pasti aku akan membuatnya celaka saat itu juga. Kecuali, dia sudah menjadi suamiku.
"Galen mana, Yang?" Bang Bengkel duduk berjarak denganku.
Matanya sekilas melirik ke rumah Bunga, aku mengikuti arah pandangnya. Ternyata, Bunga masih di sana dan tidak segera menyadari jika rambutnya masih tergerai.
"Aku punya rekomendasi film bagus."
Kepalaku lelah tengok sana sini, kini pandanganku fokus pada laptopku yang dikuasai oleh bang Bengkel.
"Bang Galen, Ayah di luar nih, Bang." Bang Bengkel sedikit berseru, karena kebetulan ia duduk dilurusannya pintu rumahku.
"Udah tidur, Bang. Jam sebelasan biasa dia bangun, jam duaan biasanya tidur lagi. Kek waktu aku nginep di sana itu." Aku melanjutkan untuk makan baksoku.
Ia manggut-manggut. "Nanti begadangnya sama Ayah Abang."
Aku terkekeh geli mendengarnya menyebut dirinya dengan panggilan seperti itu.
"Aku udah ngelatahin mulut manggil yang, kamu tetap aja bang terus."
Srekkkk…..
Itu suara pintu rumah Bunga yang kembali tertutup, pintunya digeser jadi suaranya kurang lebih seperti itu.
"Aku tak biasa manggil gitu." Aku terkekeh geli.
Kehadirannya cukup mampu mengubah moodku.
"Nanti juga akhirnya sih keluar semua panggilan sayangnya kalau udah nanggung." Ia melirikku dengan menahan senyum.
Ia tampan sekali jika begitu.
"Nanggung kenapa?" Aku mengerutkan dahiku.
"Hmm, tau sendiri lah." Wajahnya terlihat seperti malu.
Aku menepuk bahunya. "Arahnya ke situ terus." Aku tertawa lepas.
Aku mengerti apa yang nanggung itu.
"Buktinya ngerti." Ia menunjukku dan memojokkanku dengan ekspresinya.
"Nah itu masalahnya." Aku meraih air minumku.
"Aku sampai serahkan empat usahaku ke om Givan loh, Yang. Kalau kita gak jadi, aku bakal jadi pengangguran yang meratapi ibunya anak-anak yang terbaring di tanah." Ia langsung memasang wajah sedih.
Oh, jadi kesibukannya sampai ia terlihat selalu lelah itu untuk mengalihkan ratapan sedihnya? Begitu ya cara laki-laki itu?
"Abang tuh cinta belum sih sama aku?" Pertanyaan random tentang kebucinanku keluar sudah.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Mafa
turunan biyung tuh moodiaan, sensitif
2023-08-07
2
fitrizakiah
KL menurut aku Han hrusnya menyelesaikan dl perkara mengenai anak dg bunga
baru melangkah kepernikahan
biar udh jelas aja semuanya
2023-08-07
2
fitrizakiah
ga apa apa semakin sering bunga,Han & Ra ketemu akan semakin kelihatan sampai dmn perasaan masing masing
2023-08-07
3